Legenda Raja
Milo – Ilo
Tersiar
ceritera tentang seorang anak yang bernama Raja Milo – ilo. Raja Milo – ilo
berasal dari tanah Kaban, tetapi dia tinggal dengan mamanya di kampung Raya (kini termasuk bagian dari wilayah
Berastagi, Kabupaten Karo). Mamanyalah yang mendirikan kampung Raya. Mamanya
terkenal, disamping kedudukannya sebagai Simantek
Kuta, ilmunya banyak seperti cara menyuburkan tanah pertanian, cara
mangobati orang sakit dan cara mengembang – biakkan hewan ternak. Dia diberi
gelar “Guru Mbelin Perkata Tuhu”
artinya Datu Besar dan apa yang ucapkannya selalu menjadi kenyataan.
Adapun
kerja Raja Milo – ilo di rumah mamanya ialah menggembalakan ternak. Pagi – pagi
mengeluarkannya dari kandang, kemudian membawa ternak ke padang rumput dan sore
hari menjelang senja menghalaukannya kembali ke kandang. Begitulah tugasnya
dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun, yang dilakukannya dengan
sepenuh hati dan penuh kepatuhan.
Tugasnya
yang lain ialah mengambil garam ke daerah Kotacane di Tanah Alas. Di masa
lampau garam di daerah Karo datangnya dari sana. Jika garam di rumah sudah
habis, maka disuruhlah Raja Milo – ilo ke Tanah Alas untuk mengambilnya.
Perjalanan yang harus dilalui cukup jauh, lagipula amat sulit karena
perhubungan yang baik belum ada pada masa itu. Namun, itupun dikerjakan Milo –
ilo dengan patuh tanpa membantah sepatah katapun.
Kepatuhan
dan kesungguhan Raja Milo – ilo ini disadari oleh mama dan maminya, dimana kebaikan
selama ini hendak mereka balas dengan cara yang sepantasnya menurut adat Karo,
yaitu mereka hendak mengambil Raja Milo – ilo menjadi menantu. Hal itupun telah
diketahui oleh Raja Milo – ilo, akan tetapi tidaklah diharapkannya benar. Lagipula
sudah sepantasnya ia mengabdikan diri kepada kalimbubunya.
Mamanya
bermaksud mengawinkannya dengan impalnya,
puteri yang sulung. Tetapi kemudian ternyata bahwa puteri yang sulung kawin
dengan pemuda lain, bukan dengan Raja Milo – ilo. Sang mama membujuknya agar
jangan kecewa atas tingkah laku adiknya itu dan menjanjikan akan memberikan
puteri kedua mereka sebagai pasangan Raja Milo – ilo. Puteri yang kedua itu
masih kecil dan dimintanya agar Raja Milo – ilo bersabar hati menunggunya
hingga cukup umur untuk dikawini. Dan Raja Milo – ilo menerima tawaran mamanya
itu. Namun apa yang dilakukan oleh kakaknya diulangi lagi oleh adiknya ini.
Diapun akhirnya kawin pula dengan lelaki lain, bukan dengan Raja Milo – ilo.
Sekali lagi mama - mainya menyatakan rasa kecewa atas perbuatan anaknya dan
kembali membujuk Raja Milo – ilo supaya jangan kecewa dan sakit hati atas
tingkah laku adiknya itu. Oleh Raja Milo – ilo dijawab bahwa semuanya itu
adalah kehendak Tuhan dan belum merupakan pertemuannya untuk kawin dengan impalnya.
Namun kepatuhan dan kesetiaan Raja Milo – ilo tidak berkurang karena kejadian
itu.
Pada
suatu kali, habis lagi persediaan garam di rumah mamanya. Dan kali ini mama
menghendaki agar dicarikan garam putih, dan kabarnya garam putih itu hanya ada
di daerah Labuhan. Mamanya sendiri tidak tahu dimana letaknya Labuhan. Tetapi
karena inginnya merasakan garam putih yang konon luar biasa itu maka disuruhnya
juga Raja Milo – ilo perg. “Kau cari sendirilah jalan ke sana dan bawalah garam
putih itu secukupnya pulang”, perintah si kalimbubu kepada kemenakannya. Maka
berangkatlah Raja Milo – ilo mencari garam putih ke daerah Labuhan. Dalam
perjalanannya berdoalah dia kepada arwah Bapa - Nandenya yang sudah lama
meninggal agar senantiasa melindunginya dan mempertemukannya dengan orang yang
tahu jalan ke Labuhan.
Setelah
berjalan beberapa hari melalui hutan lebat dan perjalanan yang sulit, sampailah
dia ke kampung Tanjung. Di sebuah pancuran dicuci mukanya. Sesudah itu, dia
berdoa lagi untuk arwah kedua orang tuanya yang telah tiada. Setelah lama
berjalan sampailah dia dekat perbatasan Berastagi. Dijumpainya sebuah bukit dan
dibukit itu mengalir sebuah sungai. Oleh Raja Milo – ilo sungai itu dinamakan Lau Ciger, karena dia sampai disitu
menjelang tengah hari. Lepas dari bukit Gung
Medalit (kini dinamai Gundaling) dituruninya bukit itu dan tibalah dia di
kampung Peceren. Di tempat itu dia bermalam, serta esok harinya melanjutkan
perjalanan kembali. Setelah lama berjalan, sampailah dia di sebuah bukit yang
bernama Tabu – tabu (kini Tangke Tabu). Setelah meninggalkan tempat itu, ia
tersesat di jalan. Sebenarnya ia bermaksud hendak ke Labuhan, tahu – tahu sampai
di hutan Penatapen.
Diteruskannya
berjalan melalui hutan lebat, lembah yang curam dan tebing yang tinggi
sampailah dia di kaki Gunung Sibayak. Dijumpainya dua buah jalan terntang
dimukanya tetapi tak tahu mana yang akan diturut. Dengan tidak disadarinya,
kakinya terus juga melangkah dan ketika berhenti di suatu tempat tahulah dia
bahwa sudah sampai ke pinggang Gunung Sibayak. Di tengah jalan dia bertemu
dengan tiga orang gadis, masing – masing bernama Bunga Eru, Terang Perukuren
dan Jegir Jawa. Ketiganya mempunyai
sifat dan tingkah laku yang berbeda – beda. Bunga Eru lembut bicaranya, sopan
tingkah lakunya dan tidak ada sifat yang patut dicela. Akan halnya Terang
Perukuren, lapang hati, ramah dan suka gembira. Jegir Jawa tingkah lakunya agak
kasar namun hatinya baik. Ketiganya memperkenalkan diri kepada Raja Milo – ilo.
Sesudah saling berkenalan akhirnya ternyata bahwa ketiga gadis ini adalah
impalnya. Karena hari sudah malam dan Raja Milo – ilo tak tahu jalan, maka
ketiganya membawanya ke puncak Gunung Sibayak tempat orang tua gadis itu tinggal.
Tak dinyana, ketiganya adalah anak penguasa Gunung Sibayak.
Kedatangan
Raja Milo – ilo pada mulanya disembunyikan oleh ketiga puteri tersebut, tetapi
karena didesak oleh para panglima raja yang amat curiga, maka Raja Milo – ilo
pun dikeluarkan dari persembunyiannya. Oleh ketiga gadis itu, dia diperkenalkan
sebagai bere - bere sang raja gunung.
Pada mulanya raja sendiri masih sangsi tetapi setelah melalui bermacam – macam
ujian akhirnya diakuilah sebagai kemenakannya. Dan ketika keberanian dan
ketangkasannya dipertandingkan dengan panglima – panglima yang ada, semuanya
dapat dikalahkan oleh Raja Milo – ilo. Kemudian baru diketahui bahwa kebanyakan
panglima itu berhati busuk dan tidak jujur melihat kedatangan Raja Milo – ilo.
Mereka menginginkan puteri raja yang ketiga orang itu untuk dijadikan istri dan
adanya Raja Milo – ilo disana mereka anggap sebagai saingan berat untuk mereka.
Namun hati yang busuk dan ketidak – jujuran itu menjadi sebab bagi kekalahan
mereka.
Sejak
waktu itu Raja Milo – ilo tinggal menetap di puncak Gunung Sibayak dan kawin
dengan ketiga puteri raja itu. Di kemudian hari dia dikeramatkan di gunung
tersebut.
Sumber:
Tim
Pelaksanaan Proyek – Proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi
Sumatera Utara. (et.al). Cerita Rakyat dari Sumatera. (Jakarta: Balai Pustaka,
1981), hlm. 27 – 29.