Membunyikan
Musik Bambu yang Punah
Dahulu
instrumen musik bambu banyak dimainkan petani Banjar di pelosok – pelosok.
Akhir Februari 2013, instrumen itu kembali diperdengarkan di Balairung Sari,
Taman Budaya Kalimantan Selatan. Enos Karli mengaransemen sejumlah lagu yang
sebagian besar ciptaan maestro lagu Banjar, Anang Ardiansyah.
“Tak..
tak… tung… tung.. “ suara kintung, alat musik tradisi berupa sepotong bambu
yang separuh sisinya dibelah dan dibunyikan dengan cara dipukulkan ke balok
kayu, mengawali lagu bersyair jenaka, “Manuntun
Wayang”. Suasana Balairung Sari yang semula sunyi pelan – pelan jadi
khidmat ketika tiap alat musik dimainkan bersahutan.
Dengan
rentak agak kencang, Humaidi, sang vokalis, berusaha menghipnotis ratusan
apenonton yang sebagian besar anak muda Banjar. Lantunan lagu khas Banjar larut
dengan irama musik yang rancak. “Di malam Minggu, manuntun (menonton) wayang di
halaman RRI, dalangnya Utuh (panggilan laki – laki Banjar) Aini, ning… tak..
ning… gung…,” bunyi sepenggal lirik yang diikuti goyang kaki beberapa penonton
yang duduk di barisan depan.
Dinamis
dan energik, tiulah kesan yang muncul saat instrumen, seperti kintung, bumbung,
salung, kurung – kurung, dan suling dimainkan. Suaranya makin meriah saat
dipadukan dengan alat lain berupa kecapi bukit, panting bambu, hingga kendang,
jimbe dan saron.
Sebanyak
20 pemain yang tergabung dalam Anak Banua membawakan enam lagu, antara lain
diawali dengan “Manuntun Wayang”
disusul “Gerobak Sapi Dugul”, “Maiwak”, dan “Damar Wulan”. Lagu – lagu tersebut merupakan karya Anang Ardiansyah
(74) yang dikenal sebagai pencipta lagu “Paris
Barantai”. Anang sendiri malam itu juga hadir menggunakan kursi roda.
Menurut
Enos tak ada kesulitan signifikan saat mengaransemen lagu Banjar yang biasanya
memiliki cengkok Melayu ke dalam instrumen bambu yang terbilang jarang
dimainkan ke atas pentas. Yang perlu dikenali dulu adalah lirik dan esensi lagu
yang akan disampaikan ke masyarakat.
“Kalau
lagunya agak jenaka dan memakai bahasa pantun, maka diaransemen dengan beat yang melodinya pas,” ucapnya. Enos
sendiri merupakan salah satu seniman Banjar yang telah menelurkan sejumlah
lagu, salah satunya yang terkenal berjudul “Pamali”.
Karakteristik Unik
Instrumen
bambu khas Banjar memiliki karakteristik tersendiri. Berbeda dengan musik
tradisi dari daerah lain, seperti Jawa yang kental dan lengkap dengan titi
laras selendro dan pelog, alat musik bambu tidak demikian.
“Bumbung
misalnya, kita harus mencari tangga nada yang warna nadanya mendekati. Karena
alat ini memang tidak memiliki selendro dan pelog selengkap di Jawa,” tuturnya.
Sementara suara fals yang tercipta dirasa mampu memperkaya kolaborasi.
Untuk
mempertegas irama, Enos memasukkan unsur instrumen modern, seperti gitar, bas,
hingga kendang dan jimbe. Semua itu dipadu dengan tata panggung sederhana namun
kental nuansa bambu.
Musik
bambu sendiri sudah lama dikenal masyarakat Kalimantan Selatan. Tetapi tak ada
yang tahu persis kapan awal mula instrumen
ini diciptakan. Yang pasti salah satu jenis instrumen biasanya lebih dikenal
dominan di satu daerah, misalnya kintung lebih dikenal oleh masyarakat
Martapura di Kabupaten Banjar.
Sedangkan
kurung – kurung yang bentuknya berupa galah bambu biasa dipakai untuk menanam
benih padi oleh warga yang bermukim di Pegunungan Meratus. Mereka juga biasa
memainkan musik kurung – kurung untuk memanggil hujan. Musik ini banyak
dimainkan masyarakat di daerah Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut.
Seiring
perkembangan, alat – alat musik ini memang perlahan mulai terlupakan. Ia kalah
bersaing dengan alat – alat musik modern. Meski diakui keberadaan salung dan
kawan – kwannya masih ada, tetapi hanya bertahan di daerah. Jarang ditampilkan
ke ranah publik yang lebih luas.
Hingga
pada malam itu, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Kalimantan Selatan berusaha membangkitkan dan mengembangkan lagi alat musik
bambu dalam gelaran “Serumpun Bambu Selaksa Bunyi”. Mohandas Hendrawan, Kepala
Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kalsel pun berharap pentas
kali ini akan berlanjut pada diikutsertakannya Gelar Budaya Dayak di Jakarta
April mendatang.
Oleh:
Defri Werdiono
Harian
Kompas Edisi Minggu, 10 Maret 2013
Halaman 26.
Tulisan
diatas dirasa perlu diupload sebagai apresiasi terhadap kelestarian musik bambu
yang memiliki keanegaraman jenis dan varietas di Tanah Air Indonesia, tak
terkecuali masyarakat Karo. Tulisan karya Defri Werdiono tersebut diharapkan
mampu menggugah rasa peduli terhadap lestarinya musik bambu Karo, sehingga ada
mungkin era di masa depan dimana musik bambu ala Karo mampu dipentaskan dalam
berbagai ensamble di gedung – gendung pertunjukan terkemuka di Tanah Air,
Bujur
Mejuah juah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar