Filosofi dan
Makna Tari Karo
Orang
Karo adalah salah satu etnis yang mendiami wilayah bagian Sumatera Utara yang
memiliki budaya dengan rentang waktu yang panjang. Panjangnya budaya yang
dimiliki oleh orang Karo ini dibuktikan dengan pendapat beberapa ahli sejarah
dan arkeologi terkenal mengenai budaya Karo yang cenderung tergolong sebagai
budaya ras Proto Melayu Tua. Mereka mendiskripsikan ragam budaya ini termasuk
pada kalangan orang yang berciri masih memiliki rumah panggung, memiliki
ensambel musik minor, tinggal di pedalaman hutan maupun gunung, dan memiliki
akses mobilitas yang terbatas (secara implisit hanya memiliki kemampuan untuk
bermobilisasi sejauh 16km per hari). Kriteria ini tentu bukan kriteria yang
disusun secara sembarang, tetapi telah melewati beberapa kajian ilmu akademis
terkait. Oleh karena itu, penyandingan Karo dengan etnis Batak lainnya,
termasuk jua Dayak, dan Toraja memiliki suatu kemiripan budaya yang secara
kasat mata tidak terlalu mencolok. Oleh karena itu, orang Karo sendiri tentunya
memiliki sebuah kekayaan luar biasa akan ragam budaya, mulai dari kesenian,
ragam hias, ragam arsitek, ragam tenun dan masih banyak lagi. Akan tetapi,
salah satu yang menarik perhatian banyak orang adalah ragam kesenian musik dan
tari – tarian.
Ragam
musik orang Karo kaya akan dinamika yang menggambarkan filosofi kehidupan.
Tidak jarang sebuah reportoar diciptakan terinspirasi dari pengamatan sang empu
/ maestro terhadap proses berjalannya alam disekelilingnya, antara lain musik Perkatimbung Beru Tarigan yang
terinspirasi dari gemericik air di sungai terhadap bebatuan dan dedaunan di
sekelilingnya, kemudian ditransformasikan ke dalam permainan kulcapi yang
berirama semakin kuat. Kemudian karya Gendang
Lima Puluh Kurang Dua yang terinspirasi dari pembentukan alam semesta
beserta isinya, diwujudkan dalam variasi peniupan sarune dengan teknik – teknik
meniup yang bervariasi. Pemukulan gendang alep – alep, perang – perang dan odak
– odak pun ditenggarai memiliki inspirasi yang tidak jauh berbeda, dikarenakan
permainan bunyi yang khas dengan cak – cak yang berulang – ulang menyerupai
proses alam yang bervariasi. Hal ini tentu menjadi sebuah kekayaan alam yang
tidak terukur bagi orang Karo dimana penelitian terhadap musikalisasi nada –
nada mistis Karo berulang kali ditelaah dan dikaji oleh para maestro musik
Karo, meski kesemuanya gagal menciptakan adanya pembuatan tangga nada Karo yang
mampu membuat musikalisasi Karo menjadi lebih mudah dipelajari.
Salah
satu yang menarik dari ragam pengiring musik Karo selain instrumen tradisional
adalah tari – tarian. Sebuah tarian bagi orang Karo memiliki jiwa (soul) yang cukup berpengaruh terhadap
jalannya musikalisasi permainan, terutama apabila sedang berpenampilan di
khayalak umum, seperti halnya gendang guro – guro dan kerja tahun. Tari –
tarian Karo dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu:
1.
Tari
Komunal, merupakan tarian yang terkait dengan upacara –
upacara penting seperti kerja erdemu bayu (perkawinan), merdang merdem (upacara
pertanian), nurun nurun (kematian), guro guro (muda – mudi), ersimbu / dogal
dogal (memanggil hujan), mengket rumah mbaru (peresmian rumah baru), ngukal
tulan tulan (penguburan kembali) dll.
2.
Tari
Khusus, yang hanya dijumpai pada saat tertentu /
diselenggarakan diakibatkan adanya kondisi khusus yang memerlukan tari – tarian
tersebut. Misalnya pada gendang guru (dukun), peselukken (trance), perumah begu
(memanggil roh), erpangir ku lau (keramas), perodak – odak, tari tungkat, tari
baka.
3.
Tari
Tontonan, yang memang tidak hanya ada sewaktu dibutuhkan,
tetapi telah menjadi hiburan tersendiri bagi rakyat sirulo. Seperti halnya tari
perkolong – kolong, gendang Mayan / Ndikkar (silat Karo), tari Kuda – Kuda,
tari Gundala _ Gundala / Tembut Tembut Seberaya(tari topeng).
4.
Tari
Kreasi Baru, sebagai tari yang diciptakan pada
masa kini sebagai variasi baru tarian non – kontemporer dan banyak digunakan
dalam lomba – lomba pelestarian tradisi Karo. Contohnya antara lain adalah tari
lima serangkai, tari telu serangkai, tari roti manis, tari terang bulan, tari
uis gara dan lainnya.
5.
Tari
Sigundari, tarian yang terinspirasi dari lagu popular Karo
masa kini, dapat diambil / diinspirasi dari berbagai genre musik Karo.
Disamping
itu, tari – tarian Karo memiliki beberapa fungsi yang berpengaruh terhadap eksistensi
tarian itu sendiri di kalangan masyarakat Karo dan menjadi alasan utama bagi
pelestariannya, antara lain sebagai penghayatan estetis, pengungkapan
emosional, media hiburan, media komunikasi, fungsi perlambangan, reaksi
jasmani, penggambaran norma – norma sosial, pengesahan terhadap lembaga maupun
status sosial tertentu,kesinambungan budaya, pengintegrasian masyarakat dan
media pendidikan. Hal ini tentu tidak luput dari peran tarian Karo yang secara
implisit memiliki berbagai makna dan pesan moral yang terselip di dalamnya,
yang kemudian mampu berperan sebagai control sosial dalam masyarakatnya.
Dalam
tarian Karo, terdapat banyak sekali makna yang terwakili dalam gerak – gerik
sang penari, terutama pada tiga bagian utama yaitu endek (penghentakan irama kaki yang selaras dengan pukulan penganak
dan gung), jole / jemole (goyangan badan) dan tan
lempir (gemulainya / lentiknya jemari tangan yang mampu menekuk ke belakang
untuk mempercantik tampilan penari). Ketiganya biasanya dapat diperoleh dengan
kerja keras dalam latihan, meski untuk tan lempir tidak semuanya dapat
melakukannya, dengan kata lain ada bakat tersendiri yang diperoleh sang penari
sejak lahir untuk melentikkan jarinya.
Untuk
tarian sendiri, beberapa perlambang makna dari gerakan tersebut adalah,
1.
Gerak tangan kiri naik, Gerak tangan
kanan ke bawah, melambangkan makna selalu menimbang segala sesuatu sebelum
memutuskan untuk bertindak (tengah rukur).
2.
Gerak tangan kiri ke bawah, Gerak
tangan kanan ke atas, melambangkan saling tolong – menolong dan saling membantu
(sisampat – sampaten).
3.
Gerakan tangan kiri ke kanan kemudian
ke depan, melambangkan tiada boleh mendekat apabila belum bertutur (ise pe la banci ndeher adi lenga si oraten).
4.
Gerakan tangan memutar dan mengepal,
melambangkan persatuan, kesatuan dan musyawarah mufakat (perarihen enteguh). Gerakan tangan kemudian keatas melambangkan
bahwa siapa pun tidak boleh berdekatan.
5.
Gerakan tangan sampai ke kepala dan
membuka seperti burung merak, melambangkan pertimbangan sebelum memutuskan (beren rukur).
6.
Gerak tangan ke kenan dan kiri sampai
bahu, melambangkan berbuat sepenanggungan bersama (baban si mberat ras menahang radu ibaba), kemudian gerakan tangan
di pinggang, melambangkan penuh tanggung jawab.
7.
Gerakan tangan kiri dan tangan kanan
ke posisi tengah badan berdiri melambangkan siapapun yang datang jika sudah
saling berkenalan dan mengetahui tutur masing – masing, diterima dengan baik
sebagai keluarga (ise pe adi nggo ertutur
ialo – alo alu mehuli).
Tulisan
ini disadur ulang dari karya Bapak Julianus Limbeng yang berjudul “Sejarah dan Filosofi Makna Seni Tari Karo”.
Beliau merupakan musisi tradisi – pop Karo dan salah satu budayawan Karo saat
ini. Beliau kini mengajar di etnomusikologi Universitas Pelita Harapan dan
menjadi Pertua di GBKP Rg. Harapan Indah Bekasi.
Special
Thanks:
Bapak
Julianus Limbeng atas postingannya mengenai ragam budaya Karo terutama bidang
kesenian tradisional Karo.
Endi
Bastanta Sinuraya dan teman – teman Tradisi Karo Yogyakarta serta teman – teman
penggerak budaya Karo di seluruh Nusantara.
Gita
Surya Abednego Ginting Suka sebagai teman di kala RS Panti Rapih 21102012:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar