Komunikasi
dan Informasi di Kalangan Karo Jakarta
Orang Karo dapat dikatakan sebagai
orang yang gemar berkomunikasi. Tanpa mengada – ada, hingga tahun 1915 telah
muncul berbagai karya tulis maupun perkumpulan organisasi Karo di Sumatera
Utara ( dahulu bernama Sumatera Timur) yang menampung hasrat orang Karo dalam
berkomunikasi sekaligus bersosialisasi. Komunikasi sebagai perantara beredarnya
informasi dan sarana berkomunikasi (bersosialisasi) dalam masyarakat Karo
dikenal / dikemas dalam dua tipe, yaitu komunikasi verbal dan non verbal.
Komunikasi verbal tentunya memiliki
fungsi untuk memaknai bahasa Indonesia (sebagai bahasa Nasional) dan cakap Karo sebagai local genius di Tanah Karo. Sedangkan untuk media non – verbal,
sarana yang menjadi pilihan paling populer adalah sarana koran (sebagai media
cetak) yang sangat digemari oleh orang
–orang yang sering singgah di kedai kopi. Majalah yang telah beredar lama di
Batavia, bahkan ketika pemerintah Kolonial masih bercokol di Indonesia adalah
majalah yang bernama Mergasilima.
Pada tahun 1960 –an kemudian muncul majalah Terlong: Tugas dan Tekad sebagai wadah menampung tulisan para
intelektual Karo. Pada tahun 1970 dimotori oleh N. J. Sembiring, para mahasiswa
Karo di Jakarta menerbitkan buletin Piso
Surit, cukup eksis selama 10 tahun. Setelah satu dekade lamanya, Piso Surit
hilang dari peredaran namun dengan segera tergantikan oleh koran Simaka dan Kamka. Akan tetapi seperti halnya para pendahulunya, kedua koran
tersebut tidak bertahan lama dan kembali hilang dari peredaran.
Pada 2 Oktober 1994 beberapa tokoh Karo
diantaranya Neken Jamin Sembiring Kembaren, Jeki Depari, Simson Ginting dan
Aswin Ginting mengadakan suatu pertemuan, ditindak – lanjuti dengan pertemuan
dengan beberapa mahasiswa di Kampus UNTAG Jakarta, sepakat untuk menerbitkan
sebuah tabloid Karo dengan nama Sora Mido.
Nama ini sekaligus sebagai upaya mengenang para pahlawan yang berjuang di medan
laga era kemerdekaan. Meski melewati gelombang tekanan yang bertubi – tubi,
Tabloid Sora Mido tetap mampu eksis hingga sekarang diproduksi secara massal di
Jalan Jatiwaringin Raya, Pondok Gede. Keseriusan dan ketahanan Sora Mido
kemudian memacu semangat beberapa tabloid Karo untuk dapat bangkit kembali,
hingga pada tahun 2002 muncul kembali Simaka
dalam format majalah, berproduksi di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Berkembangnya media pers sebagai
sarana komunikasi menjadi indikator yang menguatkan Komunitas Karo telah
berkembang dengan pesat, terutama di
Jakarta dan menyebar hingga kota – kota di Pulau Jawa seperti halnya di
Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dll. Ini mengindikasikan bahwasanya
para cendekia Karo telah menyebar di kota – kota besar tersebut serta bergabung
di dalam pusat – pusat studi yang terkait dengan perguruan tinggi masing –
masing kota. Hal ini menyimpulkan, bahwa informasi – informasi yang dihasilkan
tidak lagi hanya mengenai / mengulas mengenai Tanah Karo tetapi juga seputar
perkembangan Komunitas Karo yang sedang berkembang serta terintegrasi dengan
ilmu pengetahuan yang semakin populer.
Sumber:
Daniel Perret.
Kolonialisme dan Etnisitas. Jakarta: Komunitas Bambu. 2010
Sarjani Tarigan
(editor). Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisme. Ergaji. Tanpa Penerbit.
2008
Wawancara lisan
dengan Bapak N. J. Sembiring di rumah Beliau (tanggal wawancara tidak ada).
Special
Thanks to:
Bapak Neken Jamin
Sembiring Kembaren (Narasumber Utama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar