Powered By Blogger

Selasa, 09 Juli 2013

Pa Pelita, Dikenal atau Dikenang

Pa Pelita, Dikenal atau Dikenang
Kesibayakan Kabanjahe dikenal dengan dua nama yaitu tokoh Pa Mbelgah dan gelar kebangsawanan Sibayak Kabanjahe. Pada era kolonial, titel Sibayak Kabanjahe merupakan sebuah prestise tersendiri di kalangan orang Karo terutama di Tanah Karo, karena Kesibayakan Kabanjahe merupakan sebuah daerah otonom yang diakui sebagai sebuah kerajaan besar di Tanah Karo, selain Raja Berempat (Sibayak Sarinembah, Barusjahe, Lingga serta Sibayak Kutabuluh, yang terakhir dimasukkan sebagai kesibayakan besar yang anti – Belanda). Akan tetapi pengaruh Sibayak Kabanjahe menjadi sangat dominan dibanding kesibayakan yang lain, karena selain menjadi basis Belanda di Tanah Karo, jua menjadi akar bagi berkembangnya kekristenan di kalangan orang Karo. Akan tetapi orang lupa salah satu tokoh yang turut membesarkan nama Kabanjahe, sehingga mampu menjadi Ibukota bagi Kabupaten Karo sekarang dan memperkuat basis Kristen Karo di Bumi Turang, yaitu Pa Pelita.

Pa Mbelgah dan Pa Pelita adalah senina sembuyak bapa, jadi bapa mereka lah yang bersembuyak. Pa Mbelgah berasal dari kesain Rumah Nderpih sedangkan Pa Pelita berasal dari kesain Rumah Selat. Keduanya tumbuh dan berkembang di lingkungan aristokrat tradisional Karo dan hidup mengenal teritori wilayah kampung – kampung Karo di sekitaran Kabanjahe, menginduk hingga ke kampung Kaban. Meski keduanya akrab, ada rasa mehangke yang membuat Pa Pelita segan dengan saudara nun sahabatnya itu sehingga prestasinya tidak mencolok. Sebaliknya, Pa Mbelgah merupakan representasi dari seorang pemuda Karo yang gagah, berani dan kharismatik. Ada sebuah kejadian menarik yang pernah secara tidak sengaja terjadi, bahwa dalam sebuah acara hari jadi kampung Kabanjahe, diadakan lomba menembak antar pemuda Karo menggunakan  senapan marsose. Setelah digilir antar kontestan, terakhir diberilah penghormatan bagi kedua Sibayak muda agar membuktikan keahlian menembak mereka. Pertama mencoba adalah Pa Mbelgah, yang dengan jitu menembakkan marsose tersebut tepat di tengah sasaran. Ketika didaulat untuk juga menembak, Pa Pelita menunjukkan kehangkeannya dengan menolak secara halus, tetapi tetap dipaksa Pa Mbelgah untuk menembak sehingga tiada kuasa beliau pun menembak senapan tersebut tepat di lubang yang sama dengan Pa Mblegah. Tepat di tengah target. Hal ini tentu menunjukkan adanya keengganan untuk bersaing meski kemampuan keduanya apabila diadu masih berada dalam level yang sama.

Pada akhirnya, dengan penuh perhitungan, juga untuk menghindari adanya perpecahan diantara klan Purba maka diangkatlah keduanya menjadi raja di Kabanjahe, dengan gelar prestisius Sibayak. Akan tetapi justru pasca pelantikan, keduanya mulai saling menunjukkan adu kemampuan, meski dalam batas kewajaran. Puncak dari “perang dingin” keduanya adalah soal kebijakan menerima kristenisasi dari Belanda yang dibawa Pendeta Guillame turun dari Buluh Hawar, sentra zending Karo pertama. Pa Mbelgah yang anti asing tentu menolak dengan keras, sedangkan Pa  Pelita mencoba untuk membujuk saudaranya tersebut agar setidaknya kooperatif dengan missi zending, toh mereka tidak datang dengan kekerasan. Mungkin karena pada saat itu Pa Mbelgah merasa bahwa orang – orang kulit putih akan mengusik eksistensinya di Karo, maka Pa Mbelgah tetap berkeras untuk menolak zending, yang akhirnya ditunjukkan dengan sikap menantang. Tidak suka dengan kebijakan saudaranya yang terlalu keras, Pa Pelita secara mengejutkan membalas sikap Pa Mbelgah dengan menjawab tantangan bahwa beliau akan melindungi missi zending.
Terkejut dan kelabakan akan sikap yang tidak terduga, Pa Mbelgah memutuskan keluar dari Kabanjahe dan bertamu ke sarang Garamata, di Batukarang. Beliau diterima baik oleh Garamata yang kemudian mengajak untuk sama – sama memerangi gelombang perkebunan Belanda yang mulai menyasar di tanah – tanah pedesaan di Karo Dusun. Genderang perang pun dimulai, dengan tujuan awal mengusir zending Belanda dari Tanah Karo. Tidak mau kalah langkah, Pa Pelita berkonsultasi dengan para zending dan mendapat rekomendasi untuk menjumpai pos Belanda di Siak serta Padang Panjang yang baru saja menumpas perang Paderi. Keinginan Pa Pelita untuk mendatangkan bala bantuan Belanda disanggupi Pemerintah Kolonial dengan menghadirkan beberapa battalion pasukan yang bertugas mengawal Sibayak Lau Cih. Dari Lau Cih bergerak menuju Kabanjahe, pasukan Belanda dan Pa Pelita dihadang oleh Nabung Surbakti, panglima perang Garamata. Kekalahan pun membuat pasukan ini kocar – kacir dan memilih untuk memutar jalan hingga tiba di Kabanjahe. Setibanya di Kabanjahe, konsolidasi pun dilakukan dan dihimpun prajurit Karo hingga berjumlah beberapa ribu orang. Pasukan Karo ini kemudian langsung bergerak menuju Batukarang untuk membalas perbuatan Nabung Surbakti namun lagi – lagi ditengah perjalanan mereka diserang dan mundur kembali ke Kabanjahe. Setibanya pasukan Belanda, dibagikan senapan yang baru serta amunisi berikut strategi berperang yang baru. Pergerakan pasukan yang lebih fokus menjaga perimeter daripada menyebar apabila diserang menjadi lebih tahan serangan mendadak, meski membuat pergerakan mereka terhambat apabila bertempur di wilayah rimba raya. Dengan ciamik, mereka kemudian membalas satu per satu serangan dadakan yang dilakukakan oleh pemberontak dan membakari kampung – kampung yang menolak kristenisasi, menuju Batukarang, sarang sang Mata Merah, Kiras Bangun. Tak lama waktu yang dibutuhkan untuk mengepung Batukarang, dalam 10 hari saja mereka sudah mampu membuat Garamata dan Pa Pelita keluar dari Kampung Batukarang menuju Kutabuluh untuk meminta bantuan Pa Tolong, Batiren Perangin – angin, sang Sibayak Kutabuluh. Meski demikian, tetap saja sejarah mencatat kemenangan berada di tangan pemilik teknologi perang paling muktahir, hingga tertangkapnya lewat intrik Belanda yang sebetulnya ditolak oleh Pa Pelita pada 1904. Garamata dipancing untuk bertemu dalam sebuah pengepungan benteng dan dijanjikan untuk bertemu dengan Pa Pelita agar persoalan pemberontakan ini diselesaikan dengan musyawarah saja, layaknya para pemuka adat Karo. Akan tetapi justru keluarnya Garamata menjadi penangkapan beliau hingga dibuang ke Cianjur Jawa Barat, sedangkan Pa Mbelgah dipulangkan ke Kabanjahe dan hidup terasing di tengah keluarganya sendiri. Seiring tertangkapnya tokoh – tokoh Karo pemerontak, melancarkan Kristenisasi di Tanah Karo dan menyempitkan pergerakan komunitas – komunitas Pemena hingga meredup. Atas jasa – jasa beliau Pa Pelita diangkat menjadi Sibayak Kabanjahe yang diakui kedaulatannya meliputi semua wilayah kesain keluarga Purba dan didirikan untuk pertama kalinya Christianse Kerk tepat di tempat kini yang kini berdiri GBKP Kabanjahe Kota. Bangunan yang sama kemudian ditahbiskan sebagai GBKP pertama berdiri paska sinode pertama pula tahun 1943. Untuk menenangkan amarah orang Batukarang, terutama marga Bangun Bartukarang yang merasa tindakan Pa Pelita menunjukkan jiwa yang tidak besar, contoh yang kurang baik bagi seorang bertitel Sibayak diadakan sebuah musawarah besar. Oleh karenanya diputuskan pemerintahan Belanda agar polemik ini diselesaikan dengan pernikahan seorang Beru Bangun Batukarang dengan marga Purba dari Rumah Selat Kabanjahe. Aksi ini disetujui oleh kedua belah pihak, yang membuat marga Bangun kini menjadi kalimbubu tua marga Purba Rumah Selat, sebuah posisi prestise bagi orang Karo, hingga kini.

(Bersambung… ) 

5 komentar:

  1. Sentabi aku man Bandu , nungkun ateku engkai makana asal marga/beru purba lit si arah kabanjahe , Berastagi ras LAU CIH nari?

    BalasHapus
  2. Baru pertama baca..aku keturunan apung pa pelita purba sangat bangga..selain pejuang apung ku ternyata pendiri agama kristen di tanah Karo..terimakasih pung jasa ndu tetap kami kenang hingga saat ini..

    BalasHapus