Polemik Tortor dan Penculikan Ragam Budaya Nusantara.
Dalam beberapa hari yang lewat terjadi polemik yang cukup
menyedot perhatian masyarakat Indonesia dari rentetan isu yang memanas, yaitu
klaim Malaysia atas tari Tortor dan Gondang Sambilan, yang merupakan produk
usaha dari saudara kita, etnik Mandailing di Selatan Tapanuli. Menarik untuk
disimak, karena atensi terhadap permasalahan ini bermula dari maksud Menteri
Penerangan, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Dr. Rais Yatim, berujar bahwa kedua ragam
budaya etnik itu akan diusulkan untuk masuk ke dalam section 67 Warisan Kebangsaan Malaysia. Persoalan
kembali meruncing ketika pihak Malaysia mengaku bahwa pihak pengusul merupakan
komunitas Mandailing di Malaysia yang telah lama bermukim di negeri jiran
(kurang lebih sejak 200 tahun yang lalu). Ada apakah gerangan?
Membahas mengenai “penculikan” ragam budaya milik bangsa
Indonesia tidak bisa dipandang hanya dari satu sisi. Perlu adanya penajaman
analisis dengan menganalisa masyarakat perantau yang ada di Negara – Negara
lain, salah satunya foes among friends
adalah sang “saudara tua” kita Malaysia. Kasus tersebut sebenarnya hanya merupakan
pengulangan, ketika pada tahun 2000 –an seiring dengan program visit Malaysia,
mereka mengklaim pulau Sipadan Ligitan dan ragam batik, kesenian reog dan alat
musik angklung sebagai kepunyaan asli Melayu. Hanya, tidak disebut produk asli
Melayu itu seperti apa. . .
Mengulik komposisi komunitas Malaysia yang sarat akan etnik
– etnik yang ada di Indonesia cukup menyulitkan upaya pembenaran maupun
tuntutan terhadap klaim kebudayaan, karena kita sebenarnya berasal dari rumpun
etnik yang serupa, kesatuan dalam bernenek moyang. Komunitas Melayu dan Jawa
merupakan keturunan asli yang hijrah dari Indonesia dengan berbagai alas an,
meski tidak semuanya dibumbui dengan isu politis. Komunitas Melayu merupakan
salah satu yang terbesar, mendapat dukungan dari etnis Melayu yang ada di
Sumatera Utara bagian selatan (Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal)
serta komunitas Minang di Sumatera Barat. Hal yang cukup mengherankan adalah
tiadanya dukungan dari komunitas Melayu yang ada di Medan dan Aceh, notabene
lebih dekat secara geografis. Ada teori yang mengatakan bahwa Islam di Medan
tidak sejalan dengan Islam yang ada di Aceh maupun Islam yang mengakar kuat di
Malaysia dan Sumatera Barat. Sepertinya ada perbedaan pemahaman antara orang
Islam di Medan dengan saudara – saudarinya di Minang, Padang dan Mandailing,
sebagai basis terbesar kaum Muslim di Sumatera selain Aceh. Banyaknya orang
Malaysia yang merupakan orang asli maupun keturunan dari orang Minang, Padang
dan Mandailing menjadi penguat bukti teori tersebut. Anggapan yang kemudian
terjadi adalah praduga bahwasanya masyarakat Melayu Medan berasal dari orang
pegunungan (Batak) yang melepas marga / meninggalkan tatanan adat istiadat /
memeluk agama Islam dan kemudian menjadi broker bagi perdagangan antara
pedalaman dengan masyarakat pesisir / pedagang lepas pantai. Ada juga anggapan
lain bahwa Islam yang berpengaruh di daerah pesisir Pantai Timur Sumatera
banyak dilakukan oleh orang Aceh, sedangkan Islam yang berada di Tapanuli
Selatan, Mandailing dan Sumatera Barat berasal dari pedagang – pedagang Muslim
yang berlabuh di Barus, Singkel dan meng –Islamkan penduduk di Pantai Barat
sekitar abad 9 hingga 12 –awal. Akan tetapi teori diatas masih diragukan
kebenarannya dikalangan para sejarawan dan antropolog serta bukan menjadi
kapasitas saya untuk mengupasnya secara lebih mendalam lagi. Ditulis sebagai
intermesso dan pembuka cakrawala berpikir yang lain.
Bapak Zainuddin
Pangaduan Lubis, salah seorang pemerhati adat Mandailing menulis dalam
catatan lepas beliau mengenai Mandailing, bahwa terdapat beberapa tokoh yang
mempelopori migrasi menuju Malaysia dan berpengaruh sehingga mampu membentuk
suatu komunitas Mandailing yang kokoh di negeri jiran tersebut. Salah satunya adalah
Tuan Syekh Mustafa Husein (Tuan Syekh
Purba) yang dalam hayatnya mendedikasikan diri untuk mengajar dan
menyebarkan agama Islam di Hutapungkut Julu, Tana Bato dan Purba Baru di
Mandailing. Beliau kemudian mendirikan pesantren Madrasah Mustafawiyah yang
kemudian terkenal seantero Mandailing bahkan hingga Malaysia, dimana dengan
ponpes tersebut beliau berhasil mendapat julukan baru yaitu Tuan Syekh Purba.
Tokoh kedua menurut Z. Pangaduan Lubis adalah Syekh Junied. Beliau belajar agama Islam setelah berhasil
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 1916 dan kemudian berguru
pada Syekh Abdul Wahab di Besilam,
Langkat. Beliau memperdalam ilmu di Malaysia dan melanjutkan pendidikan ke Al –
Azhar di Mesir tahun 1919. Hingga tahun 1929, beliau secara intens bolak –
balik menuju Malaysia dan Mekkah hingga beliau pulang kampung untuk mengabdi
dengan mendirikan sekolah di Huta Namale tahun 1929. Pada periode Revolusi
Bersenjata, beliau secara aktif mengobarkan semangat rakyat Mandailing untuk
gigih melawan Belanda hingga ajal menjemput pada 30 Maret 1948. Kedua tokoh
diatas menjadi pelopor bagi terbentuknya komunitas Mandailing di Malaysia dan
mengorganisir semua keturunan asal Mandailing Natal di negeri jiran tersebut, hingga
menjadi sebuah komunitas yang cukup diperhitungkan di Malaysia. Penelitian pun
mengatakan bahwa mayoritas anggota komunitas tersebut merupakan keturunan asli
Nusantara yang kemudian memperoleh pekerjaan di Malaysia sehingga ketika sedang
melaksanakan pertemuan dirasa perlu untuk mengadakan temu kangen dengan tarian
maupun pertunjukan seni selayaknya kita orang Karo dengan acara “Mburo Ate
Tedeh” maupun “Gendang Guro – Guro” di perantauan. Wajar apabila hal tersebut
dilakukan untuk mengobati rasa kangen akan kampung halaman. Munculnya polemik
“perampokan” unsur budaya Tari Tortor dan Gondang Sambilan oleh Malaysia pun
bermula ketika kebudayaan yang awalnya dipertunjukkan sebagai pengobat rasa
rindu diusulkan menjadi ragam budaya milik Negara lain.. (Ini adalah persoalan
utamanya).
Dalam makalah yang berjudul Prospek Budaya Mandailing Dalam PJPT II, Prof. Usman Pelly salah
seorang budayawan Mandailing di Medan, menuliskan bahwa masyarakat Mandailing
telah menikmati akulturasi pendidikan Islam tradisional dipadu dengan pendidikan
barat modern. Masyarakat Mandailing sangat bersyukur telah menikmati
akulturasi tersebut dengan bisa lepas
dari Paganisme ala Batak dan menjadi orang Indonesia tulen, sejajar dengan suku
bangsa lainnya di Nusantara. Mereka tetap melestarikan adat istiadat mereka,
namun secara kaku dan tertutup terutama bagi tokoh – tokoh adat Mandailing.
Akan tetapi berselang 60 tahun kemudian, kelompok etnik lainnya mampu
mengembangkan kebudayaan etnik mereka dan mendekorasi ulang kota Medan dengan
ragam etnik masing – masing suku, sedangkan masyarakat Mandailing sendiri hanya
bisa terkejut melihat ketertinggalan dari saudara – saudarai mereka di Sumatera
Utara khususnya di ibukota provinsi. Masyarakat Melayu, Karo, Toba dan Simalungun
di Sumatera Utara serta Bali dan Jawa di seberang menjadi ujung tombak revolusi
kebudayaan. Sementara kekakuan dan ketertutupan masyarakat Mandailing yang
terlalu mensakralkan nilai – nilai tradisi sehingga menghambat perkembangannya.
Hal ini kemudian berujung pada kekurang – terimaan budaya Mandailing di
kalangan masyarakat Sumatera Utara, sehingga dapat dikatakan “kalah bersaing
dengan saudara – saudari Batak mereka. Hal ini tentu menyulut persoalan lama di
kalangan orang Batak, mengenai Batak dan Non – Batak yang cukup tenar dibahas
melalui jejaring sosial beberapa waktu lalu, tetapi ha tersebut tidak akan
dibahas disini.
Sebagai akibat dari atensi dan antusiasme yang kurang
popular di Indonesia padahal menjadi suguhan yang notabene dicari di Malaysia,
maka komunitas Mandailing Malaysia mungkin merasa bahwa kebudayaannya dihargai
di negeri seberang, dibanding di tanah sendiri, mungkin juga pertunjukan
tersebut disponsori oleh pemerintah Malaysia yang terkenal sangat jor – joran
untuk urusan kepariwisataan. Hal ini tentu dimanfaatkan oleh komunitas tersebut
untuk “mematenkan” ragam budaya manortor dan margondang kepada Malaysia, karena
merasa bahwa budayanya dihargai.
Hal yang kemudian patut menjadi catatan adalah bahwa
apabila kita sebagai orang Karo tidak segera berbenah, mungkin saja hal
yang sama akan dialami oleh generasi penerus kita di masa depan. Hal ini tentu
tidak lepas dari ketenaran musik Karo di kancah internasional, seperti halnya
di Belanda, Malaysia dan Filipina. Bukannya tidak mungkin apabila musik Karo di
masa depan diklaim oleh bangsa yang mungkin memiliki keterikatan di masa lampau
dengan wilayah Bumi Turang, bahkan kembali lagi, oleh masyarakat Karo yang
berada di luar negeri. Komunitas Karo tumbuh dan berkembang di wilayah seperti di
Malaysia (hampir seluruh wilayah Malaysia), Perth, Melbourne (Australia),
Belanda, Inggris, Jerman dan India dan tidak mungkin mereka lah yang menuntut
adanya klaim dari negara asing terhadap ragam budaya Karo apabila tidak segera
dibenahi / diperhatikan oleh orang – orangnya. Sense of Belonging dari orang Karo tentu dibutuhkan apabila kita
sebagai orang Karo mencintai budaya kita yang belum tentu terdapat di belahan
dunia lainnya. Bukti sahih dari hal ini yang paling kentara adalah rumah adat.
Bukan tidak mungkin dalam beberapa waktu ke depan, rumah adat Karo akan
berpindah tangan ke orang asing yang berniat membangun rumah adat Karo di
negaranya, sehingga tidak kita jumpai lagi rumah adat Karo di Tanah Karo
sendiri yang merupakan habitat aslinya. Kenapa tidak? Justru di era yang
hedonis sekarang ini orang mencari keuntungan dalam waktu singkat, sehingga hal
tersebut mungkin tidak terhindarkan. Contoh lainnya adalah Ndikkar. Seorang teman merasa kesulitan untuk mencari guru Ndikkar
di seantero Tanah Karo, dan ketika kami melakukan pencarian, justru orang
merujuk pada seorang guru Ndikkar yang mengajar di Belanda...WHOAA???
Prof. Usman Pelly dalam makalahnya yang berjudul “Prospek
Budaya Mandailing Dalam PJPT II” mengusulkan adanya langkah – langkah berikut demi
survivalisasi adat budaya Mandailing, antara ain:
1.
Pendirian Kelompok Studi Mandailing,
2.
Peneguhan Studi Keislaman,
3.
Pendirian Sanggar Budaya / kesenian Mandailing,
4.
Pendirian Pusat Budaya Mandailing,
5.
Pendirian Pusat Penerbitan dan Kepustakaan Daerah.
Menurut penulis, usul diatas tentu relevan bagi lestarinya budaya Karo juga
terutama bagi poin Pertama, Keempat dan Kelima. Pendirian sanggar – sanggar
tentu menjadi ujung tombak bagi pelestarian budaya di bidang kesenian, seperti
halnya seni tari, seni ukir dan seni musik tradisi. Akan tetapi pendirian bagi
Kelompok Studi Budaya Daerah dan Pusat Penerbitan Kepustakaan Daerah sangat
dibutuhkan bagi tersedianya sarana pencetakan karya ilmiah yang menyangkut
Karo. Hal ini tentu tidak luput dari minimnya pembahasan karya ilmiah Karo yang
spesifik menyangkut suatu bidang, tidak seperti karya pustaka Karo yang
didalamnya termuat berbagai ulasan dari lintas bidang, dalam kata lain, komplit
all in one. Mungkin dengan hal ini bisa kita meminimalisir klaim terhadap asset
budaya Karo dari tangan yang tidak bertanggung – jawab serta memperkenalkan
Karo kepada dunia. Contoh kecil implementasi dari saran Bapak Usman Pelly
tersebut adalah dengan mulai membiasakan diri memakai bahasa Karo apabila
berkomunikasi dengan sesama orang Karo, serta mulai memiliki sense of belonging
terhadap ragam etnik Karo dengan berpartisipasi dalam acara – acara adat maupun
tidak malu untuk belajar mengenai kesenian Karo.
Salam Budaya!!
Sumber:
Daniel Perret.
Kolonialisme dan Etnisitas. Jakarta: KPG. 2010
Usman Pelly.
Prospek Budaya Mandailing dalam PJPT II. Makalah.
Zainuddin
Pangaduan Lubis. Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing. Jakarta: Kelompok
Humaniora – Pokmas Mandailing. 2010.
Sumber Online (diakses pada tanggal 21 Juni 2012 pukul 17.00):
Special Thanks to:
1. Bapak Zainuddin Pangaduan Lubis (tokoh dan budayawan Mandailing)
2. Bapak Prof. Usman Pelly (Dosen Luar Biasa IKIP Medan, USU dan IAIN Medan)
3. Komunitas Mandailing di Malaysia
4. Pemerhati dan pecinta budaya Karo dan Nusantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar