Guru Patimpus
Persebaran Urung Sepuluh Dua Kuta
dan Urung Sukapiring
Meninjau
kembali sejarah Kota Medan, tidak terlepas dari ketokohan seorang Guru Mbelin,
Guru Patimpus. Panitia Penyusunan Hari Jadi Kota Medan sepakat untuk memastikan
bahwa Kota hari jadi kota Medan adalah 1 Juli 1590, sewaktu daerah Medan,yang
dahulu masih berwujud kampung, di pantek
oleh Guru Patimpus. Siapa sebenarnya Guru Patimpus masih merupakan sebuah
misteri. Guru Patimpus atau yang lazim di daerah Karo dikenal dengan nama Pa
Timpus, merupakan penokohan dari Bapak seorang anak yang bernama Timpus. Akan
tetapi, dalam silsilah keluarga Pelawi tersebut pengelaren Timpus hanya
dijumpai pada satu generasi saja,yaitu anak Tuanku Raja Hita, kempu Si Jalipa.
Akan tetapi,dalam berbagai silsilah dan dokumen, hanya dapat dijumpai nama
Timpus. Beliau mulai mengenakan gelar Pa Timpus sewaktu memperoleh ilmu dari
serumpun bambu bertulis. Namun, hal tersebut tidaklah lazim di kalangan orang
Karo dikarenakan penggelaren Pa dalam sebuah nama hanya ditujukan untuk menunjuk
orang tua dari nama yang bersangkutan. Hal inilah yang kemudian menarik minat Brahmo
Putro untuk menyelidik lebih dalam Guru Patimpus dan keturunannya dalam buku
Karo dari Zaman ke Zaman jilid II. Ketokohan Guru Patimpus, yang kemudian
banyak memantek kampung – kampung Karo dalam pengembaraannya akancoba kami
jabarkan sebagai berikut.
Tersebutlah
dahulu pada suatu jaman, di kampung Bekerah terdapat seorang raja bernama Singa
Maharaja. Beliau merupakan keturunan pertama dari seorang tokoh sakti bernama
Si Jalipa. Beliau kemudian menikah dengan anak dari Pawang Na Jeli dan
melahirkan Tuan Manjolang dan Tuan Si Raja Hita. Tuan Manjolang yang merupakan
anak sulung, menjadi pewaris tahta menggantikan si Jalipa di negerinya, dan
karena merasa tertantang untuk bertualang, Si Raja Hita meminta izin kepada si
Jalipa untuk pergi merantau. Usul Si Raja Hita disetujui oleh Si Jalipa dan
beliau pun menuntun Si Raja Hita dalam petualangannya ke berbagai wilayah. Akan
tetapi dalam perjalanannya, Si Jalipa menghilang dan tibalah Si Raja Hita di
Kendit. Beliau lantas membuka lahan dan mendirikan kampung di situ.
Tetap
berkeinginan untuk mencari nenek yang hilang, Tuan Raja Hita melanjutkan
perjalanan menuju Lau Tawar. Ia kemudian pulang ke Bekerah dan kawin dengan seorang
gadis. Ia mendapatkan tiga keturunan, yaitu Timpus, Pekan dan Balige. Ia
kemudian mendirikan kampung Pekan dan Balige sesuai nama anak – anaknya tersebut
dan menjadikan mereka Raja disana. Si sulung Timpus, ia proyeksikan menjadi
pengganti Si Raja Hita. Namun keinginan Timpus yang gemar berpetualang, ia
menolak posisi tersebut dan menyerahkan kekuasaan pada adik – adiknya. Suatu
hari, SI Raja Hita mendapat berita bahwa Si Jalipa sang nenek berada di kampung
Kaban, wilayah Gunung Si Bayak. Akan tetapi tidak lama kemudian beliau
meninggal, tanpa pernah merealisasikan keinginan beliau. Timpus yang telah
menolak warisan menjadi raja, kemudian pergi berkelana mencari ilmu hingga
akhirnya dia menemukan sebatang Bambu yang bersurat dari bilah – bilah hingga
daunnya. Ia kemudian mempelajari ilmu tersebut dan menjadi sakti karenanya.
Dari situ ia menggelari dirinya dengan gelar Guru Mbelin Patimpus.
Sesudah
perkelanaan yang jauh, beliau kemudian menikahi anak Raja Ketusing dan
mendapatkan keturunan yang bernama Siberara. Tak lama setelah lahir Siberara,
ia pun membuat kampung sebagai tempat anaknya berkuasa kelak. Hal tersebut
berlangsung pula setelah kelahiran Si Kuluhu, Batu, Si Salahan, Paropa dan
Liang Taneh. Enam kampung dibuat bagi anak- anak yang disayanginya tersebut.
Anak ketujuh beliau terlahir sebagai perempuan yang kemudian hari dipersunting
oleh anak Raja Tangging,sehingga keturunan mereka menjadi Anak Beru bagi keenam
kampung anak – anak Guru Patimpus.
Mendengar
bahwa di Tanah Karo sedang terjadi kegaduhan, Guru Patimpus berangkat untuk
menenangkan pihak – pihak yang berkonflik. Ia kemudian ingat akan tenah ayahanda Si Raja Hita, nenek
moyang beliau pernah ada di Kampung Kaban, sehingga ke Kabanlah perjalanan
pertama Guru Patimpus dimulai. Tak lama bertandang ke Kaban, Ia melanjutkan
perjalanan ke Ajei Jahei. Disini ia menikah dan mendapatkan keturunan Si Gelit
(yang kemudian bernama SI Bagelit). Seperti biasa, ia kelak menjadikan Gelit
raja di kampung tersebut. Ia melanjutkan perjalanan ke Teran dan Batukarang, di
mana ia kembali menikah dan mendapatkan keturunan Si Aji. Ia pun mendirikan
kampung yang diberi Perbapaan Ajei di dekat situ. Tak lama, ia melanjutkan
perjalanan ke Per Baji, dimana ia mendapat keturunan pula yang dinamai Raja
Hita. Bersama rombongan, mereka mendapat penglihatan bahwa derah tersebut cocok
untuk dijadikan daerah berdagang, sehingga mereka pun beristirahat di situ.
Sewaktu Guru Patimpus beristirahat di bawah sebatang pohon durian, tanpa tanda –
tanda apa pun,jatuh dan pecahlah sebuah durian yang tiada berisi. Heran karena
mendapat durian unik, beliau lantas mendirikan sebuah kampung yang dinamai
Durian Kerajaan. Setelah semuanya usai, mereka lantas kembali ke Per Baji dan tak
lama kemudian beliau mengangkat Si Gelit sebagai Raja disana.
Merasa
puas dengan persebaran keturunan beliau yang talah menyebar jauh, Guru Patimpus
pun pulang ke Ajei Jahei untuk mengistirahatkan diri. Akan tetapi berita
kesaktian seorang Jawi yang datang ke Deli dan berdiam di Kota Bangun mengusik
istirahat panjangnya. Kota Bangun merupakan daerah berkeramat besar dan
misterius, sehingga siapa pun yang mengaku menjadi penguasa di Kota Bangun
bukanlah sembarang orang. Apalagi si Jawi menamakan dirinya Datuk Kota Bangun.
Merasa penasaran dengan kabar tersebut, Guru Patimpus pergi ke daerah Kota
Bangun namun menahan diri untuk langsung berjumpa dengan orang sakti tersebut.
Ia kemudian membangun sebuah daerah diluar Kota Bangun yang kemudian berkembang
menjadi Kuala Sei Sikambing, dan mempersiapkan diri sebaik mungkin selama
setahun penuh.
Setelah
merasa bahwa ilmu yang ia persiapkan cukup, ia pun datang dikawal tujuh
pengikut paling sakti untuk menemui Sang Datuk. Merasa sang tamu kehausan,
Datuk Kota bangun menyuguhi sang tamu dengan tujuh tandan buah kelapa, yang
anehnya tak mampu dihabiskan oleh Guru Patimpus dan ketujuh anak buahnya.
Terkesima dengan ilmu yang dimiliki Sang Datuk, ia pun mengaku kalah dalam adu
ilmu dan bersedia masuk jawi, atau menganut Islam.
Guru
Patimpus lantas meminta waktu untuk mengadakan
runggu terkait hal tersebut kepada
sanak keluarganya yang terdapat di Gunung, selama tiga bulan. Dahulu, merupakan
aib bagi seorang pengikut kepercayaan tradisional untuk masuk ke dalanm ajaran
agama resmi, apalagi yang hanya memiliki Satu Tuhan. Konsekuensi dari aksi
tersebut tidak saja hanya dikucilkan dengan sebutan “Masuk Jawi” tetapi juga
mendapat hukuman keluar kampung. Mungkin ini mengacu pada kepercaan tradisional
yang menyembah Alam sebagai pusat segala kehidupan, jadi untuk menyembah
seorang Tuhan bagi anggapan masyarakat tempo dulu adalah konyol. Waktu tiga
bulan tidak disanggupi sang datuk, bahwa beliau hanya member tenggat lima belas
hari “cuti”. Meski demikian, beliau membantu kepulangan Guru Patimpus beserta
tujuh pengikutnya yang dalam sekejab mampu sampai di kampung Ajei Jahei hanya
bermodalkan sepelepah daun kelambir. Setiba di kampung, beliau mengundang
segenap sanak famili, berikut sangkep
nggeluh Pelawi mergana untuk
berkumpul disebuah tempat yang ditetapkan. Disitu beliau mengutarakan maksud dan
tujuan beliau, serta menggelar pesta besar – besaran. Setelah pesta tujuh hari
tujuh malam lamanya,beliau mengucap salam perpisahan dan kembali ke Kota
Bangun. Tempat perpisahan itu kemudian dinamakan Perceraian.
Guru
Patimpus mengabdi selama tiga tahun kepada Datuk Kota Bangun dan selama itulah
beliau berguru dan mendapat ilmu. Tak ketinggalan, beliau juga mengembangkan
daerah Kuala Sei Sikambing menjadi daerah yang ramai. Setelah dirasa cukup,
Datuk Kota Bangun mempersilahkan Guru Patimpus untuk mengembara kembali dan
mempraktikkan ilmu yang beliau dapat demi kebaikan masyarakat. Dalam
perkelanaan beliau, sempat pula berjumpa dengan putri Raja Tarigan keturunan
Panglima Hali berikut rombongan dayang- dayangnya yang rupawan. Akan tetapi
sang putrid justru meremehkan dan melecehkan Guru Patimpus sebagai orang Karo
yang ternoda aib karena “Masuk Jawi”. Merasa tersinggung, Guru Patimpus
mengguna-guna sang Putri hingga menjadi gila. Kerajaan Tarigan mergana menjadi panik
dan kacau, karena segala tabib, guru dan dukun tak ada yang mampu menyembuhkan.
Lantas tersiar ke kerajaan, kehebatan seorang guru mbelin yang telah masuk Islam namun memiliki ilmu penyembuhan
yang luar biasa. Beliau pun dipanggil untuk mengobati sang putri dan sembuh
dari penyakitnya. Supaya jera dari sifat angkuh, Guru Patimpus kembali
memantrai sang Putri dan menyembuhkannya secara berulang – ulang. Merasa putus
asa, Raja Tarigan kemudian mengawinkan putrinya tersebut dengan Guru Patimpus.
Tak lama berselang, lahir dua anak beliau yang diberi nama Timang – Tiamangen Si
Kolok dan Timang – Timangen Si Kecil.
Berhubung
Guru Patimpus telah menua, datanglah si Bagelit meminta izin ikut masuk Jawi,
agar mampu menggantikan posisi Guru Patimpus sebagai penguasa atas daerah Si
Sepuluh Dua Kuta. Akan tetapi sang Guru menolak. Setelah menimang lebih lama,
Guru Patimpus mengijinkan Si Bagelit memeluk agama Islam dengan berguru pada
Datuk Kota Bangun. SI Bagelit lantas membagi dua daerah kekuasaan ayahnya, di
Gunung dengan sebutan Urung Sepuluh Dua Kuta dan di Jahe dengan sebutan Urung
Sukapiring. Guru Patimpus kemudian juga mengirim kedua anak terakhirnya untuk
belajar kepada Datuk Kota Bangun yang ditolak dengan halus oleh si Datuk.Sang Datuk
berkeinginan agar keduanya belajar Islam dari Tanah Aceh, yang sedang Berjaya kekuasaannya,
dengan harapan akan afiliasi politik dimasa depan dengan Aceh sebagai sekutu.
Si Kolok dan Si Kecil kemudian di kirimke Aceh atas rekomendasi Datuk Kota
Bangun dan pada kemudian hari, lebih dikenal dengan nama Hafiz Tua dan Hafiz
Muda.
Referensi:
Brahmo Putro. 1982. Karo Dari Zaman Ke Zaman Jilid
II, Cetakan Ke II. Medan: Penerbit Ulih Saber
Daniel Perret. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas.
Jakarta: KPG
Nasrul
Hamdani. 2013. Komunitas China di Medan Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930 –
1960. Jakarta: LIPI Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar