Legenda
Karo: Tengku Lau Bahun
Tersebutlah
ceritera tentang seorang pendatang baru bernama Tengku Lau Bahun.
Beliau berasal dari Aceh dan dinegeri asalnya, beliau lebih dikenal
dengan sebutan Tengku Sekh. Tengku ini kaya dengan ilmu, ahli dalam
obat – mengobat, menguasai ilmu kedatuan. Tidak ketinggalan untuk
meninggikan martabat roh dan batin beliau sering dilakukannya tapa
bersunyi – sunyi ditempat sepi.
Alkisah,
Tengku Sekh sampai ke Tanah Karo setelah melakukan pengembaraan yang
panjang dari kampung asalnya. Kampung demi kampung dikunjungi, dusun
demi dusun didatangi. Salah satu sifat yang patut diteladani ialah
bahwa setiap orang yang dijumpai dipandangnya sama. Tidak ada yang
dilebihkan dan tidak ada pula yang direndahkan. Menurut keyakinannya,
manusia itu sama – sama ciptaan Tuhan dan karena itu tidak ada yang
tinggi dan tidak ada yang rendah derajatnya.
Selama
dalam pengembaraan, diajarkannya beragam ilmu kepada raja – raja,
datu – datu dan penghulu – penghulu di Tanah Karo sehingga
bertambah lama bertambah banyak orang yang mendapat pengajaran dari
Tengku tersebut. Satu hal yang menarik mengenai pengajaran ilmunya
ialah sukarela tanpa paksa. “Jika ilmuku dianggap baik terima dan
jika tidak jangan dipakai,” demikian ujar beliau selalu.
Mengajarkan ilmu diibaratkan bagai berdagang barang – barang tanpa
modal. “Laku tak laku daganganku ini, tak ada kerugianku,” begitu
sang tengku berpendapat. Mengenai kebahagiaan hidup, tengku tersebut
mengajarkan agar berpegang pada peribahasa, “dimana langit
dijunjung disana bumi dipijak.” Dengan demikian dimana kita tinggal
disanalah dicari famili, sahabat dan handai taulan. Jika kita pandai
membawa diri akan diperoleh kegembiraan, ketenangan dan kebahagiaan
hidup, karena dengan orang – orang itu kita akan saling
menggembirakan, saling mengasihi dan saling membantu di dalam
kesulitan.
Kepada
para petani diajarkan penggunaan tepung tawar untuk pemberantas hama
tanaman. Ditunjukkan pula supaya jangan menyebut nama – nama
binatang yang merusak tanaman seperti tikus, belalang dan sebagainya.
Sebutkan si Pinter
Ukum
untuk semua perusak tanaman itu ujarnya. Adapun penawar (anti) ulat
tanaman ialah daun simalem
– malem,
buah padi, air sawah tempat hama merusak, jerut purut dan jeruk empat
jenis yang untuk semuanya itu dinamakan Lau
Penguras
(Air Pencuci). Kemudian satukan dengan batang padi atau jagung yang
rusak lalu bacakan doa, “Hai
yang empunya perajurit, yang empunya suruhan, inilah si Pinter Ukum
yang merusak tanamanku. Hukumlah dia. Bersamaan dengan itu,
pancangkan bendera putih di tempat keempat sudut sawah ladangmu, juga
ditempat persemajaman. Lalu serahkan semua bahan tadi dalam satu
persembahan khidmat. Mudah – mudahan perusak tanaman akan berhenti
merusak.”
Begitulah Tengku Sekh mengajarkan ilmu kepada para petani.
Di
banyak tempat beliau diterima orang dengan baik, namun dikampung
Sukanalu, wilayah Urung
Si Enem Kuta,
muncul penolakan akan kehadiran beliau. Masyarakat disana
mencurigainya sebagai seorang yang bermaksud tak baik, bahkan ia
dituduh sebagai alat kerajaan Aceh untuk menjajah Tanah Karo.
Tuduhan
tersebut kemudian dibantah dengan tegas dan jelas. Karena tidak
berhasil dengan tuduhan mulut, maka mereka yang berpolemik
meningkatkan usaha mereka untuk melawan Tengku Sekh. Kali ini dalam
bentuk pengeroyokan beramai – ramai meski tak berhasil karena
kemampuan ilmu bela diri dan ilmu kebal sang tengku. Namun tanpa
diduga, orang – orang yang tadinya sudah menyerah, bersekongkol dan
menyerang Tengku pada bagian tubuh yang tidak kebal sehingga rubuhlah
beliau ke tanah. Oleh para pengikutnya yang setia yang datang dari
pelbagai tempat di Tanah Karo, beliau disemayamkan di kampung
Surbakti, Lingga Julu dan kampung Gajah hingga dibuatkan pekuburan di
Lingga Julu. Pekuburan tersebut terletak di tepi sungai Lau Bahun.
Sejak itulah nama semula Tengku Sekh lebih dikenal dengan sebutan
Tengku Lau Bahun, mengikut nama sungai yang tak jauh dari pusaranya.
Sesudah dia meninggal, pusara tersebut dijadikan tempat pemujaan
meminta perlindungan dari perusak tanaman dan bila musim kering
menyerang para petani.
Melalui
mimpi para pengulu , datanglah Tengku Lau Bahun dan berkata bahwa
beliau tetap akan menjaga dan memelihara siapa saja yang percaya
kepadanya dengan taat. Setelah peristiwa tersebut ditanam oranglah 9
galuh (pisang) Tengku Lau Bahun dan dilepaskan kambing putih dan ayam
putih.Sesuai dengan pesannya bagi mereka yang percaya kepadanya,
segala ilmu yang diturunkannya dipatuhi oleh masyarakat di kampung
Lingga terutama di kalangan para pengulu (datu di Karo). Pada waktu
musim menanam padi dipujalah galuh tadi dan kambing putih dipotong
untuk dimakan bersama – sama pada waktu musim kemarau. Makam Tengku
Lau Bahun dimandikan, dibersihkan dan dipuja dengan upacara gendang
Karo. Pengunjung - pengunjung yang berdatangan ke makam itu membawa
persembahan, memacangkan bendera putih sebagai tanda jika mereka
tetap memegang dan menghormati Tengku itu karena kejujuran dan
kebenaran.
Disadur
dari:
Panitia Proyek
Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Cerita Rakyat dari
Sumatera Utara. (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 55 – 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar