Corat Coret Sejarah GBKP (Alternatif)
Awal dari berdirinya GBKP lebih dikarenakan
penggangguan aset perkebunan di daerah Tanah Karo oleh Tambat Bukit dan teman – temannya yang sangat merugikan Belanda di
area Sibolangit. Oleh karena itu, Belanda memilih untuk melakukan penginjilan
kepada orang Karo untuk meredam pemberontakan serta perusakan area perkebunan
Belanda. Sebagai implementasi aksi ini
di pilih lokasi di daerah Buluh Hawar pada 18 April 1890. Setelah melakukan
pelobian ke beberapa kelompok penyebar injil di Nusantara, maka disepakati
bahwasanya aksi ini dikelola oleh Nederlands
Zendelingenootschap (NZG) dengan mengutus Pendeta (Pdt.) H. C. Kruyt berikut empat asistennya yang bekerja di
Tomohon, Minahasa menuju Tanah Karo. Sayangnya pada 1892, Pdt. Kruyt
dipulangkan kembali menuju Belanda tanpa berhasil membaptis seorang Karo dan
digantikan oleh Pdt. J. K. Wijngaarden.
Beliau berhasil membaptis 6 orang Karo pada 20 Agustus 1893, meski setahun
berikutnya beliau meninggal akibat serangan disentri. Pdt. Wijngaarden kemudian
digantikan oleh Pdt. M. Joustra yang
kemudian berhasil menerjemahkan 104 cerita Alkitab ke dalam bahasa Karo. Pada
saat bersamaan, datanglah Pdt. Henri
Guillame ditemani seorang guru injil bernama Martin Siregar. Hingga tahun 1900 hanya 25 orang yang berhasil
masuk Kristen akibat kegigihan orang Karo akan budayanya. Pada 1903 datanglah Pdt. E. J. van den Berg dan J. H. Neumann yang kemudian berhasil
membuka pos baru penginjilan di Kabanjahe. Mereka kemudian berhasil mendirikan
Rumah Sakit di Sibolangit dan Kabanjahe (yang pada saat itu sangat eksklusif
bagi masyarakat pribumi) serta Rumah Sakit Kusta di Lau Simomo.
Tahun 1906 dengan kedatangan Pdt. Smith maka dibukalah
Kweekschool (Sekolah Guru) di Berastagi. Sekolah ini kemudian dipindahkan
ke Desa Raya dan pada tahun 1920 ditutup. Kemudian pada 1939 seiring kedatangan
Pdt. Kraemer yang sedang meninjau
perkembangan sekolah zending di Sumatera Timur, ada usulan untuk memisahkan
jemaat Karo dari Christianse Kerk.
Setahun berikutnya, dua guru injil yaitu Palem
Sitepu dan Thomas Sibero
mendapat kesempatan untuk disekolahkan di Seminari
HKBP Sipoholon (saat itu merupakan seminari terbaik seantero Sumatera) di
Tarutung sekaligus dipersiapkan sebagai pendeta pertama yang akan melayani
bakal jemaat pribumi pertama. Pada 23 Juli 1941 dengan dilantiknya Palem Sitepu
dengan Thomas Sibero menjadi Pendeta, diadakan sidang sinode (pertama) yang
membahas mengenai keterlibatan orang Karo menjadi Kristen Karo dan sebagai
output sidang tersebut diterbitkan edaran mengenai penetapan berdirinya Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di
Sibolangit. Pada sidang sinode tersebut juga disahkan Tata Gereja GBKP yang
pertama sekaligus pelantikan Pdt. J. van
Muylwijk sebagai ketua Moderamen GBKP dan Guru Lucius Tambun sebagai Sekretaris Umum. Pdt. Palem Sitepu
kemudian dikirim menuju Tiganderket sebagai wakil Ketua Klasis untuk Karo
Gugung dan Pdt. Thomas Sibero sebagai wakil Ketua Klasis Karo Jahe di Peria –
ria.
Thus, perlu digarisbawahi dalam artikel ini adalah
pentingnya kampung (tidak saja) Buluh Hawar sebagai basis penginjilan
pertama, tetapi juga Sibolangit dan Kabanjahe terutama di wilayah Rumah
Sakit Pemena dan juga Rumah Sakit Kusta Lau Simomo. Ketiga rumah sakit ini
didirikan ketika fasilitas kesehatan menjadi sesuatu yang amat luks bagi orang
Karo, terutama keberadaan bidan dan dokter yang sangat penting di pedalaman.
Kisah murtadnya seorang jemaat yang anggota keluarganya meninggal akibat
penyakit yang gagal disembuhkan oleh tim medis zending menjadi sesuatu yang
lazim di zaman dahulu ketika profesi dokter masih belum populer di kalangan
orang Karo. Kemudian perkembangan daerah Kweekschool Berastagi yang menjadi
basis pendidikan keguruan bagi rakyat Karo menjadi jendela transfer menuju modernisasi
yang kini berhasil mengantar beberapa maestro Karo menuju kesuksesan tertinggi
di kancah nasional maupun internasional.
Sekolah ini kemudian dipindahkan menuju desa Raya, sekarang masih di
kecamatan Berastagi. Tidak ketinggalan adalah keberadaan GBKP di desa
Tiganderket dan Peria – ria sebagai klasis pertama penyambung lidah GBKP
menuju masyarakat Karo Gugung dan Karo Jahe.
23 Juli perlu diperingati sebagai Hari Ulang Tahun
(HUT) GBKP. Pada 23 Juli 1941 dengan diselenggarakannya Sidang Sinode pertama
di Sibolangit, secara de facto orang Karo memisahkan diri dari NZG dan
Christianse Kerk serta berdikari menuju GBKP yang memiliki Tata Gereja dan
Kepengurusan Moderamen yang mandiri. Perlu digaris – bawahi baha ini juga dapat
dikatakan sebagai hari lahir GBKP secara de facto dan de jue serta sudah
sepatutnya kita rayakan dengan melakukan refleksi terhadap keKaroan dan
keKristenan sebagai implementasi “pemekaran” di sidang sinode pertama tersebut.
Hingga 1900 hanya 25 orang yang berhasil
diKristenkan, oleh wakil – wakil NZG di daerah Karo. Hal ini kemudian
berbalikan dengan data bahwa pada tahun 1960 – an (seiring Pemberontakan G30S /
PKI) dimana jemaat Karo mencatat rekor Kristenisasi terbesar di Indonesia
dengan kisaran angka 60.000 orang per tahun. Ini mungkin sangat erat kaitannya
dengan implementasi tradisi Karo ke dalam kebaktian dan mungkin kini ada
perlunya kontekstualisasi aktifitas adat yang kemudian “dirohanikan” sebagai
upaya penjaringan jemaat dan profesionalisme kependetaan yang lebih maju. Semoga
diskusi ini berjalan menarik karena tidak jarang aktifitas kerohanian
menyenggol garis batas adat / tradisi yang animis.
Pentingnya pemeliharaan aset GBKP seperti gereja
pemena di Buluh Hawar serta Rumah Sakit Sibolangit, Kabanjahe serta Lau Simomo
sebagai silent monument perkembangan masyarakat Karo dalam Kristen. Pembangunan
aset tersebut merupakan suatu anugerah di zamannya terkait aktifitas NZG secara
siang malamnya bekerja mencari domba – domba yang siap digembalakan. Kini
seiring dengan keluarnya GBKP dari aktifitas NZG ada kealpaan masyarakat Karo
dalam melihat bangunan – bangunan tersebut sebagai monumen / tugu peringatan
perjuangan para pendeta dan guru agama membina Kristenisasi di tengah
masyarakat yang mengenyam pendidikan pun tidak. Semoga ada kesadaran dari
masyarakat untuk memprioritaskan perkunjungan tersebut sebagai jalan
salib / wisata rohani pertama sebelum bertolak ke Jerusalem. Selain lebih murah
secara finansial, tentu bakal ada kerinduan melihat bagaimana dulu aktifitas
zending oleh Pdt. Kruyt, Joustra, Guillame, Neumann serta bagaimana penderitaan
Pdt. WIjngaarden hingga ajal menjemput. Terlebih lagi semangat Pdt. Palem
Sitepu serta Pdt. Thomas Sibero dalam melayasi jemaat / saudara – saudari orang
Karo, lebih ekstrem lagi kembali pada zeitgeist Zaman Penjaringan
Jemaat.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Batak_Karo_Protestan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar