Pa Pelita,
Dikenal atau Dikenang
Kesibayakan Kabanjahe dikenal dengan dua nama
yaitu tokoh Pa Mbelgah dan gelar kebangsawanan Sibayak Kabanjahe. Pada era
kolonial, titel Sibayak Kabanjahe merupakan sebuah prestise tersendiri di kalangan
orang Karo terutama di Tanah Karo, karena Kesibayakan Kabanjahe merupakan
sebuah daerah otonom yang diakui sebagai sebuah kerajaan besar di Tanah Karo,
selain Raja Berempat (Sibayak Sarinembah, Barusjahe, Lingga serta Sibayak
Kutabuluh, yang terakhir dimasukkan sebagai kesibayakan besar yang anti –
Belanda). Akan tetapi pengaruh Sibayak Kabanjahe menjadi sangat dominan
dibanding kesibayakan yang lain, karena selain menjadi basis Belanda di Tanah
Karo, jua menjadi akar bagi berkembangnya kekristenan di kalangan orang Karo.
Akan tetapi orang lupa salah satu tokoh yang turut membesarkan nama Kabanjahe,
sehingga mampu menjadi Ibukota bagi Kabupaten Karo sekarang dan memperkuat
basis Kristen Karo di Bumi Turang, yaitu Pa Pelita.
Pa Mbelgah dan Pa Pelita adalah senina sembuyak bapa, jadi bapa mereka
lah yang bersembuyak. Pa Mbelgah berasal dari kesain Rumah Nderpih sedangkan Pa Pelita berasal dari kesain Rumah Selat. Keduanya tumbuh dan
berkembang di lingkungan aristokrat tradisional Karo dan hidup mengenal
teritori wilayah kampung – kampung Karo di sekitaran Kabanjahe, menginduk
hingga ke kampung Kaban. Meski keduanya akrab, ada rasa mehangke yang membuat Pa Pelita segan dengan saudara nun sahabatnya
itu sehingga prestasinya tidak mencolok. Sebaliknya, Pa Mbelgah merupakan representasi
dari seorang pemuda Karo yang gagah, berani dan kharismatik. Ada sebuah
kejadian menarik yang pernah secara tidak sengaja terjadi, bahwa dalam sebuah
acara hari jadi kampung Kabanjahe, diadakan lomba menembak antar pemuda Karo
menggunakan senapan marsose. Setelah digilir antar kontestan, terakhir diberilah
penghormatan bagi kedua Sibayak muda agar membuktikan keahlian menembak mereka.
Pertama mencoba adalah Pa Mbelgah, yang dengan jitu menembakkan marsose
tersebut tepat di tengah sasaran. Ketika didaulat untuk juga menembak, Pa
Pelita menunjukkan kehangkeannya dengan menolak secara halus, tetapi tetap
dipaksa Pa Mbelgah untuk menembak sehingga tiada kuasa beliau pun menembak
senapan tersebut tepat di lubang yang sama dengan Pa Mblegah. Tepat di tengah
target. Hal ini tentu menunjukkan adanya keengganan untuk bersaing meski
kemampuan keduanya apabila diadu masih berada dalam level yang sama.
Pada akhirnya, dengan penuh perhitungan, juga
untuk menghindari adanya perpecahan diantara klan Purba maka diangkatlah
keduanya menjadi raja di Kabanjahe, dengan gelar prestisius Sibayak. Akan
tetapi justru pasca pelantikan, keduanya mulai saling menunjukkan adu
kemampuan, meski dalam batas kewajaran. Puncak dari “perang dingin” keduanya
adalah soal kebijakan menerima kristenisasi dari Belanda yang dibawa Pendeta
Guillame turun dari Buluh Hawar, sentra zending Karo pertama. Pa Mbelgah yang
anti asing tentu menolak dengan keras, sedangkan Pa Pelita mencoba untuk membujuk saudaranya
tersebut agar setidaknya kooperatif dengan missi zending, toh mereka tidak
datang dengan kekerasan. Mungkin karena pada saat itu Pa Mbelgah merasa bahwa
orang – orang kulit putih akan mengusik eksistensinya di Karo, maka Pa Mbelgah
tetap berkeras untuk menolak zending, yang akhirnya ditunjukkan dengan sikap
menantang. Tidak suka dengan kebijakan saudaranya yang terlalu keras, Pa Pelita
secara mengejutkan membalas sikap Pa Mbelgah dengan menjawab tantangan bahwa
beliau akan melindungi missi zending.
Terkejut dan kelabakan akan sikap yang tidak
terduga, Pa Mbelgah memutuskan keluar dari Kabanjahe dan bertamu ke sarang
Garamata, di Batukarang. Beliau diterima baik oleh Garamata yang kemudian
mengajak untuk sama – sama memerangi gelombang perkebunan Belanda yang mulai
menyasar di tanah – tanah pedesaan di Karo Dusun. Genderang perang pun dimulai,
dengan tujuan awal mengusir zending Belanda dari Tanah Karo. Tidak mau kalah
langkah, Pa Pelita berkonsultasi dengan para zending dan mendapat rekomendasi
untuk menjumpai pos Belanda di Siak serta Padang Panjang yang baru saja
menumpas perang Paderi. Keinginan Pa Pelita untuk mendatangkan bala bantuan
Belanda disanggupi Pemerintah Kolonial dengan menghadirkan beberapa battalion
pasukan yang bertugas mengawal Sibayak Lau Cih. Dari Lau Cih bergerak menuju
Kabanjahe, pasukan Belanda dan Pa Pelita dihadang oleh Nabung Surbakti,
panglima perang Garamata. Kekalahan pun membuat pasukan ini kocar – kacir dan
memilih untuk memutar jalan hingga tiba di Kabanjahe. Setibanya di Kabanjahe,
konsolidasi pun dilakukan dan dihimpun prajurit Karo hingga berjumlah beberapa
ribu orang. Pasukan Karo ini kemudian langsung bergerak menuju Batukarang untuk
membalas perbuatan Nabung Surbakti namun lagi – lagi ditengah perjalanan mereka
diserang dan mundur kembali ke Kabanjahe. Setibanya pasukan Belanda, dibagikan
senapan yang baru serta amunisi berikut strategi berperang yang baru.
Pergerakan pasukan yang lebih fokus menjaga perimeter daripada menyebar apabila
diserang menjadi lebih tahan serangan mendadak, meski membuat pergerakan mereka
terhambat apabila bertempur di wilayah rimba raya. Dengan ciamik, mereka
kemudian membalas satu per satu serangan dadakan yang dilakukakan oleh
pemberontak dan membakari kampung – kampung yang menolak kristenisasi, menuju
Batukarang, sarang sang Mata Merah, Kiras Bangun. Tak lama waktu yang
dibutuhkan untuk mengepung Batukarang, dalam 10 hari saja mereka sudah mampu
membuat Garamata dan Pa Pelita keluar dari Kampung Batukarang menuju Kutabuluh
untuk meminta bantuan Pa Tolong, Batiren Perangin – angin, sang Sibayak
Kutabuluh. Meski demikian, tetap saja sejarah mencatat kemenangan berada di
tangan pemilik teknologi perang paling muktahir, hingga tertangkapnya lewat
intrik Belanda yang sebetulnya ditolak oleh Pa Pelita pada 1904. Garamata
dipancing untuk bertemu dalam sebuah pengepungan benteng dan dijanjikan untuk
bertemu dengan Pa Pelita agar persoalan pemberontakan ini diselesaikan dengan
musyawarah saja, layaknya para pemuka adat Karo. Akan tetapi justru keluarnya
Garamata menjadi penangkapan beliau hingga dibuang ke Cianjur Jawa Barat,
sedangkan Pa Mbelgah dipulangkan ke Kabanjahe dan hidup terasing di tengah
keluarganya sendiri. Seiring tertangkapnya tokoh – tokoh Karo pemerontak,
melancarkan Kristenisasi di Tanah Karo dan menyempitkan pergerakan komunitas –
komunitas Pemena hingga meredup. Atas jasa – jasa beliau Pa Pelita diangkat
menjadi Sibayak Kabanjahe yang diakui kedaulatannya meliputi semua wilayah
kesain keluarga Purba dan didirikan untuk pertama kalinya Christianse Kerk
tepat di tempat kini yang kini berdiri GBKP Kabanjahe Kota. Bangunan yang sama
kemudian ditahbiskan sebagai GBKP pertama berdiri paska sinode pertama pula
tahun 1943. Untuk menenangkan amarah orang Batukarang, terutama marga Bangun
Bartukarang yang merasa tindakan Pa Pelita menunjukkan jiwa yang tidak besar,
contoh yang kurang baik bagi seorang bertitel Sibayak diadakan sebuah musawarah
besar. Oleh karenanya diputuskan pemerintahan Belanda agar polemik ini
diselesaikan dengan pernikahan seorang Beru Bangun Batukarang dengan marga
Purba dari Rumah Selat Kabanjahe. Aksi ini disetujui oleh kedua belah pihak,
yang membuat marga Bangun kini menjadi kalimbubu tua marga Purba Rumah Selat,
sebuah posisi prestise bagi orang Karo, hingga kini.
(Bersambung… )
Info yang berharga
BalasHapusBangga jadi kalak karo
BalasHapusSambungannya dimana pak?
BalasHapusSentabi aku man Bandu , nungkun ateku engkai makana asal marga/beru purba lit si arah kabanjahe , Berastagi ras LAU CIH nari?
BalasHapusBaru pertama baca..aku keturunan apung pa pelita purba sangat bangga..selain pejuang apung ku ternyata pendiri agama kristen di tanah Karo..terimakasih pung jasa ndu tetap kami kenang hingga saat ini..
BalasHapus