Pada
hari Senin 21 Oktober 2013 bertempat di sebuah padepokan kecil di
daerah Bangunjiwo, Kasihan, Bantul berkumpul para pecinta opera dari
berbagai latar belakang untuk menyaksikan sebuah pertunjukan kecil
yang digawangi oleh Lena boru Simanjuntak dan dikomandoi oleh
Thompson Hs. Sebuah ide, reportoar, musikalisasi atau apapun itu…
yang mengkritisi komersialisasi dan pencemaran Danau Toba sekaligus
mengangkat misi mulia, yaitu memperjuangkan Tari Tortor asal
masyarakat Tapanuli sebagai salah satu World Heritage di UNESCO.
Sebuah pertunjukan yang diperjuangkan oleh komunitas Pusat Latihan
Opera Batak (PLOT) yang beranggotakan 14 orang dalam ramuan satu tim,
satu nafas dan satu tujuan, kembali hidupnya tadisi lisan masyarakat
Batak sejak Tilhang Gultom.
Bertempat
di Padepokan Bagong Kussudiarjo, desa Kembaran,Tamantirto, Kasihan
Bantul, para penonton lintas umur telah setia menunggu jalannya opera
sejak pukul 18.00. Meski pertunjukan baru akan dimulai pukul 19.00
(dan mulai pukul 19.30) para penonton yang sebagian besar berlatar
belakang mahasiswa asal Sumatera Utara dan berkuliah di Institut Seni
Indonesia Yogyakarta menunjukkan antusiasme yang besar menyambut
pementasan tersebut. Dapat dilihat dengan besarnya animo masyarakat
yang datang, meski fasilitas hanya disediakan seadanya, penonton
duduk melesehdi lantai. Pukul 19,30 MC membuka acara dengan memberi
sedikit pengantar tentang apa yang akan diceritakan diiringi oleh
musik gondang. Setelah itu secara non-stop dimulailah apa yang
disebut Sendratari Legenda Toba mengangkat Judul “Perempuan di
Pinggir Danau”.
Pertunjukan
tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu drama pembentukan dan awal
kehidupan di Danau Toba, drama konflik dan petuah –petuah ala
Tapian na Uli dan ditutup oleh drama (atau lebih tepatnya) otokritik
mengenai pencemaran dan de-sakralisasi Danau Toba. Ketiga bagian
tersebut dikelola dengan menggabungkan folklore tradisional
masyarakat Toba Samosir yaitu, Legenda Terbentuknya Danau Toba. Hal
ini diperunik dengan nilai – nilai tradisi masyarakat akuatik,
yaitu pentingnya peran perempuan dalam kehidupan sebagai wakil dari
kehidupan yang telah ada serta adanya sakralisasi terhadap air
sebagai sumber kehidupan. Masyarakat Toba (Samosir) khususnya
dianggap sangat identik dengan Danau Toba sebagai pusat makrokosmos
kehidupan. Akan tetapi prakteknya sekarang adalah perusakan danau
dengan adanya perambahan – perambahan liar, pabrik pulp yang
mencaplok tanah warga, bisnis keramba ikan yang menurunkan kualitas
air danau serta komersialisasi kapital oleh orang – orang bermodal.
Aransemen
Gondang, Tagading dengan Hasapi dan Seruling menciptakan musik latar
yang dinamis, membantu visualisasi ekspresi dan kondisi yang terjadi,
seperti angin, gempa dan letusan gunung. Musik racikan Maestro Opera
Batak, Alister Nainggolan dan Thompson Hs cukup variatif dan
menghibur penonton yang datang pada saat itu. Adanya musik
tradisional yang mengalun terkadang “menyelamatkan” reportoar –
reportoar yang dianggap menjemukan dikala penggunaan bahasa Toba
menjadi dominan. Tari yang ditampilkan pun cukup menggigit, terutama
dikala tari piring dan “jujung amak”. Ganjilnya jumlah penari
(seperti halnya di tari Karo) menjadikan tari tersebut hidup dan
menggeliat, terutama lenggak penari yang cukup gemulai dipadu dengan
kostum tradisional yang simpel.
Akan
tetapi kritik yang cukup keras perlu diarahkan pada sound system yang
digunakan, kecil dan tidak menggigit. Vokal pemain meski sudah
memakai clip – on tetap saja tidak jelas bahkan terkadang dirasa
tidak masuk ke speaker. Mungkin perlu untuk menggunakan clip – on
jenis headset yang tentu memiliki kemampuan lebih dalam menangkap
vocal pemain drama. Kemudian kondensor yang digunakan untuk instrumen
juga berkesan terlalu kalem, padahal musik pada dasarnya adalah salah
satu pengangkat mood penonton dalam acara – acara tradisional.
Diharapkan agar pada pentas – pentas berikutnya tata kelola sound
system menjadi perhatian, apabila perlu menjadi fokus agar tidak
mengecewakan penonton yang “terbiasa” dimanjakan dengan sound
yang layak. Tentu sebuah pertunjukan seperti “Perempuan di Pinggir
Danau” layak mendapatkan sound system yang lebih oke, terlebih
pertunjukan ini akan di pentaskan di Koeln, Jerman. Nilai minus
lainnya adalah tiadanya terjemahan bahasa Batak ke bahasa populer,
mengingat penonton juga berasal dari berbagai latar belakang suku dan
etnisitas. Joke, kelakar, nasehat, petuah dan dialog penting terlalu
banyak menggunakan bahasa Toba, terkadang penggunaan yang terlalu
dominan dapat menjemukan penonton yang bersemangat .
Terakhir,
perlu diapresisasi penggunaan tradisi lisan masyarakat dalam
penyampaian sebuah otokritik yang dipentaskan ke dalam sebuah opera.
Cara ini tentu mampu menghidupkan kembali tradisi lisan kita Batak
pada umumnya dan Karo pada khususnya. Karo memiliki sejuta
permasalahan di daerha yang mungkin dapat diungkapkan dengan pentas –
pentas tradisional, mengingatkan kembali masyarakat akan nilai –
nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Bukan dengan cara
demonstrasi yang hanya berujung pada perkelahian dan aksi – aksi
barbar yang tidak menunjukkan adat ketimuran, penuh sopan santun dan
adat. Karo memiliki berbagai kekayaan seni yang mampu menciptakan
pertunjukan spektakuler, tidak kalah dengan opera batak karya teman –
teman PLOT, hanya saja apakah kita akan diam saja hingga tradisi
lisan itu hilang kembali? Ataukah kita akan bangkitkan dan kembali
membudayakan opera di tengah masyarakat Karo? Atau apakah tradisi –
tradisi lisan tersebut akan menjadi terasing di rumahnya sendiri,
Bagai Lagu Piso Surit??
Perempuan
di Pinggir Danau
Sutradara:
Lena br Simanjuntak, Thompson Hs.
Artis/Aktor:
Alister Nainggolan, Ojax Manalu, Nominanda Tiomina br Sagala, Editua
Nainggolan, Hotania br Nainggolan, Tiurma br Nainggolan, Rinda br
Turnip, Rini H br Sinaga, Farida Christina br Siallagan, Devi Lasroha
br Sinaga
Tim
Artistik:
Adie Damanik, Ommz F Purba, Ganden, Lukman Hakim Siagian
Tim
Produksi:
Laire Tiwi Mentari, Jhon Fawer Siahaan, Manguji Nababan, Tumpak
Winmark Hutabarat.
Sondang yang kemudian hari dikenal dengan Danau Toba merasa terhina sewaktu suaminya secara tak sengaja mencela anak mereka dengan sebutan "anak ikan" |
Thompson Hs, in action |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar