POLEMIK PERJALANAN RUMAH SAKIT
UMUM KABANJAHE
PENGANTAR
Beberapa
waktu belakangan ini jemaat GBKP digembar – gemborkan sebuah isu konflik
kepentingan antara Pemerintah Kabupaten Karo dengan Yayasan Kesehatan GBKP
milik tim Moderamen Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) mengenai status
kepemilikan RSU Kabanjahe. Rumah sakit utama rujukan warga Karo secara umum
tersebut merupakan sebuah lembaga kesehatan yang dahulu dibangun oleh lembaga
Nederlansche Zendeelingen Genootshap (NZG) yang oleh pemerintah Kolonial
Belanda ditugaskan untuk melakukan penyebaran injil kepada masyarakat Sumatera
Timur pada tahun 1890. Setelah kemerdekaan, status kepemilikan rumah sakit yang
dahulu bernama Rumah Sakit Bataaks Instituut tersebut, diserahkan kepada tim
Moderamen GBKP pada tahun 1948. Dikarenakan gejolak perjuangan yang membara, dan
tiadanya fasilitas kesehatan selama zaman perang, pemerintah Indonesia yang
diwakilkan oleh Pemerintah Daerah Tinggi II Karo meminjam fasilitas kesehatan
tersebut dan mengembangkannya dalam wujud fasilitas kesehatan terpadu, atau
rumah sakit umum. Konflik yang tiada akhir ini memanas seiring dengan hasil
kesepakatan yang dicapai dalam Sidang Sinode GBKP secara teratur meminta kepada
pemerintah untuk mengembalikan RSU Kabanjahe tersebut kepada Moderamen GBKP
yang diwakili oleh Yayasan Kesehatan GBKP. Pemkab Karo menolak dan semakin
memperuncing bara api dengan menyatakan bahwa RSU yang dahulu masih berupa
klinik, kini telah dikembangkan menjadi fasilitas kesehatan yang cukup memadai
bagi masyarakat Karo. Sehingga tidak fair melihat dari sisi kepemilikan GBKP
saja. Ini menginspirasi para perwakilan gereja – gereja di bawah naungan GBKP
untuk melakukan aksi damai dengan turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi /
protes kepada Pemkab Karo. Perwakilan masyarakat dan petinggi GBKP kemudian
dimediasi oleh Bupati Karo Terkelin Brahmana, seusai negosiasi yang alot, pada
tanggal 08 Agustus 2016 pukul 17.00 Pemkab Karo bersedia mengembalikan status
kepemilikan RSU Kabanjahe kepada GBKP.
SEJARAH
Dahulu
daerah Kabanjahe yang merupakan tanah panteken Purba mergana, berkembang
menjadi salah satu kampung yang besar. Hal ini dikaitkan dengan posisi
strategis Kabanjahe serta Brastagi yang merupakan titik temu dari beberapa
perkampungan Karo yang tersebar di lereng Gunung Sinabung, Sibayak, Sibuaten
dan Barus. Magnet pasar yang ramai dikunjungi oleh masyarakat ketika tanggal
Pekan tiba, menjadikan Kabanjahe sebagai salah satu poros pertumbuhan
masyarakat Karo tempo dulu. Pada waktu itu Kabanjahe dianggap aman untuk
berdagang, terutama dengan banyaknya simbisa – simbisa Sibayak Purba yang lalu
lalang untuk memastikan keamanan dan ketertiban di pasar. Tidak sedikit
masyarakat Karo yang “turun gunung” demi menjualkan hasil bumi ataupun tambang
mereka, sehingga kemeriahan pasar pada waktu itu tidak terlukiskan ramainya.
Keramaian ini yang menyebabkan banyak sekali orang yang berkeinginan untuk
tinggal di Kabanjahe, menjadikannya salah satu kampung Karo yang terbesar di
masanya.
Riuhnya
animo masyarakat untuk berkumpul di Kabanjahe, menarik perhatian orang Belanda.
Perwakilan Belanda yang tengah fokus menumpas gerombolan – gerombolan
pengganggu lahan perkebunan, berkeinginan untuk mendirikan sebuah pos
pengamatan di kampung Buluh Hawar pada tahun 18 April 1890. Ide pos tersebut
dicetuskan oleh JT Cremer, seorang Tuan Kebun sukses yang berkeinginan menumpas
gerombolan – gerombolan pengganggu lewat metode penginjilan. Pos penginjilan
tersebut hanya sukses menginjilkan 10 orang dalam 25 tahun dan keberadannya
yang menyerap anggaran perkebunan dirasa sangat mengganggu. Oleh karena itu, pihak
NZG yang dimintai tolong oleh Tuan Cremer berkeinginan untuk membuka dua pos
serupa, satu di desa Bukum (tahun 1899 oleh Pendeta H. Guillame dan Guru Martin
Siregar) satu di Sibolangit (tahun 1900 oleh Pendeta JH Neumann), sebagai
kampung satelit Buluh Hawar, dan satu lagi di Kabanjahe (tahun 1903 oleh
Pendeta EJ van den Berg). Pos Kabanjahe dirasa strategis di kemudian hari
karena mereka mendapat jaminan keamanan oleh Sibayak Kabanjahe untuk melakukan
perkenalan Injil kepada masyarakat Karo di Kabanjahe. Pos injili ini meraup
sukses besar ketika mampu membujuk satu dari dua Sibayak Kabanjahe yaitu, Pa
Pelita untuk menganut agama Kristen Protestan. Keberhasilan ini disambut dengan
pembangunan gereja Christianse Kerk di Kabanjahe Kota serta membangun Klinik
kesehatan masyarakat yang dinamai Batak Instituut Hospitaal. Pembangunan
dimulai pada 20 September 1920 selesai dan diresmikan pada tanggal 15 Juli
1923.
Klinik
ini pada awalnya kurang sukses karena animo masyarakat Karo untuk berkunjung
sangat kurang. Apalagi di kalangan masyarakat Karo telah dikenal Guru (Dukun –
pen) yang dipercaya memiliki talenta medis untuk melakukan tindakan medis.
Konflik antara petinggi Cristiansche Kerk dengan Sibayak Karo Pa Mbelgah turut
menajamkan mata orang Karo bahwasa rumah sakit tersebut adalah perpanjangan
tangan Kompeni untuk menguasai rakyat Karo sirulo. Akan tetapi sewaktu dipimpin
oleh N Barus, rumah sakit mengalami peningkatan kunjungan pasien, terutama
seiring dengan mewabahnya penyakit cacar air. Vaksinasi yang dilakukan oleh N Barus
beserta kolega – kolega medisnya mampu mencegah terjadinya cacar kepada anak –
anak yang telah tervaksinasi. Berita tersebut segera tersebar dengan dasyatnya
dikalangan orang Karo, sehingga orang mulai berbondong – bondong melakukan pengobatan
di Kabanjahe.
Perlu
dicatat, di Nusantara pada waktu itu, wabah cacar yang menyebar di sebuah desa
mampu membuat takut para penduduknya sehingga mereka segera mengosongkan desa
tersebut dan pindah ke daerah lain yang dirasa lebih aman. Penderita cacar pada
waktu itu disamakan derajatnya dengan penderita kusta sehingga patut untuk
dijauhkan dari masyarakat. Dampak cacar yang menghebat di seluruh penjuru
Nusantara pada tahun – tahun 1920 – an menyebabkan kegemparan dikalangan
masyarakat dan menyebabkan banyaknya tuna wisma yang “di buang” oleh
keluarganya sendiri.
Pemerintah
Belanda di Residensi Sumatera Timur kemudian berinisiatif untuk melakukan
jemput bola ke masyarakat, dengan diterjunkannya dua opsir per satu kampung
untuk mengantar mereka berobat atau memeriksakan diri di rumah sakit terdekat,
termasuk di rumah sakit Batak Instituut Hospitaal Kabanjahe. Atas kerja keras
para staf, wabah cacar mereda dan masyarakat kembali tenang, sehingga
pemerintah Belanda menghadiahkan penghargaan kepada seluruh staf rumah sakit
terutama bagi N. Barus sang pemimpin dengan piagam penghargaan yang diwakilkan
oleh Controlir Karo Residen Sumatera Timur. Mulai dari sini, Batak Instituut
Hospitaal menjadi dekat dengan kehidupan masyarakat Karo, dimana status dokter,
perawat, bidan dan pegawai medis dianggap sebagai status yang ditinggikan oleh
masyarakat Karo.
ZAMAN PERJUANGAN DAN KEMERDEKAAN
Memasuki
zaman perjuangan kemerdekaan, rumah sakit Batak Instituut Hospitaal memainkan
peran yang krusial terutama sewaktu merawat para pejuang gerilya dan tentara
Belanda tanpa pandang bulu. Meski ruangan bagi para pejuang kemerdekaan dan
serdadu Belanda dipisah di sektor yang berbeda (untuk menghindarkan perkelahian
antar sesama pasien), para staf rumah sakit bekerja tanpa pandang bulu dan
pamrih, tanpa melihat status, seragam maupun usul sang pasien. Bahkan ada
beberapa staf rumah sakit yang rela berkunjung ke pos pertahanan pasukan
Republik sewaktu tengah malam agar para pejuang yang terluka dapat diberi
penanganan medis. Ada juga yang mengajarkan kepada para pejuang cara mengatasi
dan merawat luka – luka di medan perang. Dedikasi mereka sungguh mulia dan
terpuji. Sewaktu Indonesia merdeka pada tanggal 22 September 1948 Bataks
Instituut Hospitaal diserahkan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi atas nama Rumah
Sakit Umum Daerah Kabanjahe, sesuai dengan semangat ke - Indonesiaan pada waktu
itu. Hanya saja masalah terjadi sewaktu pemerintahan yang masih baru kekurangan
dana unutk melaksanakan berbagai hal, termasuk di dalamnya adalah operasional
rumah sakit. Tidak lama berselang, Mr. H Neumann, anak dari Pendeta JH Neumann
menawarkan agar RSU Kabanjahe dikelola kembali oleh keluarganya dan pemerintah
setuju. Pada tahun 1948 seiring dengan aksi Polisionil yang Kedua dan
berkobarnya peristiwa Karo Area, maka
pengelolaan RSU Kabanjahe diserahkan kembali kepada tim Kesehatan Moderamen
GBKP. Dikarenakan terhantam berbagai peristiwa pemberontakan dan gejolak
politik PRRI / Permesta, keinginan Pemerintah Daerah Tinggi II Karo untuk
memiliki sebuah rumah sakit rakyat terhalang akibat minimnya dana kas
pemerintah untuk menanggulangi gejolak / pemberontakan tersebut. Oleh karena
itu, Pemkab Karo berinisiatif untuk meminjam sarana RSU Kabanjahe sebagai rumah
sakit pemerintah. Setelah disetujui oleh petinggi GBKP, dalam semangat
membagnun bangsa yang baru, RSU Kabanjahe diserahkan sebagai pinjaman
pengelolaan oleh Pemkab Karo.
KONFLIK
Setelah
masa perjuangan dan pergolakan selesai, RSU Kabanjahe ditata kembali dan
dilakukan penambahan fasilitas agar mampu melayani masyarakat Tanah Karo secara
lebih maksimal dengan mendatangkan berbagai peralatan yang canggih pada masanya
dan membangun beberapa gedung tanpa sepengetahuan pihak Moderamen GBKP. Padahal
tanah yang tengah dikembangkan tersebut adalah tanah hak milik GBKP dan telah
disahkandalam Sertifikat Hak Guna Bangunan no. 119 oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Tanah Karo. Pemkab Karo juga melakukan penambahan beberapa rumah
sakit sebagai satelit dari RSU Kabanjahe. Tidak lama kemudian muncul juga rumah
sakit swasta yang mampu bersaing dengan RSU Kabanjahe. Semakin ramainya
persaingan di lingkup dunia medis, terutama mulai bermunculnya rumah – sakit
internasional di daerah sekeliling Tanah Karo memanaskan persaingan di antara
rumah sakit yang telah ada. Dari waktu ke waktu, dilakukan perombakan dan
perbaikan sarana dan prasarana fasilitas, dimana masyarakat Karo mulai lupa dengan keberadaan status
peminjaman RSU Kabanjahe tersebut.
Pada
tahun 2000 melalui serangkaian musyawarah, petinggi GBKP mulai menyurati Pemkab
Karo agar pengelolaan RSU Kabanjahe dikembalikan kepada tim Moderamen GBKP.
Sesuai dengan hasil Sidang Sinode, tim Moderamen GBKP berkeinginan untuk
mendata ulang aset GBKP dan mengubah HGB no. 119 yang diterbitkan oleh BPN
Tanah Karo menjadi Sertifikat Hak Milik GBKP. Keinginan mereka ditolak oleh
Pemkab Karo, dan melalui perjuangan yang panjang permasalahan kepemilikan RSU
Kabanjahe diutarakan kembali pada Sidang Sinode XXXV 2015. Melalui serangkaian
persiapan dan diskusi, tim Yayasan Kesehatan GBKP yang didukung oleh ribuan
jemaat GBKP melakukan aksi Demonstrasi Damai serta Orasi dihadapan Kantor
Bupati Tanah Karo. Tepat pada tanggal 08 Agustus 2016 pukul 17.00 mediasi
antara tim Yayasan Kesehatan, Moderamen GBKP, jemaat GBKP dan perwakilan Pemkab
Karo, Bupati Karo Terkelin Brahmana menyetujui pengambil-alihan kembali statuta
RSU Kabanjahe ke pangkuan GBKP. Rakyat Menang, Rakyat Senang, Puji Tuhan!
Sumber:
1.
http://www.sorasirulo.com/2016/08/09/akhirnya-tuntutan-warga-gbkp-untuk-memiliki-rsu-kabanjahe-dikabulkan/
Diakses tanggal 09 Agustus 2016 pukul 15.20
2. http://royfachrabyginting.blogspot.co.id/2008/03/sejarah-kekristenan-di-karo.html
diakses tanggal 09 Agustus 2016 pukul 15.30
3.
http://gbkp-sejarah.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-masuknya-injil-ke-tanah-karo.html diakses tanggal
09 Agustus 2016 pukul 15.40
http://collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?lang=en Diakses tanggal 09 Agustus 2016 pukul 15.50
Dokumentasi:
1. Buku pegangan Vaksinasi Cacar di Batak Instituut Hospitaal Kaban Djahe berisi catatan - catatan lepas dari seluruh penjuru Residensi Karolanden.
2. Suster staf Batak Instituut Hospitaal Kaban Djahe bersama dua anak yatim piatu.
3. Penghargaan untuk pimpinan Batak Instituut Hospitaal N Barus terhadap dedikasi beliau dan staf selama proses penanganan cacar tahun 1928.
4. Penduduk Kampung Soerbakti yang didatangi opsir jemputan untuk divaksinasi massal di Rumah Sakit Kabanjahe.
6. Vaksinasi kepada anak di Kampung Deram tertanggal 26 Juni 1928
7. Perwakilan Pemkab Karo dengan Muspida Karo, Ruhut Sitompul, Junimart Girsang dan perwakilan GBKP. (Dokumentasi Roy Fachraby Tarigan, Facebook)
8. Tak pernah lupa untuk si Savedia Lania Olga br Sembiring Meliala dengan cinta kasih dan dukungannya yang tiada henti.