Review Serdadu Belanda di Indonesia 1945 - 1950
Berikut Efeknya Bagi
Generasi Muda Karo Kini.
Periode tahun
1945 sampai 1950 dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai periode
Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Periode penuh dengan darah, pengorbanan
para pendahulu bangsa yang berkeinginan mempertahankan kemerdekaan bangsa dari
penjajah. Sebaliknya bagi masyarakat Kompeni, mereka menyebut periode tersebut
dengan Periode Bersiap, suatu masa yang sangat aneh terdengar di telinga
penduduk bumiputera. Periode Bersiap ditelaah sebagai masa persiapan kolonisasi
kembali pihak Belanda untuk menganeksasi Indonesia dengan melakukan ekses -
ekses (gerakan polisionil) di Indonesia. Meski demikian, kedua belah pihak
pasti sepakat bahwa masa ini adalah masa yang menghancurkan berbagai
infrastruktur Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Pengorbanan yang tiada
terperi hingga kini masih terpatri di jiwa para patriot veteran palagan Hindia
yang sekarang masih hidup.
Kehidupan yang
dijumpai pasca perang kemerdekaan tidak serta merta merubah gaya hidup para
pejuang palagan Hindia tersebut. Tidak sedikit dari mereka yang hidup
menderita, menanggung dosa - dosa kelam masa lampau, bahkan mengalami trauma
hebat pasca perang yang lazim disebut Post - traumatic stress disorder (PTSD).
Penyakit ini tidak hanya menjangkiti pihak yang kalah (prajurit Belanda) tetapi
juga menghampiri para veteran NKRI sebagai pihak yang menang. Tidak sedikit
dari mereka yang hidup sengsara meski telah mengorbankan segala yang dipunya
demi kemerdekaan Indonesia. Banyak jagoan - jagoan medan laga yang harus
menyambung hidup dengan menjadi tukang parkir, preman, pentolan geng bahkan
menjadi bandit dan pemberontak. Penyakit pasca perang yang menggerogoti banyak
pejuang laga kemudian menyebabkan mereka terkucil dari masyarakat sosial dan
hidup terkekang dalam kemiskinan dan diam. Diamnya para saksi sejarah yang
berharga bahkan hingga maut menjemput dirasa sangat disayangkan karena mereka
pasti dapat menjadi saksi yang kredibel untuk penelitian - penelitian
bertemakan perang. Bukan untuk mengecilkan artian mereka menjadi subyek
penelitian laikya tikus percobaan, tetapi pengalaman dan ingatan otentik mereka
menjadi tirai pembuka bagi konsiliasi sejarah antara bangsa Indonesia dengan
Belanda. Melalui kesaksian mereka, dapat dijelaskan berbagai peristiwa yang
terlupa dari catatan sejarah, hal - hal yang dahulu terlewat dari jepretan
kamera.
Bedah Buku
Serdadu Belanda di Indoenesia tahun 1945 - 1950 merupakan sebuah kesempatan
yang menarik untuk merekonstruksi dan mengkaji kembali suatu periode kelam
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Aksi yang difasilitasi oleh
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya bekerja sama dengan badan arsip Belanda,
KITLV menginginkan adanya gelora rekonstruksi di kalangan cendekia muda Gadjah
Mada untuk mengkaji ulang peristiwa - peristiwa penting di kurun Periode
Bersiap dengan mencoba menampilkan karya tangan dari sisi Belanda (Pemerintah
Kolonial maupun prajurit Belanda). Penggunaan unsur cerita yang ditampilkan
dari sisi yang "anti - Republik" diharapkan mampu menggugah adanya
kesadaran untuk mengkaryakan masa mempertahankan Kemerdekaan dari sisi
Indonesiasentris. Hal ini dimaksudkan sebagai jembatan untuk melakukan
rekonsiliasi sejarah di masa depan, sehingga generasi setelah kita tidak perlu
lagi mengkotak - kotakkan antara Kompeni dan Kuli, Toean dan Baboe, Belanda dan
Indonesia. Tidak luput pula sebagai pengingat bahwa perang itu kejam, tidak
manusiawi dan tidak mengenal ampun.
Penulisan review
ini juga ditujukan kepada generasi Karo sekarang yang menjadi
"peminat" sejarah agar juga mau menulis kisah - kisah palagan di
front Karo agar tidak terlupakan dalam catatan historiografi sejarah Indonesia.
Banyak kisah perjuangan simbisa Karo yang luput dari pemberitaan, bahkan banyak
yang terlupa dari lembaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebut saja
palagan Karo Area (yang juga termasuk di dalam periode Bersiap), generasi
setelah bapak dan ibu kita tentu tidak lagi mengetahui adanya front yang
membumi - hanguskan daerah Karo, hingga ke daerah di Deli Tua dan Langkat.
Kejadian berdarah yang menyebabkan pemberontakan di kalangan rakyat jelata yang
kemudian berkobar menjadi apa yang dikenal sebagai Revolusi Sosial Masyarakat
Timur, berujung pada musnahnya kerajaan - kerajaan lokal di wilayah Karo,
Tapanuli, Deli, Langkat, Serdang dan sebagainya. Raja dan semua kerabat
keluarga dibantai habis oleh para anggota massa yang memendam bara amarah
setelah diperbudak selama bertahun - tahun. Bangunan kerajaan dibakar dan
seluruh isinya dijarah oleh massa, sedangkan pihak yang mampu menghentikan aksi
kejam tersebut baru datang setelah sekian lama. Pada masa inilah kita
kehilangan banyak sekali catatan - catatan kerajaan, kisah - kisah pujangga,
arsitektur tradisional dan bahkan garis keturunan raja yang mungkin di dalamnya
terdapat kekayaan budaya yang tiada tara.
Tetapi
dibandingkan wilayah lain, daerah tinggi Karo tidak terlalu disebut
keikutsertaannya, padahal seperti yang kita ketahui, bayak sekali kekayaan
kerajaan yang ikut terjarah dan musnah di dalam revolusi sosial tersebut. Ini
menandakan bahwa ada peristiwa - peristiwa penting di Karo sendiri masih banyak
yang terlingkup tabir misteri. Keganasan Payung Bangun dan pasukan F - Kikan
Barisan Harimau Liarnya yang ditakuti oleh pemerintah Kolonial yang kemudian
mencap beliau sebagai "pembuat onar", Pasukan Halilintar Jenderal TNI
Selamat Ginting dari desa Munte juga luput dari catatan masyarakat Karo,
padahal Tugu Kilat (desa Munte) dan patung Kilap Sumagan berdiri megah di jambur
beliau di Jalan Padang Bulan Medan. Rakoetta Meliala sebagai salah satu tokoh
nasional senior pada masanya, kini dilupakan oleh generasi muda mengenai
sumbangsih beliau. Djaga Depari yang merupakan pencipta dan tokoh seniman Karo
yang kemudian tidak jelas keberadaannya pada masa Kemerdekaan hanya diingat
karya beliau, bukan bagaimana beliau juga berupaya menggempur budaya Kolonial
via seni. Belum lagi catatan - catatan mengenai tokoh - tokoh yang kemudian
dijadikan nama jalan di sepanjang Kabanjahe dan Brastagi juga terasa kurang
mengena di warga Karo sendiri. Kapten Mumah Purba, Letnan Rata Perangin -
angin, Kadir (Bukit Kadir) sepertinya terlupa dibalik hiruk - pikuknya
pembangunan di ibukota Kabupaten Karo tersebut.
Oleh karena itu,
diharapkan ada sebuah aksi nyata untuk menghidupkan kembali semangat
kemerdekaan dan penghargaan terhadap para tokoh tersebut yang dapat dituangkan
ke dalam media - media kreatif kekinian oleh anak - anak muda Karo lainnya.
Ketokohan para pahlawan bangsa tersebut dapat digali, dikaji dan
divisualisasikan dalam format film, digital, gambar, sablon, patung, karya
kriya, karya rupa ataupun bentuk tari - tarian masa kini, sebagai pengingat
bahwa tidak sedikit dari mereka mengorbankan segala sesuatunya demi merdeka nya
Ibu Pertiwi. Ayo anak muda, mari meneliti, mari berkarya, demi Indonesia BISA!
Sumber:
1. Gert Oostindie. Serdadu Belanda di Indonesia 1945 - 1950.
KITLV: Jakarta, 2016
2. Karl. J. Pelzer. Toean Keboen dan Petani: Politik
Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863 - 1947. Sinar Harapan:
Jakarta, 1985
3. Anthony Reid. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya
Kerajaan Sumatera. Sinar Harapan: Jakarta, 1979
4. Djamin Gintings. Bukit Kadir. CV Umum: Kabanjahe, 1968
5. Terkhusus untuk Savedia Lania Olga br Sembiring Meliala
yang kini telah jauh berada di negeri Hiu - Buaya, salam sayangku dan terima
kasih untuk selalu menyemangatiku.