Para sahabat man kam Turang, senina, impal dan kade-kade saya mohon bantuan
dari anda semua untuk menjawab pertanyaan yang sama lampirkan via email
ini. terlebih dahulu ijinkan saya memperkenalkan diri:
nama Bastanta Bernardus Peranginangin (Bangun)
kuliah di Ilmu Komunikasi UAJY. sedang mengerjakan skripsi mengenai
Komunikasi Budaya Karo ertutur. mohon partisipasi ndu kerina. Bujur
mohon maap jika menanggu, bantuan anda sangat berharga bagi saya.
bujur ras mejuah-juah kita kerina
Nama
Lengkap dgn Marga
|
Dieta
Lebe Singarimbun
|
Kampus/
Fakultas/ Tahun Masuk (Tahun Wisuda)
|
UGM
/ FIB / 2013
|
Tinggal
di Jogya sejak Thn s.d thn
|
2001
|
Contac
Person
|
|
Pertanyaan
panduan mengenai “IMPLEMENTASI TRADISI ERTUTUR SUKU KARO DALAM KOMUNIKASI
INTERPERSONAL GENERASI MUDA PERANTAU DI YOGYAKARTA”
1.
Apa
ertutur itu bagi anda sebagai orang muda suku Karo? (Boleh Bukan Sekedar Definisi)
Bagi
saya budaya ertutur dalam masyarakat Karo adalah seni berkenalan yang
melibatkan banyak nilai budaya yang terkandung sewaktu dilaksanakan. Ertutur
memerlukan sedikitnya dua orang yang berinteraksi, menunjukkan bahwasanya
Ertutur memiliki nilai sosial yang tinggi, mengharuskan si penutur untuk
mengenal lingkungan dimana dia sedang berada. Kemudian Ertutur juga mengandung
keeratan sosial, dimana Ertutur menunjukkan bahwa semua orang Karo bersaudara.
Meski pun tidak ada pertalian darah diantara si penutur dengan lawan tuturnya,
Ertutur bisa menyatukan keduanya dalam ikatan kekeluargaan yang cukup tegas dan
jelas. Kemudian Ertutur juga bisa menjadi penunjuk kepedulian sosial bagaimana
seseorang harus berbuat dalam hubungan sosial dengan kerabatnya. Sewaktu
bertutur, seseorang akan tahu bahwa ia sedang berkomunikasi dengan sangkep
nggeluh dan menentukan di posisi manakah dia sedang berada. Ketika dia dalam
posisi anak beru, berarti dia harus siap untuk diminta tolong kapan saja,
apabila dia dalam posisi senina / sembuyak, maka dia harus siap menjadi teman
cerita dan ketika dia dalam posisi kalimbubu dia harus mampu memberi petuah
petuah bijak dan mencarikan koneksi apabila lawan tuturnya tersebut sedang
memiliki masalah. Ertutur menjadi jembatan sosial ketika seseorang dalam
perantauan dan menjadi solusi untuk menemukan kade – kade serta perkade – Kaden
untuk menjadi keluarga baru selama di perantauan. Budaya ertutur yang dimiliki
oleh orang Karo telah mengalami transformasi dari jaman ke jaman naum tidak
akan lekang oleh waktu. Oleh karena itu perlu dibudidayakan kelestarian aksi
bertutur di dalam masyarakat Karo. Ertutur itu Karo dan Karo itu Bertutur.
2.
Apa
yang mendorong anda dalam melangsungkan ertutur dengan seseorang?
Ertutur menunjukkan identitas
kita sebagai orang Karo seutuhnya. Orang Batak memiliki cara khas yaitu dengan
matorombo dengan nomor. Semakin besar nomor seseorang maka akan semakin rendah
posisinya. Akan tetapi bagi kita orang Karo, ertutur untuk mendapatkan nilai
sosial itu tidak berjenjang, akan tetapi berputar layaknya roda kehidupan.
Dalam ertutur kita mampu mendapatkan posisi sebagai seorang Kalimbubu dalam
jabu A, tetapi menjadi anak beru dalam jabu B dan menjadi senina / sembuyak
dalam jabu C. Oleh karena itu, cara dan gaya ertutur orang Karo itu khas. belum
lagi kita mengenal beberapa zona budaya Karo yang memiliki tradisi yang
berbeda. Ada zona Singalor Lau, zona Teruh Deleng, zona Karo Baluren, zona Karo
Gugung, zona Karo Jahe, zona Karo Langkat dsb. Uniknya cara bertutur semuanya
sama, dengan berpalas pada sangkep nggeluh. Ini menunjukkan bahwasanya orang
karo tulen pasti akan bertutur sewaktu berkenalan dengan orang baru, lingkungan
baru bahkan tempat yang baru. Oleh karena itu, sebagai orang Karo tulen pada
umumnya kita bertutur untuk mendalami komunitas Karo lebih lagi.
3.
Bagaimana
cara anda untuk mendapatkan point-point sehingga sampai membuat suatu
kesepakatan ertutur?
Menyelami masyarakat Karo lewat
bertutur memerlukan pengenalan aspek Sangkep Nggeluh. Terdapat tiga poin utama
dalam sangkep nggeluh yaitu Senina / Sembuyak, Kalimbubu dan Anak Beru. Hal ini
mencerminkan kita sebagai merga dan bere – bere. Untuk orang dewasa yang sudah
menikah, terdapat pula tingkatan dimana seseorang dapat menjadi Kalimbubu
karena turang nya diambil oleh suatu merga spesifik. Sebagai kelompok wife –
giver, kita akan menjalani posisi sebgai Kalimbubu. setiga aspek diatas tentu
menjadi poin utama dalam mengingat proses bertutur. Apabila kita bertutur dan tidak
mendapat hubungan pertalian pada tingkat ini, kita dapat melanjutkannya pada
tingkat yang lebih tinggi, yaitu Binuang dan Kempu. Binuang adalah Kalimbubu
(wife – giver) dari ayah dan Kempu adalah Kalimbubu dari ibu. oleh karena itu
tingkatan kedua ini sudah memasuki generasi kedua di atas merga kita. Ketika
pertalian persaudaraan tetap tidak terpenuhi maka seseorang dapat memakai
jenjang ketiga dari ertutur, yaitu dengan menanyakan Kampah dan Soler. Kampah
adalah Kalimbubu dari Kalimbubu Ayah, dan Soler adalah Kalimbubu dari Kalimbubu
Ibu. Meski pun jarang dipakai, tahapan ini menjadi salah satu tahapan akhir
bertutur seorang Karo. Tercatat, hanya beberapa kali Kampah dan Soler
ditanyakan, karena apabila seseorang bertutur, biasanya hanya mencapai Merga
dan bere – bere serta menanyakan Binuang dan Kempu.
Bagi masyarakat Karo kini, cara
bertutur sudah mengalami sedikit modifikasi. Apabila kita kesulitan menemukan
pertalian darah dengan seseorang yang baru kita kenal, masyarakat kini lebih
suka untuk menanyakan melalui garis perkade – Kaden lewat seseorang yang mereka
kenal di suatu tempat yang berhubungan dengan lawan tutur. Bisa saja satu
kampung, satu kantor, satu daerah perantauan. Misalnya seorang A dari
Tiganderket kesulitan menemukan hubungan perkade – Kaden dengan seorang B dari
Batukarang. Karena terdapat Bengkila A di Batukarang yang ternyata seorang
Kalimbubu di jabu B, maka otomatis si A dapat menarik kesimpulan sementara
bahwa dia adalah juga Kalimbubu dari B. Hal ini tentu dirasa lebih mudah karena
mungkin zaman sekarang orang tidak lagi begitu mengenak sanak – family yang
tinggal di kampung (terutama yang lahir di kota besar). Oleh karena itu,
biasanya metode inilah yang lebih disukai dan lebih sering dipakai.
4.
Bagaimana
menurut anda tentang proses ertutur itu dalam berkomunikasi?
Proses
bertutur dalam orang Karo melibatkan seni penuturan kata yang luar biasa kaya
dan indah. Bahkan untuk bertutur dengan seorang gadis / wanita Karo, orang Karo
zaman dulu menyebutkan kata – kata yang kini sudah punah. Hal ini disebabkan,
orang Karo lebih menyukai pemakaian majas – majas metaphor dan kalimat yang
bertele – tele untuk menjelaskan sesuatu yang dimaksudkan. Oleh karena itu,
proses berkomunikasi pada zaman dulu tentu membutuhkan waktu yang agak lama.
Hal ini mungkin yang menyebabkan orang Karo kurang tanggap menghadapi masalah
informasi. Karena bagi kita orang Karo, informasi tidak saja harus dicerna
tetapi harus juga diolah penyampaiannya sehingga membutuhkan waktu yang agak
lama untuk penyebaran – luasnya. Akan tetapi, komunikasi yang disampaikan orang
Karo cukup mendalam apabila sedang bertutur, terlebih lagi seseorang
mendapatkan sangkep nggeluh pertalian darah langsung. Mereka tentu tidak akan
puas apabila hanya menyampaikan komunikasi satu arah, tetap justru akan
memancing agar komunikasi berjalan dua arah. Selama kedua proses bertutur
diatas tidak dilupakan, maka komunikasi seorang penutur dengan lawan tuturnya
seharusnya tidak menjadi masalah.
5.
Apa
kendala yang pernah dialami dalam berkomunkasi dalam menjalankan tradisi
ertutur?
Anak muda Karo zaman sekarang
telah tersebar ke berbagai tempat dan wilayah di muka bumi. Penyebaran sporadis
orang Karo dapat dilihat dari jabatan, pangkat, posisi dan juga penempatan
orang Karo yang kini tidak saja meliputi wilayah di Nusantara Indonesia ini,
tetapi telah mencapai pada tingkatan global. Dapat dilihat bahwa di luar negeri
juga orang Karo telah berekspansi dengan bekerja di sektor – sektor yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya. Penyebaran ini mungkin menyebabkan hubungan dan
komunikasi dengan sanak – family di kampung menjadi kurang intens, yang
berujung pada tidak menahunya anak – anak akan kerabat di kampung. Hal ini
tentu menjadi sedikit ganjalan dalam bertutur, karena kita tidak lagi intens
dalam berkunjung maupun menjalin komunikasi dengan orang di kampung halaman.
Thus, seseorang akan memiliki pengetahuan yang kurang dalam menjalin pertalian
saudara dengan orang di kampung. Menurut saya hal inilah yang menghambat
seseorang dalam berkomunikasi dan bertutur dengan orang baru. Akan tetapi kita
dapat memakai versi bertutur yang kedua, yaitu mengaitkan hubungan persaudaraan
dengan orang yang kita kenal di kampung sebagai patokan dasar dalam bertutur.
Selain lebih simple, hubungan pertalian lebih mudah untuk didapatkan. Hal ini
tentu cukup membantu orang perantau dalam melangsungkan hubungan pertalian dan
mendapatkan posisi sangkep nggeluh. Meski begitu, diharapkan versi ertutur yang
pertama pun sebisa mungkin tidak dihilangkan karena versi yang pertama adalah
versi yang sesungguhnya dalam bertutur. Sangat disayangkan apabila versi
bertutur “pemena” tersebut menjadi hilang di makan waktu, atau di klaim oleh
budaya asing yang tidak mengenal seluk – beluk indahnya tutur Karo.
Mejuah
– juah dan Sentabi
Ditz
Singarimbun
Tulisan ini saya Publikasikan karena saya merasa perlu dibagikan terutama bagi penikmat sari budaya Karo sembelang doni. Saya ucapkan terima kasih kepada Bang Bastanta Bernardus Perangin - angin Bangun yang telah meluangkan waktu untuk mengenal lebih jauh Bertutur dan implikasinya dalam Komunikasi Modern. Diharapkan sumbangsih ilmu akan memperkaya khazanah keilmuan Karo dan rayat sirulo -Nya. Bujur Mejuah juah.