Local Wisdom dan Early Warning System. . .
Suku Karo adalah suku yang memiliki kekayaan Budaya yang luar biasa sebagai salah satu khazanah nusantara. Kekayaan dalam suku Karo ini meliputi unsur - unsur budaya dalam ritual - ritual ucapan syukur dan bidang pertanian yang notabene sangat mendekatkan masyarakat Karo dengan aLam...mengenai unsur - unsur budaya yang memiliki keterkaitan dengan alam bisa dilihat di uraian milik bapak Rudi Salam Sinulingga dalam portal berita Sora Sirulo yang menurut saia cukup mewakili khazanah budaya Karo yang cukup erat bertautan dengan pertanian dan ritual penyembahan alam...Hal ini telah berlangsung dan dijalankan oleh orang Karo sendiri di wilayah Karo hingga ke Pantai Timur Sumatera sejak nenek moyang orang Karo memantek apa yang kita kenal sekarang dengan wilayah Kab. Karo, Deli Serdang, Langkat, Simalungun etc.
Keberagaman unsur budaya inilah yang kemudian membantu orang Karo menaklukkan serta mengolah Bumi Turang yang subur sehingga dapat menghasilkan hasil - hasil pertanian yang luar biasa. Perlu diingat bahwa keadaan geografis Dataran Tinggi Karo adalah medan yang tidak ramah. Memiliki gugusan gunung berapi dan rimba raya yang rapat serta teritori berawa di dataran rendah cukup merepotkan mobilitas orang Karo dalam berkunjung kesana - sini..Oleh karena local wisdom lahh orang Karo belajar mengenal dan menghargai alam tidak lebih rendah dengan dia sendiri. Daniel Perret menuturkan bahwa local wisdom di Karo telah membantu migrasi orang Karo dari dataran pegunungan hingga ke pesisir dan berkenalan dengan orang Melayu dan Belanda. Para Perlanja Sira pun juga memiliki ritual serta tabas - tabas yang dibawa di perjalanan menuju dataran rendah dan sebaliknya. Belum lagi tahapan prosesi yang rumit sewaktu upacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia juga memerlukan adanya persembahan bagi Sang Penguasa Alam menegaskan adanya penghormatan bagi alam itu sendiri. Cerita rakyat asal Karo yang diterbitkan oleh Gramedia juga menuturkan pentingnya interaksi dengan alam, seperti halnya Guru Diden, Beru Dayang, Si Aji Bonar serta Manuk Sinangggur Dawa yang menuturkan pentingnya siklus alam dalam kehidupan manusia Karo.
Suku Karo adalah suku yang memiliki kekayaan Budaya yang luar biasa sebagai salah satu khazanah nusantara. Kekayaan dalam suku Karo ini meliputi unsur - unsur budaya dalam ritual - ritual ucapan syukur dan bidang pertanian yang notabene sangat mendekatkan masyarakat Karo dengan aLam...mengenai unsur - unsur budaya yang memiliki keterkaitan dengan alam bisa dilihat di uraian milik bapak Rudi Salam Sinulingga dalam portal berita Sora Sirulo yang menurut saia cukup mewakili khazanah budaya Karo yang cukup erat bertautan dengan pertanian dan ritual penyembahan alam...Hal ini telah berlangsung dan dijalankan oleh orang Karo sendiri di wilayah Karo hingga ke Pantai Timur Sumatera sejak nenek moyang orang Karo memantek apa yang kita kenal sekarang dengan wilayah Kab. Karo, Deli Serdang, Langkat, Simalungun etc.
Keberagaman unsur budaya inilah yang kemudian membantu orang Karo menaklukkan serta mengolah Bumi Turang yang subur sehingga dapat menghasilkan hasil - hasil pertanian yang luar biasa. Perlu diingat bahwa keadaan geografis Dataran Tinggi Karo adalah medan yang tidak ramah. Memiliki gugusan gunung berapi dan rimba raya yang rapat serta teritori berawa di dataran rendah cukup merepotkan mobilitas orang Karo dalam berkunjung kesana - sini..Oleh karena local wisdom lahh orang Karo belajar mengenal dan menghargai alam tidak lebih rendah dengan dia sendiri. Daniel Perret menuturkan bahwa local wisdom di Karo telah membantu migrasi orang Karo dari dataran pegunungan hingga ke pesisir dan berkenalan dengan orang Melayu dan Belanda. Para Perlanja Sira pun juga memiliki ritual serta tabas - tabas yang dibawa di perjalanan menuju dataran rendah dan sebaliknya. Belum lagi tahapan prosesi yang rumit sewaktu upacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia juga memerlukan adanya persembahan bagi Sang Penguasa Alam menegaskan adanya penghormatan bagi alam itu sendiri. Cerita rakyat asal Karo yang diterbitkan oleh Gramedia juga menuturkan pentingnya interaksi dengan alam, seperti halnya Guru Diden, Beru Dayang, Si Aji Bonar serta Manuk Sinangggur Dawa yang menuturkan pentingnya siklus alam dalam kehidupan manusia Karo.
Terkait dengan serangkaian bencana alam yang kini terjadi di Bumi Pertiwi kita tercinta ini, banyak ahli yang kebingungan dalam mencari formula yang tepat untuk mendapatkan semacam sistem peringatan dini yang mampu mendeteksi keberadaan gempa, gunung meletus serta bencana - bencana lainnya. Mereka seakan lupa bahwa local wisdom yang kita miliki justru banyak yang di dalamnya terkandung makna untuk "menyelaraskan diri dengan alam serta mengetahui apa yang akan terjadi" meski memang intensitas waktunya tidak selama alat - alat modern canggih sehingga waktu mempersiapkan diri sangatlah singkat. Mereka beranggapan bahwa hal itu adalah kuno dan ketinggalan zaman. Buat apa meneliti dan mengawasi sejumlah hewan apabila ada komputer yang mampu mengawasi 24jam secara menyeluruh, ibarat paket aLL in One lah:D Keberanggapan yang salah kemudian membuat local wisdom tersebut ditinggalkan serta terancam punah karena masyarakatnya tidak lagi memerlukannya. Ini lah yang coba saia ingin kembalikan kepada kita untuk kita renungkan....
Nenek moyang kita telah berhasil survive dari bencana terburuk sekalipun akibat dari pemahaman riil mengenai local wisdom / local genius yang kita miliki. Gempa di Batukarang tahun 1800-an yang banyak mengancurkan arsitektur tradisional Karo berikut dengan rumah adatnya yang megah, Serbuan maut Gunung Sinabung, Sibayak, Barus dll yang memuntahkan lava di sekitar Tanah Karo dari waktu ke waktu, kekeringan, banjir bandang, dsb telah mereka lewati karena mampu menyelaraskan diri dengan alam sehingga setidaknya saia masih dapat mengetikkan naskah ini. Mereka tidak gentar ketika tahu bahwa akan ada bencana karena kesiapan yang telah terpatri dalam hidup mereka bahwa ketika terjadi ini mereka telah tahu untuk begini..Bukan seperti kita yang kemudian gempar mendengar ramalan 2012 yang datang entah dari bangsa mana...
Sejarah pun berhasil mengungkapkan hal - hal yang sulit sekali untuk ditelisik lewat metode sejarah lisan, penggalian tradisi lisan dan penelaahan folklore, legenda serta mitos rakyat. Mungkin hal yang sama dapat kita lakukan dalam menghadapi kebencanaan ini dengan mencari tahu apa local wisdom yang bisa kita jadikan pegangan dalam suatu wilayah tertentu seperti wilayah jogja dengan Gunung Berapi kah, wilayah pantai barat Sumatera dengan hempasan ombak dan tsunami kah atau wilayah dengan tremor gempa kah, dsb.
Smoga tulisan ini dapat menyadarkan kembali mengenai kekayaan local wisdom kita yang jauh lebih canggih dari alat - alat modern yang seringkali hilang tak jelas dan menumbuhkembangkan kecintaan bagi para pembaca sekalian terhadap local wisdom sehingga dapat kembali kita lestarikan dalam hdidup bermasyarakat.]
Referensi:
Daniel Perret. Kolonialisme dan Etnisitas. Jakarta: KPG. 2005
Z Pangaduan Lubis. Cerita Rakyat dari Karo. Medan: Grasindo. 1998
http://www.sorasirulo.net/1_1_988_ekonomi-dan-jati-diri-dalam-pertanian-karo.html (oleh Rudi Salam Sinulingga)
http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4322:melayu-dan-batak-dalam-strategi-kolonial&catid=59:opini&Itemid=215 (Oleh Prof. Usman Pelly)
http://karotempodoeloe.blogspot.com/2010/05/erpangir-ku-lau-tahun-1932.html (Foto)
Special Thanks:
1. Yohana Samueline br Ginting (teman berdiskusi)
Special Thanks:
1. Yohana Samueline br Ginting (teman berdiskusi)
2. Metro TV (inspirasi penulisan dan info)
3. Blog karotempodoeloe (untuk foto erpangir ku lau)
3. Blog karotempodoeloe (untuk foto erpangir ku lau)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar