Pada Kesempatan ini, ijinkanlah penulis untuk menyajikan ulang sebuah tulisan karya Prof. Masri Singarimbun yang berjudul "GBKP dan Masyarakat Karo Dalam Menyongsong Abad 21." Tulisan tersebut merupakan buah pikiran yang beliau sampaikan pada perayaan Jubelium 25 tahun GBKP Bandung Pusat dan 100 tahun GBKP di Bandung. Tulisan yang beliau kaitkan antara budaya Karo dan GBKP sebagai lembaga terbesar Kalak Karo saat ini, penulis rasa cukup kontekstual apabila dicross-check kan dengan keadaan saat ini, selain juga sebagai hadiah 72 tahun GBKP Njayo, 23 Juli 1941 - 23 Juli 2013.
Selamat Menikmati:)
GBKP DAN
MASYARAKAT KARO DALAM MENYONGSONG ABAD KE XXI*
(Makalah
untuk Panel Diskusi yang diselenggarakan dalam rangka Jubelium 25 Tahun GBKP
Bandung dan Pasca Jubelium 100 Tahun GBKP, 20 Oktober 1990.)
DR. Masri
Singarimbun
Gambaran Umum
Pada
bulan April tahun ini telah dilangsungkan dengan meriah Jubelium 100 Tahun
Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Sukamakmur, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Suatu usia yang relatip tinggi, mengingat berbagai perubahan dahsyat telah
terjadi selama kurun waktu tersebut, yakni selama empat generasi menurut
perhitungan secara demografi. Keadaan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan,
termasuk sistem kepercayaan – malah hamper segala aspek kehidupan – telah
mengalami transformasi yang luar biasa.
Di
dalam buku yang dihimpun Team Penelitian GBKP et al, Benih Yang Tumbuh,
Suatu Survey Mengenai Gereja Batak Karo Protestan (1976), secara historis
diadakan periodesasi perkembangan GBKP sebagai berikut:
1 Tahun –
tahun permulaan: 1890 – 1906
2 Masa
penanaman dan penggarapan: 1906 – 1940
3 GBKP berdiri
sendiri dalam masa penderitaan dan kekacauan: 1941 – 1949
4 Masa
pembangunan kembali GBKP: 1950 – 1960
5 Masa
pertumbuhan pesat: 1961 – 1968
6 Masa
tantangan membangun kedalam dan keluar: 1969 –
Pertumbuhan
kwantitatip anggota jemaat GBKP termasuk lambat pada zaman penjajahan. Anggota
baptisan berkisar sekitar 5.000 orang pada tahun 1940 dan 1950, menjadi 23.000
pada tahun 1960, 73.300 orang pada tahun 1968 dan 94.805 orang pada tahun 1971.
(Team Penelitian GBKP et al, 1976:67).
Di
dalam Buku Pintar Kabupaten Daerah Tingkat II Karo (1985), yang diterbitkan
oleh Bappeda Tingkat II Karo, tercantum proporsi penduduk berdasarkan agama
sebagai berikut.
a Kristen
Protestan 45, 16 %.
b Katholik 13,
87%.
c Islam 24,37%.
d Hindu 2,3%.
e Budha 0,02%.
f Yang belum
beragama 14, 22%.
Mengingat
perpencaran sukubangsa Karo di berbagai Kabupaten dan Propinsi lainnya maka
angka – angka diatas hanya dapat dipakai untuk memberikan gamabaran umum.
Secara
historis, pada mulanya pekabaran Injil ke Tanah Karo berkaitan rapat dengan
perkembangan perkebunan di Sumatera Timur. “Banyak penduduk setempat kehilangan
tanah karena Sultan memberikan tanah dengan tak semena – mena (untuk 99 tahun
dan kemudian konsesi 75 tahun) kepada perkebunan tanpa menghiraukan kepentingan
rakyat. Kegetiran mereka melahirkan Perang Sunggal (1872 – 1895) – saat orang
Melayu dan Karo bahu – membahu menentang Belanda, antara lain dengan membakari
bangsal – bangsal tembakau.” (Singarimbun, 1990). Di dalam konteks ini fihak
perkebunan turut mengongkosi pekabaran Injil ke Tanah Karo.
Namun,
seperti tercermin dalam angka – angka perkembangan jemaat diatas, GBKP baru
berkembang dengan pesat setelah berdiri sendiri (1941) dibandingkan dengan masa
sebelumnya sewaktu “gereja dipimpin, dikuasai dan dibelanjai oleh pihak
Belanda, melalui semacam kerjasama antar pihak Perkebunan, Zending NHK dan
Pemerintah Kolonial” (Team Penelitian GBKP et al, 1976: 69).
Perkembangan
GBKP yang pesat, terutama setelah zaman kemerdekaan, di dalam buku tersebut
dikaitkan dengan lima faktor.
a Faktor
urbanisasi.
b Faktor
meningkatnya taraf pendidikan.
c Faktor sikap
pemerintah terhadap Gereja / Agama.
d Faktor
pemikiran baru dalam gereja Karo.
e Faktor
perobahan pandangan masyarakat terhadap kehidupan berpolitik.
Dapat
ditambahkan bahwa perkembangan yang dapat dikatakan lamban pada tahap
permulaan, tidak berarti mengurangi penghargaan pada upaya – upaya para pioneer
pada zaman itu. Upaya Joustra, Neuman dll. untuk menerjemahkan Injil ke dalam
bahasa Karo, menyusun kamus, menghimpun ceritera – ceritera rakyat, bilang –
bilang dll. menjadi tauladan yang penting dari kesungguhan yang mendalam.
(Lihat H.G. Tarigan, 1986)
Perlu
pula ditekankan disini bahwa aktivitas GBKP mencakup bidang yang luas (Team
Penelitian GBKP et al, 1976: xi), yakni:
A Pertumbuhan
dan pekabaran Injil GBKP.
B Usaha –
usaha dalam bidang pelayanan GBKP.
1 Pendidikan
2 Kesehatan –
Medis
3 Diakonia dan
Panti Asuhan Yatim – piatu
4 Pelayanan
terhadap wanita – MORIA
5 Pelayanan
terhadap pemuda – PERMATA
6 Pendidikan
Agama Kristen
7 Pembangunan
ekonomi.
C Hubungan dan
kerjasama Oikumenis GBKP.
Menyongsong Masa Depan
Mengingat
aktivitas GBKP mencakup bidang yang luas dan tantangan masa depan bagi GBKP dan
masyarakat Karo sangat beragam, maka pada kesempatan ini saya hanya memilih
beberapa segi saja dari aspek – aspek yang begitu luas, terutama aspek – aspek
sosial dan kebudayaan.
Nama
yang telah dipilih dan dipertahankan untuk Gereja ini – Gereja Batak Karo
Protestan – menunjukkan bahwa identitasnya dengan Karo adalah sangat kuat dan
akan tetap kuat dimasa – masa mendatang. Menarik perhatian bahwa dari sudut
kebahasaan, dan dari segi hokum DM, Batak Karo mendahului istilah Protestan
pada nama ini. DAlam hal ini, bukan Protestan yang mendahului Karo atau Batak Karo.
Jadi tidak dinamakan Gereja Protestan Karo, seperti halnya Gereja Kristen
Protestan Simalungun atau Gereja Protestan Maluku.
Mengingat
nama yang diberikan kepadanya, GBKP, maka tentunya, disamping fungsi keagamaan
yang pokok maka dia mengemban tugas kemasyarakatan dan kebudayaan yang penting
bagi masyarakat Karo. Ini diperkuat pula oleh proporsinya yang besar dari sudut
demografis, yang mempunyai penganut terbesar di tengah – tengah masyarakat
Karo.
Di
dalam buku Benih Yang Tumbuh yang disebut diatas terdapat pembahasan mengenai
hubungan GBKP dengan adat istiadat Karo. Berbagai kebiasaan dan kepercayaam
tradisional dianggap menimbulkan ketegangan, yakni hal – hal berikut:
a Gendang
kematian diadakan atau tidak dalam pesta dan upacara?
b Mencuci muka
diatas kubur oleh keluarga dekat orang yang meninggal.
c Mengantar
bunga dan makanan ke kuburan?
d Memindahkan
tulang atau menguburkan kembali rangka – rangka dengan mempersatukan yang
Kristen dan yang bukan Kristen.
e Memanggil
hujan?
f Kawin
semarga?
g Kawin lari?
h Mengusir roh
jahat (muncang) dari kampung?
Berbagai
persoalan diatas tidak akan dibahas pada kesempatan ini tetapi yang jelas GBKP
sudah biasa menggunakan pakaian adat Karo dan juga menggunakan gendang Karo,
yang merupakan tabu pada tahap permulaan. Nampaknya unsur – unsur Perbegu dan
bukan Perbegu di dalam kesenian dan kebudayaan Karo sudah dapat dilihat secara
lebih obyektip.
Dibalik
itu, sebenarnya suatu hal yang cukup kritikal adalah penggunaan bahasa Karo.
Orang Karo dan warga GBKP mempunyai mobilitas yang tinggi, dalam jumlah yang
relative besar sudah pindah ke luar Tanah Karo, dan salah satu buktinya adalah
perkembangan gereja GBKP yang kita peringati di Bandung pada kesempatan ini.
Sukubangsa
Karo adalah salah satu sukubangsa yang relative kecil. Salah satu identitas
yang penting dari suku ini adalah pemakaian bahasa Karo, dari segi kuantitas
dan kualitasnya. Kesan saya, jangankan orang Karo yang berdiam diluar Sumatera,
orang Karo terpelajar di Medan sudah cukup banyak yang tidak berbicara dalam
bahasa Karo di rumah dengan anaknya.
Jadi
terdapat suatu erosi pemakaian bahasa Karo oleh orang Karo sendiri, dan hal ini
sangat perlu diperhatikan sebelum terlambat. Kalau proses ini berjalan terus
maka akan terdapat masalah pemberian khotbah dalam bahasa Karo. Atau kelak
berangsur – angsur khotbah dalam GBKP terpaksa diganti dengan bahasa Indonesia.
Dan berangsur – angsur pula anggota jemaatnya tidak dapat berkomunikasi dalam
bahasa Karo satu dengan yang lainnya. Dengan demikian identitas Karo mengalami
erosi.
Saya
tidak tahu bagaimana mutu bahasa Karo didalam khotbah – khotbah pada umumnya,
dan tentunya variasinya juga besar. Betapa pun fungsi gereja untuk
mempertahankan dan mengembangkan bahasa Karo adalah penting sekali.
Dapat
saya tambahkan bahwa saya sendiri pribadi dapat menikmati nilai sastra yang
tinggi dari Padan si Ndekah (1953), yang diterjemahkan oleh pendeta J. H.
Neumann. Berikut ini saya petik dari Masmur (hal. 449).
Masmur 1.
Dua dalinna.
Sangapna me
kalak si erdalin arah pertakin kalak si des ate,
janah ibas
dalin kalak perdosa la ia tedis,
ibas ingan
kalak penguru – nguru pe la ia kundul.
Tapi man
undang – undang Yahwe erngena ate ia,
Bagi batang
kayu me ia, isuan itepi lau anak,
payo tupung
paksana erbuah me ia,
bulungna la
ermelus – melus;
kasakai si
nijemakna jadi me.
Labo bage me
kalak si des ate,
tapi bagi
segal nge ia, si niembusken angin.
Sabap e me
kalak si des ate la ngasup tahan ibas kerapaten,
kalak perdosa
pe lang ibas perpulungen kalak si benar.
Sabab dalin
kalak si benar iteh Yahwe me,
tapi dalin
kalak si des ate laws ku kebenen.
Disamping
itu tentunya adalah tugas kita semuanya untuk mengembangkan dan melestarikan
kesenian Karo, dan mengembangkannya sebagai salah satu unsur penting dari
Bhinneka Tunggal Ika. Berbagai aktivitas di berbagai tempat patut dihargai
–seprti yang telah beberapa kali diadakan di Jakarta dan tempat lainnya—tetapi
secara umum aktivitas tersebut masih perlu ditingkatkan.
Pada
salah satu kesempatan di Brastagi tahun ini, di dalam acara hiburan dari sebuah
seminar nasional, saya terkejut bahwa walau pun cukup banyak orang Karo yang
hadir dan menjadi penyanyinya, mayoritas dari lagu – lagu yang dinyanyikan
bukan lagu Karo. Sangat mengecewakan bahwa itu terjadi di Brastagi. Ketika ada
peserta seminar meminta dinyanyikan lagu Erkata Bedil, penyanyi Karo yang ada
tidak mengetahui kata – katanya.
Oleh
karena itu saya ingin menyarankan agar tiap orang Karo harus dapat menyanyikan
beberapa lagu Karo, ump. Tanah Karo Si Malem, Piso Surit, Erkata Bedil, dll.,
dan berani tampil kemuka, dalam kesempatan apa saja untuk menyanyikannnya. Ini
bukan sekedar show, tetapi sangat perlu untuk menampilkan identitas dan
melestarikan identitas tersebut. Menurut hemat saya, GBKP dan sekolah – sekolah
di Tanah Karo perlu sekali memperhatikan ini. Dan kita memerlukan tampilnya
penyanyi – penyanyi Karo yang mampu menampilkan lagu – lagu Karo, dan tentunya
lagu – lagu Indonesia, pada tingkat nasional dan internasional.
Suatu
suku bangsa, untuk pengembangan dan kelestariannya – dan dalam konteks
Indonesia untuk meningkatkan sumbangannya untuk memperkaya kebudayaan Nasional
– memerlukan sesuatu yang dicintainya, dibanggakannya dam yang terus
dikembangkannya. Kesenian, dalam hal ini, seharusnya memegang peran penting,
apakah itu seni suara, seni ukir, dll. Siapakah orang Karo yang tidak bangga
ump. ketika gambar rumah berarsitektur Karo muncul menghias buku – buku telpon
ibukota atau bangunan tersebut khusus didirikan di Jepang dalam rangka expo?
Di
dalam hubungan ini, cukup menggembirakan bahwa di dalam buku Jubelium 100 tahun
GBKP yang telah diterbitkan, disana sini diselipkan juga ragam hias Karo, yakni
Tupak Salah Silima – lima, Tapak Raja Sulaiman, Tulak Paku, Lukisan Umang, Desa
Siwaluh dan Tupak Salah Sipitu – pitu. Identitas Karo cukup ditampilkan pada
acara jubelium tersebut: ada tari massal, peragaan busana dan pesta pencanangan
Jubelium dimeriahkan oleh gendang Karo dan para pendeta turut menari.
Mobilitas
geografis orang Karo sangat melonjak sesudah kemerdekaan dan ini berkaitan
dengan kemajuan pendidikan, kemajuan sarana transportasi dan aspirasi untuk
maju. Pada zaman nenek kita dataran rendah atau “jahe – jahe” sudah termasuk
jauh. Pembawa cerita dari tempat – tempat yang jauh adalah pemikkul garam atau
“perlanja sira” dan pulau Jawa seolah – olah berada di benua lain.
Sekarang
situasi sudah berubah, orang boleh naik bus dari Medan ke Banda Aceh, Jakarta
atau Denpasar atau naik kapal terbang kemana saja, di dalam dan luar negeri, Di
dalam proses ini fungsi GBKP sebagai pemersatu dan sebagai lembaga yang
menonjolkan identitas Karo adalah sangat penting dan sekali gus berfungsi untuk
membentuk jaringan pada tingkat nasional dan internasional. Jaringan – jaringan
tersebut di luar Karo jelas tidak dikenal sebelummnya sehingga kini cakrawala
kita menjadi bertambah luas. Dalam hubungan ini saya tidak dalam posisi untuk
menyarankan perbaikan – perbaikan apa yang dapat dan perlu dilakukan.
Dengan
demikian menjadi jelas bahwa dalam kehidupan orang Karo dewasa ini terdapat
empat kelompok nilai, yakni yang bersumber pada kebudayaan tradisional atau
budaya etnik, yang bersumber pada salah satu agama besar, yang bersumber pada kebudayaan nasional dan yang bersumber
pada kebudayaan asing (Bachtiar, 1985; Bangun 1986:4).
Tantangan
– tantangan masa depan yang menghadang, antara lain adalah individualism,
kontrol sosial yang longgar, ikatan kekeluargaan yang melonggar, tingkat
perceraian yang meningkat, sekularisme, hedonism, materialism, tingkat
kriminalitas yang meningkat, dll. Ini bukan masalah GBKP atau masyarakat Karo
saja tetapi merupakan masalah global tetapi tidak ada salahnya jika kita soroti
sebagai masalah yang akan kita hadapi, dalam rangka meningkatkan kewaspadaan
kita.
Para
futurolog seperti Herman Kahn, Alvin Toffler dan John Naisbitt telah
membeberkan berbagai pandangan mereka mengenai berbagai aspek kehidupan di masa
depan. Di dalam bukunya Kejutan Masa Depan, Toffler membahas tentang
aspek – aspek kesementaraan, kebaruan keanekaragaman yang dihadapi manusia dan
batas kemampuan adaptasi. Di dalam sebuah sub – bab dibahas mengenai keluarga
yang pecah – belah. Katanya: “Keluarga mungkin tidak lenyap, juga tidak
memiliki Zaman Keemasan. Mungkin – dan ini jauh lebih masuk akal – keluarga
akan berantakan, pecah, dan terbentuk kembali dengan berbagai cara yang baru
dan aneh”. (hal 216). Keluarga besar akan beralih menjadi keluarga yang lampai,
yang lebih mobil, bertambah pasangan yang memutuskan tidak mempunyai keturunan
seumur hidup, lalu ada komune dan bapak yang homoseksual.
Pendapat
para futurolog tersebut menarik untuk didalami tetapi dalam konteks pembicaraan
kita tentang GBKP dan Karo, perlu diingat bahwa berbagai pemikiran tersebut
berlandaskan konteks sosial ekonomi, pandangan hidup dan gaya hidup Barat.
Memang tidak salahnya berbagai pendapat dan ramalan tersebut dimanfaatkan
sebagai cermin untuk kita.
Mengenai
hubungan seks remaja dan kehamilan remaja yang menggejala pada masyarakat Barat
dan meningkatnya tingkat perceraian memang merupakan masalah yang serius. Jadi
masyarakat Kristen disana, yang merupakan sesepuh kita telah mengalami
kegoncangan yang serius dalam perilaku seks dan keutuhan perkawinan, kita perlu
waspada terhadap persoalan ini. KItanya di dalam konteks Indonesia sendiri,
selama ini tingkat perceraian pada masyarakat Karo jauh lebih rendah daripada
Sunda dan Jawa umpamanya.
Apakah
akan terjadi perubahan – perubahan yang drastic dalam larangan – larangan
perkawinan, tidak mudah untuk diramalkan sekarang. Tergantung sejauh mana kita
mau mempertahankan Merga Silima, yang berkonotasi lima merga yang eksogam. Saya
mendengar khabar di Medan bahwa di daerah tertentu sudah terjadi perkawinan –
perkawinan semerga tanpa mendapat sanksi apa – apa. Apakah kelak kita akan
bealih menjadi pola perkawinan eksogami cabang merga, yakni sesama perangin –
angin, umpamanya, dapat kawin – mawin sejauh tidak dari satu cabang merga? Ump.
Perangin – angin Keliat dapat kawin dengan Perangin – angin Bangun, asal tidak
sesama Keliat atau sesama Bangun.
Penutup
Dari
apa yang diuraikan diatas, kiranya didalam menyongsong abad ke XXI, baik bagi
GBKP mau pun masyarakat Karo pada umumnya, salah satu yang perlu diperhatikan
adalah mempertahankan identitas, bukan dengan maksud mengisolasi diri tetapi
dalam rangka mendapat tempat dalam Bhinneka Tunggal Ika dan turut menyumbang
dala pembinaan kebudayaan nasional.
Pelan
– pelan GBKP sudah lebih terbuka terhadap partisipasinya dalam kesenian dan
kebudayaan Karo dan diharapkan bahwa partisipasi aktif tersebut terus menerus
ditingkatkan dan diperluas. Ditinjau dari sudut pengalaman, besarnya jemaat dan
luasnya jaringan, GBKP mempunyai potensi yang sangat besar untuk memberikan
sumbangsih ke arah itu. Dengan demikian, disamping hal – hal yang menyangkut
keimanan, GBKP akan terus merupakan dinamisator dalam memajukan masyarakat dan
kebudayaan Karo pada umumnya.
Masalah
– masalah keimanan, filsafat hidup dan masalah – msalah sosial yang dialami
oleh masyarakat Barat dewasa ini, berbagai pendapat parra futurology dan tren
kita alami sendiri perlu dimanfaatkan untuk menjadi cermin dan pedoman, baik
bagi GBKP maupun masyarakat Karo pada umumnya dalam menyongsong Abad ke – XXI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar