Legenda Karo:
Patung Pulu Balang (Kutambaru)
Menurut
yang empunya ceritera, adalah beberapa bersaudara yang sedang mengembara
mencari tempat untuk perkampungan mereka. Asalnya dari kampung Pengambaten di
kecamatan Munthe Kabupaten Karo. Marga mereka ialah Ginting. Setelah beberapa
lama berjalan sampailah Ginting bersaudara tadi ke sebuah tempat yang menurut
mereka sangat cocok untuk dijadikan kampung. Kebetulan disana mereka bertemu dengan marga Kacaribu yang
bertempat tinggal tak jauh dari tempat tersebut. Kepada Kacaribu, Ginting
mergana tadi menyatakan keinginannya mendirikan perkampungan. Kacaribu setuju
dengan syarat, kampung yang akan dibangun itu jangan terlalu dekat dengan
kampungnya.
Oleh
Kacaribu kemudian ditunjukan sebuah tempat yang terletak diatas bukit dekat
hutan untuk dibangun menjadi perkampungan oleh marga Ginting tersebut. Maka
mulailah mereka bekerja menebangi hutan dan membersihkan tempat itu. Sesudah
itu didirikanlah rumah tempat tinggal mereka tinggal. Lama kelamaan bertambah
ramailah tempat itu sehingga menjadi sebuah kampung yang kemudian dinamakan
Kampung Kutambaru.
Untuk
kehidupan sehari – hari keluarga Ginting tadi membuka tanah perladangan dan
memelihara ternak kerbau. Hasil perladangannya cukup untuk mereka makan dan
ternak yang mereka pelihara berkembang biak. Akibatnya tenanglah perasaan
keluarga Ginting mendiami kampung tersebut.
Tetapi
ketenangan hidup mereka kemudian mendapat gangguan dari pencuri yang sering
datang pada malam hari untuk mencuri ternak mereka. Walaupun ternak itu
dikandangkan dalam tempat yang mereka rasa aman, bahkan di pintu – pintu masuk
yang mereka pasang perangkap, namun pencuri tetap merajalela. Demikianlah pada
suatu kali perangkap mereka berhasil dan pencuri yang memasuki kandang
terperosok ke dalam lobang sehingga mati seketika. Keesokan harinya seorang anggota
keluarga Ginting datang ke kandang itu untuk mengeluarkan ternaknya, tetapi
walau bagaimanapun diusahakannya, kerbau itu tidak mau keluar. Heranlah dia
mengapa kerbau itu tidak mau dibawa keluar, padahal biasanya hal itu dengan
mudah dapat dilakukan. Setelah diperiksanya kandang itu, didapati bahwa dalam
lobang perangkap tersebut terdapat orang yang sudah menjadi mayat. Kemudian
mayat itu dikuburkannya dekat kandang kerbau.
Beberapa
lama sesudah itu, keluarga Ginting mengalami kejadian yang ganjil. Pada waktu
tertentu mereka mendengar suara orang bercakap – cakap dan seperti suara orang
bersiul dari arah kuburan pencuri tadi. Betapapun diusahakannya namun tidak dapat
ditangkapnya apa maksud dan arti cakap dan siulan yang mereka dengar. Karena
itu disimpulkannya bahwa yang dikuburkan itu bukanlah orang sembarangan. Untuk
itu mereka ingin melakukan pemujaan terhadap kuburan tersebut. Dengan pemujaan
tersebut, diharapkan akan datang perlindungan dari arwah dalam kuburan. Diatas
kuburan dibuatlah sebuah patung manusia yang kemudian dinamakan Pulu Balang.
Untuk lebih menimbulkan suasana kramat, disekeliling patung mereka tanami lima
macam tumbuhan, (dalam bahasa Karo disebut Sangke
Sempilet). Berkat patung yang mereka perbuat selamatlah marga Ginting dari
gangguan pencuri dan musuh – musuh lainnya.
Tetapi
keadaan tentram itu tidak lama berlangsung. Kembali beraksinya para pencuri
menjadikan para penduduk desa resah. Penduduk menimpakan kesalahan pada patung
Pulu Balang yang mereka anggap sudah tidak mampu lagi melindungi kampung
dari gangguan – gangguan pencuri. Oleh
karena itu, beramai – ramailah mereka mendatangi patung tersebut dan
memukulinya dengan kayu untuk melepaskan rasa marah. Akibat pukulan –pukulan
tersebut rusaklah hidung Pulu Balang. Tak lama sesudah mereka merusakkkan patung
tadi, turunlah hujan lebat sehingga air meluap – luap dan banjir melanda
kampung Kutambaru.
Akan
tetapi bencana alam itu rupanya membawa keuntungan pula kepada penduduk. Kebanyakan
ternak mereka yang dibawa oleh pencuri beberapa hari sebelumnya, belum sempat
diseberangkan. Pencuri – pencuri itu melarikan diri ke tempat yang aman
sedangkan kerbau curiannya dibiarkan berkeliaran di tepi sungai. Sesudah banjir
surut barulah penduduk keluar mengumpulkan harta – harta yang masih bisa
diselamatkan. Dengan tidak mereka sangka – sangka terlihatlah ternak – ternak
mereka berkumpul ditepi sungai. Ternak – ternak tersebut kemudian berhasil dipulangkan
kembali ke kampung dengan selamat.
Sejak
saat itu sadarlah mereka akan kesalahan yang telah mereka perbuat terhadap
patung Pulu Balang, yang akibat salah sangka mereka merusak patung itu. Secara
khilaf mereka kembali menghormati dan memujanya seperti semula. Sampai sekarang
patung tersebut masih disembah tidak saja oleh Ginting mergana, bahkan juga
oleh masyarakat Kutambaru pada umumnya.
Disadur
dari:
Panitia
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Cerita Rakyat Sumatera Utara. (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm.
75 – 77.