Legenda Karo:
Si Betah – Betah
Pada
zaman dahulu kala hiduplah seorang tua di suatu kampung. Ia tinggal di kebunnya
yang luas dan tanaman jagung. Tetapi sekalipun tak pernah ternikmati buah
jagungnya itu karena selalu habis dimakan monyet. Oleh karenanya, dia selalu
susah karena habis tenaga dan modal tak sekali jua pernah menikmati hasil kebun
jagung tersebut.
Tahun
berikutnya, tiba masa menanam, jagung pula yang ditanamnya. Ketika masa panen
hampir tiba, dilihatnya pula ada tanda bekas datang monyet. Akhirnya orang tua
itu berpikir, “Baiklah kucari akal untuk menangkap monyet itu.” Lalu ia pergi
ke hutan mengambil ijuk untuk dipintalnya menjadi tali, tak lupa diambilnya
pula bahan getah. Tali – tali ijuk itu kemudian dibentuk menjadi boneka yang
mirip manusia. “Tentu monyet itu akan takut melihat orang – orangan ini. Jika
ia takut, tentu tak akan berani lagi mengambil buah jagungku ini,” pikirnya.
Kemudian semua getah tadi dibubuhkannya ke orang – orangan itu sehingga
berlumur getah. Segera orang- orangan dibawanya ke tengah ladang jagung lalu
dipancangkan persis di tengah kebun si orang tua. “Pasti monyet itu tak berani
lagi mengambil buah jagungku ini,” pikirnya sembari pulang ke rumahnya.
Keesokan
harinya, monyet itu datang lagi. Tetapi lebih dahulu diintipnya dari pinggir
ladang itu apakah pemiliknya ada di situ. “Oh… celaka, rupanya pemiliknya
berada di sana,” pikirnya. “Kalau pemilik ada, aku berpura – pura jujur saja, biar
ku coba meminta jagung itu kepadanya.” ujar si monyet itu. Kemudian bergeraklah
monyet itu mendekati orang – orangan tersebut, lalu berkata “Hai Nenek,
bolehkah aku mendapat jagung ini barang sebuah?” katanya. Tak ada suara
menyahut, ia memberanikan diri lebih dekat lagi, seraya berkata, “Nek,” sambil
dipegangnya. Akibat gentah yang ditempel, lengket pula tangan monyet, karena
kesal disepaknya orang – orangan itu dan lengket pula kaki kirinya. Sekali lagi
disepaknya dengan kaki kanan, lekat pula kaki kanannya. Dengan demikian si
monyet tak dapat lagi bergerak, ia terus lengket di sana karena getah itu.
Kemudian
datanglah yang empunya kebun memeriksa kebun jagungnya itu. Dilihatnya orang –
orangan itu, kiranya monyet sudah lengket di situ. Kini si orang tua itu jadi
tersenyum – senyum mendatangi monyet itu karena yang merugikannya selama ini
telah dapat dijerat. “Sekali ini lehermu itu akan putus ku cincang,” katanya
dengan geram. “Lehermu ini akan ku cincang monyet,” kata orang tua itu sekali
lagi. “Sesuka hatimulah Nek, biar aku cepat mati. agar jangan lama aku
menderita sakitnya, potonglah terus ekorku ini biar aku lekas mati,” sahut
monyet. Kemudian dibawa orang tua itu monyet ke rumahnya lalu diikatkan ke
tiang rumah. Monyet itu dibiarkan terikat di situ ketika ia pergi mencari pucuk
labu, cabe dan asam untuk disayur bersama daging monyet tadi. Selesai meramu
sayuran pulanglah ia ke rumahnya. Segera daun labu itu dipotong – potongnya dan
kemudian dibukanya tali pengikat monyet, lalu berkata, “Kau akan senang hari
ini monyet kau akan segera kubunuh.” katanya kepada monyet itu. “Tidak apalah
Nek, cepatlah aku dibunuh.” ketus monyet itu pula. “Bagaimana caranya agar
engkau lekas mati, apamu yang kupotong? “ tanya nenek. “Ekorku inilah potong
Nek,” sahut monyet itu dengan jelas. Dengan tidak berpikir panjang lagi orang
tua itu segera memotong ekor monyet. Menggelepar – gelepar lah monyet itu,
lompat kesana kemari, seolah mau mati. Melihat keadaan itu si orang tua membuka
seluruh tali pengikat monyet. Tetapi tiba- tiba si monyet itu pun terus
melompat dan segera lari kencang ke atas sebuah pohon besar. Ekornya sudah
berdarah karena kena potong pisau. Kemudian diambilnya sebuah botol kecil, lalu
ditampungnya darah ekornya itu ke dalam botol. Setelah selesai, pergilah monyet
ke tempat seekor kerbau yang tertambat. Disana berjumpalah ia dengan seorang
penggembala yang sudah tua sekali. “Oh… Kek, ada padaku obat tua, bila obat ini
dimakan, kau akan muda kembali,” katanya kepada orang tua penggembala itu.
“Kalau aku dapat muda kembali, akan kuberikan engkau penganak ini,” binar penggembala.
Lalu diberikan monyet botol berisi darah ekornya itu kepada penggembala, dan
penganak itu diterima sebagai imbalannya. Dengan cepat ia terus lari ke atas
pohon yang besar itu lalu penganak itu dipalunya: “Pong… pong… pong…,
diminumnya darah ekorku. Kukatakan minak
capi, padahal darah ekorku,” katanya dari atas pohon bersahut - sahut.
Mendengar itu menangislah penggembala kerbau dengan sangat sedih. Melihat
kesedihan penggembala itu datanglah seekor kepiting. “Mengapa engkau sedih Kek?”
tanyanya. “Karena aku sudah tua begini, aku ditipu monyet itu. Katanya, ini minak capi, rupanya darah ekornya yang
diberikannya, lagi pula penganakku dilarikannya ke atas pohon itu,” sendu si penggembala
tua.
“Kalau
penganak itu dapat nanti kuminta, apakah upahku?” kata kepiting. “Kalau penganak
itu kau peroleh dari si monyet, akan kuberikan seekor kerbau kepadamu.” kata
penggembala seraya menunjuk seekor kerbau yang sedang makan rumput di dekat situ.
“Kau tidak bohong Kek?” tanya kepiting. “Tidak” kata penggembala. Dengan pelan –
pelan kepiting merangkak memanjat pohon besar itu dengan cara melilit. Karena
asyiknya monyet memalu penganak tadi, tak diketahuinya bahwa kepiting telah
dekat ke ekornya. Dengan cepat, ekor monyet itu tadi dijepit kepiting. Karena
sakitnya, lepaslah penganak dari tangannya lalu jatuh ke bawah. Kemudian
kepiting turun lalu pergi mendapatkan penggembala kerbau . “Mana upahku Kek,”
katanya. “Inilah Nak, tuntunlah kerbau yang telah kutunjukkan tadi padamu,” ujar
penggembala tua. Dengan gembira kepiting menuntun kerbau itu ke lubangnya.
Tetapi karena lubang itu kecil, maka kerbau tak muat masuk ke dalamnya.
Kerbau
pun melompat – lompat dan kepiting terpijak olehnya dalam lobang itu hingga gepeng
dan kesakitan. Karena sakitnya kepiting pun menjepit kaki kerbau hingga pecah.
Itulah sebabnya maka bentuk kepiting jadi gepeng dan kaki kerbau pecah.
Merasakan sakitnya jepitan tersebut kerbau pun berlari – lari ke padang
rumput dan terpijak olehnya ekor burung
puyuh. Karena terkejut, puyuh pun terbang hingga ekornya tertinggal di tanah.
Ketika itu ditabraknya pula tanduk kuda hingga patah dan kuda pun jadi
terjungkir karenanya lalu bangkit dan lari hingga menabrak pohon tenggiang.
Pohon tenggiang itu jadi berbulu – bulu
seperti bulu kuda karenanya. Itulah sebabnya maka kuda tidak bertanduk
dan tenggiang berbulu seperti bulu kuda.:D
Daftar
Istilah:
Penganak: alat
musik gong kecil ala Karo.
Minak Capi:
obat tradisional berupa minyak.
Tenggiang:
semacam tumbuhan pakis.
Disadur
dari:
Panitia
Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara. (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, 1981), hlm. 141 – 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar