GURU KANDIBATA
Di
Tanah Karo Sumatera Utara terdapat satu kampung yang bernama Kandi Bata. Dahulu
kampung tersebut dikenal oleh semua orang dari segala penjuru karena di kampung
tersebut hidup seorang Guru Mbelin
(Dukun Sakti) bernama Guru Kandibata. Ia beristrikan seorang Guru Mbelin jua yang
menghasilkan dua keturunan yaitu Beru Tandang Karo dan Beru Tandang Meriah.
Kesaktian Guru Kandibata tersebut tersiar hingga ke negeri – negeri di luar
Tanah Karo Simalem. Beliau bisa meramal hari (Niktik Wari), mengobati segala
sakit penyakit, bahkan menghidupkan kembali orang mati, asal jenazah orang
tersebut masih utuh dan belum mencapai 4 hari kematian.
Pada
suatu hari, timbullah penyakit cacar yang menjangkiti Tanah Alas di daerah
Aceh. Penyakit yang mewabah tersebut mengakibatkan korban jiwa yang tidak
sedikit, sehingga timbullah kepanikan yang luar biasa. Keresahan rakyat Tanah
Alas menyebabkan Raja Alas menjadi was – was. Raja Alas adalah seorang Raja
yang kekayaan beliau tiada terhingga. Dengan uang dan upah yang tidak terbatas,
beliau menyuruh para pengikut beliau untuk mendatangkan tabib dan dukun dari
seluruh penjuru negeri. Namun tidak ada satu pun yang berhasil mengobati wabah
tersebut. Hingga pada suatu hari, beliau mengutus orang kepercayaan untuk meminta
pertolongan Guru Kandibata yang tersohor kesaktiannya dari negeri sebelah. Raja
Alas bahkan bersedia memenuhi segala permintaan Guru Kandibata apabila beliau
bersedia dating ke Tanah Alas dan mengobati wabah cacar tersebut. Tertarik
dengan harta kekayaan yang dijanjikan oleh sang utusan Raja Alas, dengan cepat
Guru Kandibata menyanggupi. Dia kemudian mempersiapkan perbekalan dan stok obat
– obatan secukupnya dan mengajak sang istri untuk turut serta menemani selama
di Tanah Alas. “Baiklah kalau begitu. Saya akan datang ke Tanah Alas beserta
istri saya,” ujar Sang Guru Mbelin Kandibata.
Ketika
segala sesuatu telah dipersiapkan dengan matang, tiba – tiba sang istri berkata “Lebih baik kita tidak usah pergi ke
Tanah Alas.” “Mengapakah?” ujar Guru Kandibata dengan heran melihat reaksi
istri yang tidak biasa. “Aku khawatir apabila kita pergi ke sana, penyakit itu
akan datang kemari dan akan menjangkiti kedua anak kita,” sahut sang istri.
“Kam tidak usah khawatir. Seandainya pun kedua anak kita tertular penyakit itu,
aku pasti bisa menyembuhkan keduanya dengan muda. Bahkan apabila mereka sampai
mati akibat wabah cacar itu, aku dapat menghidupkan kembali keduanya dengan
mudah!” ujar Guru Kandibata. Setelah melihat ketetapan hati dan
mempertimbangkan secara matang nasehat suaminya, bersedialah sang istri
berangkat mendampingi Guru Kandibata. Akan tetapi ternyata kedua anak Guru
Kandibata menjadi kecewa dan sedih melihat kepergian kedua orang tua mereka.
Melihat
dampak wabah penyakit cacar yang luar biasa di Tanah Alas, Guru Kandibata pun
memperpanjang kunjungannya. Ia mengobati pasien didampingi sang istri siang dan
malam, tiada henti. Keberadaan Guru Kandibata menjadi semacam obat harapan bagi
warga Tanah Alas untuk terbebas dari penyakit cacar yang mewabah secara dasyat.
Akan tetapi, ternyata waktu juga yang mendatangkan wabah cacar ke Tanah Karo,
hingga ke desa Kandibata. Kedua anak Guru Kandibata yang tinggal di kampung
tidak luput terkena wabah cacar tersebut. Dari hari ke hari, penyakit mereka
bertambah parah hingga keluarga memutuskan untuk memberi kabar kabar ke Tanah
Alas. Utusan yang menjumpai Guru Kandibata bersikeras agar beliau dan istri
dapat segera pulang untuk mengobati buah hatinya tersebut. “Aku belum bisa
pulang sekarang. Tidak kalian lihat seberapa parah penyakit itu sudah mewabah
daerah ini? Kalian tidak usah khawatir, bagaimana pun parahnya penyakit kedua
anakku nanti, aku pasti bisa menyembuhkannya. “Tapi Bang, penyakit mereka sudah
sangat parah. Kami khawatir mereka akan mati!” ujar utusan itu setengah
memaksa. “Kalau pun anak – anak ku itu mati, aku pasti bisa menghidupkan mereka
kembali, janganlah khawatir. Nah, terimalah uang ini dan pulang kalian segera
ke Kandi Bata,” ujar sang Guru sembari memberi uang yang banyak kepada sanak
keluarganya. Tanpa basa – basi utusan tersebut kemudian pulang kampung dengan
penuh kekecewaan.
Tak
lama berselang, datang lagi utusan dari kampung meminta kesediaan Guru
Kandibata pulang dan mengobati kedua anak gadis beliau yang sakit parah.
Keadaan mereka sudah sangat parah sehingga keluarga takut bahwa mereka akan
“pergi” kapan saja. Kekhawatiran mereka sudah memuncak. “Aku belum bisa pulang
sekarang. Tidak kah kalian lihat masih banyak orang yang harus aku tolong?”
ujar sang Guru. “Tapi Guru, keadaan mereka sudah sangat parah. Kami tidak yakin
lagi mereka masih sanggup bertahan. Sebaiknya Guru pulang dahulu untuk
mengobati mereka,” ujar sang utusan. “Nah terima uang yang banyak ini.
Pulanglah kalian ke Kandi Bata secepatnya. Apabila meninggal kedua anak gadisku
tadi, kuburkanlah mereka dengan upacara yang layak, gunakan saja uang ini.
Kemudian secepatnya lagi kalian beritahu aku tentang kematian mereka. Biar bisa
aku pulang dan menghidupkan kembali kedua buah hati ku itu.” Kata Guru
Kandibata. Dengan berat hati, mereka menerima uang dalam jumlah yang melimpah
dan pulang kembali ke Kandi Bata untuk melaksanakan perintah sang Guru.
Sebenarnya Guru Kandibata tidak mau pulang karena dia memperoleh keuntungan
yang sangat banyak dari Raja Alas. Sayang rasa beliau apabila keuntungan yang
luar biasa melimpah ini dihentikan begitu saja. Ia pun yakin bahwasa beliau
mampu menghidupkan kembali kedua anak beliau sekalipun telah meninggal.
Tidak
lama kemudian meninggal kedua anak Guru Kandibata. Mereka merasa sangat sedih
karena tidak meras diperhatikan kedua orang tua mereka yang sibuk mencari uang
di tanah seberang. Meski sudah berkali kali mengutus sanak – saudara untuk
membujuk orang tua mereka. Bahkan mereka suda merunggukan agar memaksa kedua
orang tua mereka pulang. Segala cara dicoba tetapi tidak menghasilkan apa pun. Setelah
mereka dikebumikan, roh mereka yang meninggal secara tidak tenang menangis
tersedu – sedu. Tangisan mereka yang indah luar biasa ini kemudian di dengar
oleh Keramat Nini Deleng (Gunung) Sibayak. Beliau mengutus salah satu suruhan
untuk menanyakan sebab tangisan kedua roh gadis tersebut. Ketika sang pesuruh
menanyakan hal tersebut, kedua roh gadis itu serempak menjawab “Pada waktu kami
meninggal dunia, kedua orang tua kami tidak bersedia pulang dan menjenguk kami
dari tanah rantau. Mereka sudah dikuasai nafsu serakah hanya untuk mengumpulkan
uang. Tega sekali mereka meninggalkan kami begitu saja.” Rintihan syahdu yang
dikenal orang Karo sebagai nuri – nuri itu, kemudian disampaikan si pesuruh
kepada majikannya. Melalui si pesuruh, Nini Deleng Sibayak mengundang kedua
gadis tersebut agar bertandang ke rumah beliau di suatu tempat lereng Gunung
Sibayak. Beliau menjamu kedua roh gadis yang sedang sedih itu dengan tangan
terbuka. Beliau juga memerintahkan agar si pesuruh menyembunyikan tulang –
belulang kedua gadis tersebut agar tidak mampu dibangkitkan kembali oleh Guru
Kandibata.
Di
negeri seberang, Guru Kandibata merasa puas dengan keuntungan yang beliau
peroleh dari Raja dan rakyat Tanah Alas. Setelah mengabdi sekian lama, beliau
bermaksud untuk pulang ke kampung halaman. Setelah diadakan pesta yang meriah,
tibalah saatnya Guru Kandibata beserta istri mengucap pamit dan memulai
perjalanan ke kampung. Setiba di Kandi Bata, mereka langsung menuju makam kedua
anak mereka yang masih mendendangkan turi – turiin. Roh kedua gadis tadi
menangis tersedu – sedu menyesali kedatangan orang tua mereka yang terlambat
menjenguk mereka. Sang Istri Guru yang merasa sedih menyatakan penyesalan
beliau dan berjanji akan menghidupkan mereka kembali sebelum tulang – tulang
keduanya hancur digerus tanah. Sewaktu makam digali, tidak ditemukan tulang –
belulang kedua anaknya, sehingga panik semua orang di kampung. Tapi bukan Guru
Mbelin Kandibata apabila hanya berputus asa. Beliau mencari jejak roh kedua
anaknya dan mendapati jejak mistis mengarah ke Gunung Sibayak. Mengerahkan
segenap kemapuan saktinya, Guru Kandibata menyusuri jejak mistis tersebut dan
mendapati roh kedua anaknya sedang menangis tersedu – sedu. Melalui sebuah
tenda yang mampu menampilkan citra kedua anak beliau, Guru Kandibata berusaha
berkomunikasi dengan anak – anaknya. Akan tetapi upacara yang dikenal dengan
“Raleng Tendi” tersebut mempunyai sebuah pantangan, bahwa hanya roh yang bisa
masuk ke dalam tenda tersebut. Roh akan hilang apabila seseorang mencoba
memasuki tenda. Saking histeris, istri Guru Kandibata yang tidak mampu
menyembunyikan rasa rindu, mencoba merangsek masuk ke dalam tenda. Akibatnya,
terputuslah komunikasi di antara mereka. Baru Tandang Karo dan Beru Tandang
Meriah yang kecewa akibat aksi sembrono kedua orang tua mereka, kemudian langsung
berlari kembali ke kediaman Nini Deleng Sibayak dan bersembunyi untuk
selamanya. Ada kalanya, suara tangis kedua anak Guru Mbelin Kandibata terbawa
angin sehingga dapat di dengar oleh para pendaki Gunung Sibayak. Sora na mido – ido.
Cerita
ini disadur ulang dari buah karya Z Pangaduan Lubis, Cerita Rakyat dari Karo.
Yogyakarta: Grasindo. 2011.
Mohon
maaf selama ini jarang update post – post yang berkaitan dengan blog ini.
Semoga lebih di sempatkan untuk menulis. Cerita Rakyat dari Karo ini saya tampilkan sebagai media untuk mencegah kepunahan cerita - cerita rakyat dari Karo. Untuk tulisan ini saya khususkan
kepada Savedia Lania Olga Sembiring Meliala yang selalu menyemangati dalam suka
dan duka.
Informan nya yang di tanah karo ada?
BalasHapus