Bambu Tak
Dikembangkan untuk Instrumen Musik
By: IND (kolom
Festival Musik, Kompas 3 September 2012, hlm. 12)
Sejak abad ke – 5 Sebelum Masehi, masyarakat di
Nusantara sudah mengenal bambu sebagai alat bunyi – bunyian untuk keperluan
ritual, komunikasi, maupun hiburan. Seiring perkembangan zaman, musik bambu
yang berpotensi dikembangkan sebagai seni musik kontemporer justru tidak
berkembang dengan baik.
Tradisi musik bambu dulu hidup pada masyarakat
pedesaan sesuai konteksnya. Musik bambu kemudian tidak hidup karena konteks
yang dimiliki masyarakat pedesaan sudah hilang.
“Mereka yang hidupnya sudah beralih menjadi modern
juga enggan mengeksplorasi kembali musik bambu,” kata Rizaldi Siagian,
etnomusikolog dalam dialog tentang perkembangan musik bambu di Indonesia,
Sabtu(1/9). Kegiatan ini digelar dalam rangka Festival Musik Bambu Nusantara
2012 pada 1 – 2 September.
Sebanyak 1.250 spesies bambu tersebar di seluruh
dunia. Dari jumlah tersebut, 159 spesies terdapat di Indonesia dan 88 di
antaranya merupakan spesies bambu endemik di Indonesia.
Pemusik Vicky Sianipar pada acara yang sama
menambahkan, pemerintah tampak lebih asyik menggarap promosi kunjungan wisata
dari luar negeri tanpa penguatan budaya di dalam negeri, termasuk musik etnik.
“Ketika wisatawan akhirnya datang, mereka tidak bisa ‘merasakan’ Indonesia
karena kebudayaan Indonesia justru lebih lekat dengan budaya asing,” kata
Vicky.
Festival Musik Bambu Nusantara ini menampilkan
para seniman musik yang mengeskplorasi instrumen musik bambu. Instrumen musik
ini kemudian dimainkan sendiri atau digabung dengan alat musik modern lain,
seperti gitar, keyboard, perkusi, dan
lain – lain untuk memainkan berbagai genre lagu mulai dari jazz, rock, rap, dan
hip hop.
Seniman yang ikut meramaikan festival ini antara
lain Dwiki Dharmawan, Balawan dan Bantuan Ethnic Fusion, Vicky Sianipar, Samba
Sunda, Karinding Attack, Melodi Maniz (Jepang), dan lain – lain. Ada juga
penggiat seni daerah yang mengoptimalkan bambu.
Pembahasan:
Artikel diatas disadur ulang dari Koran Kompas
terbitan 13 September 2012, halaman 12, dikarenakan penulis merasa ada
kaitannya dengan pelestarian musik tradisional Karo yang bahan utamanya banyak
berdasarkan bambu. Bambu (dalam bahasa Karo disebut Buluh / Buloh) sangat
identik dengan suku Karo, karena dalam masyarakat Karo bambu memiliki banyak
sekali fungsi seperti halnya alat musik, tempat menyimpan air, bahan pembuat
anyaman tikar, pancuran air, tempat penyimpanan barang (tas zaman doeloe). Hal
ini mencerminkan pentingnya identitas Bambu dalam masyarakat Karo,sebagai
sesuatu yang memiliki fungsi beragam namun berguna. Di Tanah Karo terdapat
kampung bambu yaitu di Kutabuluh (baik Simole maupun Berteng) yang dulunya
adalah penghasil utama bambu kualitas wahid. Sibayak Kutabuluh pun pernah berpesan
pada tahun 1919 sesaat sebelum penangkapannya, bahwa “Jadilah seperti Bambu,
yang memiliki semangat dan guna yang beragam bagi masyarakat” sebagai penutup
perjuangan cita – cita beliau melawan Belanda. Di Yogyakarta dahulu terdapat
organisasi Sinuan Buluh yang memiliki visi yang mencerminkan semangat ala
Sibayak Kutabuluh tersebut. Jadi Buluh Bambu sangat vital keberadaannya bagi
orang Karo.
Musik Karo pun memiliki pengaruh bilah bambu yang
kuat, sebagai bahan dasar pembuatan instrumen Surdam dan Ketteng – ketteng.
Dapat dikatakan bahwa ensambel Telu Sedalanen wajib memiliki kedua musik
diatas, dipadukan dengan belobat dan mangkuk. Artinya musik tradisi kita pun
sangat dipengaruhi dengan bambu. Akan tetapi pelestarian bambu Karo kini adalah
mimpi belaka. Tidak lagi mudah dijumpai bambu dalam jumlah besar di Tanah Karo,
mungkin karena identitas kamseupay yang melekat di lingkungan yang penuh dengan
bambu, belum lagi disertai dengan isu mistis yang kerap mendatangi wilayah
berbilah bambu. Dirumahnya pun (baca: Kutabuluh) bambu kini sudah susah untuk
dijumpai sehingga secara implisit mengancam keberadaan para pemusik tradisi
Karo. Padahal apabila ditilik, maestro petik Djasa Tarigan memulai karir
bermusik di kelompok Tukang Ginting dengan ketteng – ketteng (notabene dari
bambu). Alangkah mirisnya apabila perhatian seperti ini luput dari perhatian
kita, jangan – jangan beberapa waktu ke depan instrumen dari bambu tinggal
tercatat dalam sejarah, seperti halnya empi – empi dan embal – embal.
Keberadaanya tergerus oleh zaman dan modernism, so Waspadalah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar