Legenda Karo:
Sejarah Purba Karo Mergana
Menurut
alkisah, konon kabarnya pada masa dahulu, Sang Raja Purba di Simalungun terus –
menerus didera sakit berkepanjangan. Ada dugaan yang mengatakan bahwa masa
kebahagiaan sedang dilanda kesuraman akibat lahirnya putra bungsunya, dianggap
membawa kesialan bagi kehidupan Raja dan kerajaan secara luas.
Oleh
karena itu, dipanggillah dukun sakti untuk meramalkan dan mencari obat kabut
kesedihan itu, maka dipanggillah dukun sakti Guru Pakpak Pitu Sedalanen. Ditenung dan diramallah masa depan
keluarga si Raja Purba. Guru Pakpak Pitu Sedalanen mengatakan bahwa kelahiran
putra bungsu Raja Purba memang membawa sial dan malapetaka buat keluarga Raja
Purba. Oleh sebab itu, putra bungsu harus disingkirkan atau dibuang jauh dari
keluarga Raja Purba. Bahkan mereka menyarakan agar jangan diakui lagi sebagai
anak keturunan Raja Purba.
Oleh
karenanya Raja Purba menyerahkan kepada dukun sakti, Guru Pakpak Pitu Sedalanen
bagaimana baiknya. Akhirnya, diambillah keputusan, yaitu putra bungsu akan dibuang
dan diasingkan jauh dari keluarga raja Purba, sebagai gantinya Guru Pakpak Pitu
Sedalanen yang akan menemaninya selama perjalanan. Pada waktu ia disingkirkan,
putra bungsu itu baru berumur 13 tahun, dia dibawa jauh dari daerah Simalungun
dengan melewati Gunung Barus ke arah matahari terbenam, seperti terbenamnya
hati putra bungsu ke dalam duka sedih yang sangat menyayat hati, melebihi rasa
sakit yang diderita saat dicucuk onak dan duri sewaktu berjalan melalui rimba
raya yang lebat itu.
Setelah
beberapa hari dalam perjalanan, tibalah mereka pada suatu tempat yang datar
yang dirasa sebagai tempat pembuangan dan pengasingan putra bungsu. Dibuatlah
gubuk untuk tempat si putra bungsu. Setelah gubuk itu selesai, pulanglah dukun
sakti Guru Pakpak Pitu Sedalanen. Maka menangislah putra bungsu meratap kepada
sang dukun sakti, agar ia jangan ditinggalkan, dipeluknya kaki dukun itu, dan
disembahnya berkali – kali yang disertai deraian air mata. “Oh kakek… jangan tinggalkan aku… jangan… kasihanilah aku…, oh… sampai
hatikah nenek meninggalkan aku sendirian
disini… di tengah hutan tua rimba raya ini, penuh binatang buas. Oh… daerah tak
bertuan…, siapa kawan yang akan menjagaku disini Kakek…? Apakah sebenarnya
salah dan dosaku maka aku dibuang dan dijauhkan dari sanak saudaraku?... oh….
Kakek….?
Setelah
mendengar ratapan itu, dukun sakti Guru Pakpak Pitu Sendalanen itu pun tak
dapat membendung air matanya, dia jadi kasihan kepada anak malang itu, lalu
diusap – usapnya rambut dan kepalanya sang putra bungsu itu seraya perlahan –
lahan memberi penjelasan. “Yah…, sungguh
kasihan kau Nak…, nasibmu sungguh malang, tetapi apa boleh buat, nasib dan
takdirmu sudah disuratkan demikian…, kau harus dibuang dari sanak saudara dan
keluargamu… Sejak saat ini kau tidak boleh lagi mengakui mereka itu sanak
saudaramu atau keluargamu…, kau harus hidup menyendiri… Pandai – pandailah
hidup… Kau harus tinggal disini sendirian, Kau tak usah takut… Kami telah
menyediakan perbekalanmu untuk tujuh tahun. Setelah itu, kau harus cari
sendiri. Ini pedang, pisau, dan panah untuk menjaga dirimu, dan kau tidak usah
takut akan binatang buas, di sekeliling tempat ini akan kami tanam bambu
sebagai pagar.”
Setelah
Guru Pakpak Pitu Sendalanen selesai berbicara, dia menancapkan tongkatnya ke
tanah sehingga memunculkan tujuh buah mata air disitu, kemudian mengurung
tempat tersebut dengan tanaman bambu kuning berduri, lebat dan rapat dengan
maksud agar sang putra bungsu tak dapat lari atau kembali ke Simalungun dan
terhindar dari serangan binatang buas. (Tempat itu sekarang masih ada, kini
dinamakan Buluh Duri dan dihiasi
tujuh mata air bening di Lau Gendek
Berastagi. Tempat tersebut masih dianggap keramat oleh masyarakat sekitar).
Setelah
semua tugasnya selesai maka Guru Pakpak Pitu Sedalanen beranjak pulang dan
meninggalkan putra bungsu Purba mergana sendirian terkurung oleh pagar bambu
berduri. Mereka melanjutkan perjalanan pergi berkelana ke Tanah Karo.
Bertahun
– tahun Purba mergana itu hidup menyendiri di balik pagar bambu berduri. Pada
waktu senggangnya, ia belajar memanah dan memakai senjata – senjata lainnya
sebagai bekal untuk berburu kelakapabila perbekalan yang hanya tujun tahun itu
habis. “Kelak… sampai kapan pun aku tak akan pulang kembali kepada mereka,
sanak saudara dan keluargaku itu, begitu sampai hati mereka membuang aku merana
begini,” pikirnya. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun…, akhirnya
sampailah sudah tujuh tahun dia menyendiri di situ dan perbekalan yang tersedia
pun sudah habis. Oleh sebab itu, dia harus dapat keluar dari pagar bambu
berduri tersebut agar dapat berburu ke hutan. Secara terpaksa mulailah ia
merintis pohon – pohon bambu berduri itu agar dapat lewat keluar mencari
binatang buruan. Kini, dia telah cukup dewasa, gagah dan kekar. Ia tak perlu takut
akan binatang buas. Setelah mendapat binatang buruan, ia pun segera kembali ke
gubuknya.
Demikianlah
hal tersebut berlangsung sampai beberapa tahun hingga pada suatu hari, sewaktu
hendak berburu seekor burung yang cantik berbulu wana – warni, ia telah sampai
ke Gunung Singkut tanpa diduga –
duganya. Hal ini terjadi karena burung yang diincarnya membuat penasaran sebab
sang burung selalu mengelakkan panah si pemburu dengan cara melompat dari satu
pohon ke pohon lain ke arah Gunung Singkut. Dalam perburuan burung itu, tanpa
disadarinya tiba – tiba matanya melihat sesosok tubuh wanita cantik yang sedang
duduk dan mengeringkan tubuh dan rambutnya dekat sebuah mata air yang jernih
dan bening. “Apa maksud Tuan kemari?” kata wanita cantik itu seraya tersenyum
manis kepadanya. Purba mergana hanya melongo tak dapat menjawab karena
terlampau kaget menemukan wanita di tengah hutan lebat itu dan tiba – tiba
telah dihujani pertanyaan – pertanyaan oleh wanita secantik bidadari dari
kayangan itu.
“Mengapa
diam saja Tuan?” sambung wanita itu lagi. karena merasa pertanyaannya tidak
dijawab oleh Purba mergana, sang pemburu tampan dan gagh itu. “Oh… oh… tidak,”
kata Purba mergana tergagap – gapap. “Aku terkejut melihat ada wanita sendirian
di tengah hutan lebat begini,” sambungnya lagi seraya menghampiri wanita cantik
itu, manusia pertama yang ditemuinya sejak tujuh tahun lebih di pembuangan
Tanah Karo. Kemudian mereka pun bercakap – cakap dengan intimnya dimana Purba
mergana kemudian menceritakan bagaimana dia bisa sampai ke gunung itu dan juga
menceritakan tentang dirinya sebagai anak buangan dari Raja Purba di
Simalungun. Sang Puteri mendengarkan dengan penuh perhatian dan juga merasa
tergugah hatinya mendengar kisah sedih Purba mergana tersebut. Karena terlalu
asyik bercerita, mereka pun tak sadar bahwa hari telah siang, matahari telah
lewat tengah hari, perut pun sudah terasa lapar dan minta diisi.
“Ayolah
mampir dulu ke rumah kami untuk makan,” ajak sang puteri kepada Purba mergana,
pemburu gagah dan tampan itu. Dia juga tak keberatan walaupun untuk selama –
lamanya berada bersama puteri cantik bak bidadari dari kahyangan tersebut. Baru
beberapa langkah melangkah tibalah mereka di sebuah gua yang cukup bersih, gua
itu tak jauh dari tempat pertemuan mereka tadi. Masuklah mereka ke dalam gua
dan Purba mergana tiba – tiba terkejut – hampir melompat apabila tidak
dipegangi sang bidadari, karena di dalam gua yang samar – samar tersebut
terdapat seekor ulang besar tetapi pendek yang sedang melingkar seakan – akan
menanti kedatangan mereka berdua. Didekatnya diatas batu, bertenggerlah burung
yang tadi diuber – uber oleh Purba mergana. Burung kakak tua – yang dalam
bahasa Karo disebut Kak, berbicara
“Silakan masuk, duduklah.” Ini membuat si Purba mergana terheran – heran
sedangkan sang bidadari hanya tersenyum – senyum saja sambil menghamparkan
tikar untuk tempat mereka duduk.
Setelah
mereka duduk, maka mereka pun makan bersama beberapa buah – buahan seperti
jambu, pisang dan lainnya. Sembari makan, sang bidadari bercerita bahwa ular
itu adalah ibunya dan burung itu adalah ayahnya yang sengaja memancing Purba
mergana datang ke Gunung Singkut guna merencanakan perjodohan antara Purba
mergana dengan sang bidadari yang cantik jelita. Setelah tercapai kata sepakat,
maka Purba mergana dijodohkan dengan sang bidadari sebagai suami – istri yang
kelak menjadi SEJARAH NENEK MOYANG PURBA
MERGANA DI TANAH KARO. Orang tua sang bidadari menyarankan agar mereka
hidup bersama manusia lainnya dan menempuh cara – cara hidup manusia, yaitu
tidak terpencil dan tidak mengasingkan diri di Gunung Singkut maupun di Buluh
Duri tempat Purba mergana.
Sesudah
merasa cukup memberikan petuah – petuah dan wejangan, Purba mergana dan sang
bidadari yang telah menjadi suami – istri disuruh berangkat ke perkampungan manusia
terdekat. Dengan sayup – sayup mata memandang, tampakah bumbungan asap dari
Gunung Singkut, yakni di sebelah barat daya kampung Kaban, yang dihuni oleh
Merga Kaban dan Ketaren. Keesokan harinya berangkatlah Purba mergana bersama
istrinya ke kampung Kaban dan setelah sampai disana mereka pun menemui penghulu
kampung untuk meminta izin mendirikan rumah di kampung tersebut. “Kalau Anda
mau menjadi warga kampung ini, kami terima dengan baik dan bangunlah barung
kalian ke arah Kenjahe. (Maksudnya dirikanlah rumah ke arah hilir dari kampung
tersebut). Sejak saat itu, berdirilah gubuk mereka di kampung Kaban arah Jahe (kini dikenal dengan
nama Kabanjahe, Ibukota Kabupaten
Karo), dekat sebuah pohon besar yang memiliki mata air sendiri. konon, apabila
Mami Purba mergana datang, dia berada di lubang pohon kayu besar tersebut dan
Purba mergana beserta istrinya akan membalas kunjungan mertuanya ke Gunung
Singkut.
Selama
menetap di Kabanjahe mereka dianugerahi enam orang anak laki – laki dan seorang
anak wanita sehingga Purba Mergana di Tanah Karo diberi julukan “Purba Si Enem” dan kepada keturunannya
diperingatkan pantang membunuh ular, sehingga sampai sekarang Merga Purba di
Tanah Karo sangat dipantangkan untuk memukul ataupun membunuh ular. Juga
diperingatkan agar mereka juga jangan pernah mengaku berasal dari merga Purba
Simalungun dan jangan memberi malu kepada Raja Purba Simalungun, sebab mereka
sudah dibuang dari dinasti merga Purba Simalungun tersebut. Para wanita yang
beru Purba juga terlahir cantik – cantik karena mereka keturunan dari bidadari.
Lama
– lama barung tersebut berubah menjadi perkampungan sendiri milik keturunan
Purba mergana dan diberi nama Kabanjahe. Rupanya para keturunan Purba mergana
mengembangkan kampung tersebut dengan mendirikan barung – barung lainnya di
sekitar barung utama, sesuai dengan nama mereka masing – masing, yaitu Katepul, Samura, Ketaren, Berhala, Sumbul, Kaban, Raya, Berastagi, Lau Gumba, Peceren, Daulu dan Ujung Aji,
serta menyebar ke seluruh penjuru Tanah Karo. Demikianlah asal usul mengenai
Purba mergana di Tanah Karo dengan perkampungan mereka yang pertama di Kaban
arah Jahe, yang termasuk salah satu marga termuda di daerah Karo pada umumnya
dan di daerah Urung Sepuluh Dua Kuta
pada khususnya.
Disarikan
dari:
Drs.
Tabir Sitepu (et.al), Sastra Lisan Karo.
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1993), hlm. 142 – 148.