Legenda Karo:
Cingcing Ganjang Penura
Tersebutlah
kisah Cingcing empat beranak yang bersarang di rumpun buluh cina. Anaknya yang
dua ekor masing – masing bernama Tetap Perukuren dan Ganjang Penura. Mereka
hidup di tempat itu, tanpa pernah kekurangan makan dan minum.
Cingcing
jantan dan cingcing betina yang sudah tua merasa bahwa ajalnya sudah hampir
tiba, tetapi sebelum meninggal, mereka ingin menyampaikan kata – kata terakhir
untuk pegangan selanjutnya bagi kedua buah hati. Demikianlah pada suatu pagi
yang cerah, Ayah dan Ibu Cingcing memanggil kedua anaknya. Pada kesempatan itu
berkatalah Ibu Cingcing, “Anakku keduanya, dengarlah ucapan ini baik – baik.
Kami berdua sudah tua dan sewaktu – waktu mungkin saja kami dipanggil Tuhan.
Namun, sepeninggal kami nanti, kalian berdua hendaknya tetap hidup rukun.”
Ucapan Ibu Cingcing itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh kedua anaknya.
Cingcing jantan yang dari tadi berdiam diri terlihat mengangguk – angguk tanda
sependapat dengan kata – kata istrinya. “Satu hal lagi yang perlu kalian
ingat,” kata Ibu Cingcing. “Bahwa tempat kediaman kita ini sudah bertahun –
tahun kita tinggali. Ternyata, keadaannya sangat serasi dengan kita. Selama
disini tak pernah ada gangguan, tak pernah kita mengalami kekurangan, belum
pernah kesusahan melanda keluarga kita. Oleh karena itu, sedapat – dapatnya
janganlah kalian tinggalkan tempat ini.” Ucapan Ibu Cingcing itu kemudian
dikuatkan oleh suaminya, “Jika kalian ingin selamat, patuhilah nasihat kami,
jika tidak kalian akan rasakan sendiri akibatnya nanti.” Kedua anak Cingcing
berjanji kepada orang tuanya bahwa mereka akan mematuhi segala nasihat
tersebut.
Malam
harinya secara tenang kedua cingcing tua itu pun menghembuskan napasnya yang
terakhir. Begitu kedua orang tua mereka meninggal, Tetap Perukuren kembali
mengingatkan kepada adiknya tentang apa yang dinasihatkan oleh orang tuanya
sebelum meninggal.
Beberapa
hari sesudah itu datang burung Pincala
boang dari laut dan hinggap dekat kedua ekor cingcing itu. Sayapnya dikibas
– kibaskannya dan dari mulut keluar suara bergalau. Kemudian, diceritakannya
tentang perjalanannya kepada Cingcing Ganjang Penura bahwa dia datang dari laut
yang luas. Karena Ganjang Penura menyatakan keinginannya hendak melihat laut,
maka diajak Pincala boanglah dia pergi. Ketika ditanya oleh Ganjang Penura
bagaimana dengan makanan mereka selama dalam perjalanan, maka Pincala boang
berujar bahwa hal itu tidak usah ditakutkan karena di dalam hutan banyak
makanan. Hanya saja diingatkannya agar jangan memakan buah yang mentah, tetapi
pilihlah yang masak. Berangkatlah Ganjang Penura tanpa persetujuan abangnya untuk
mengikuti Pincala boang. Dalam perjalanan itu, cingcing tersebut hanya
bertengger saja di atas punggung Pincala boang yang membawanya terbang
melintasi hutan dan rimba raya. Pada suatu tempat, mereka hinggap di pohon tuldak yang sedang berbuah besar – besar
dan masak – masak. Mereka melihat bahwa di tempat itu banyak binatang lain,
seperti imbau, enggang, mawas.
Karena
malu melihat Ganjang Penura yang begitu kecil dibandingkan binatang – binatang
lain, maka cingcing ditinggalkan oleh Pincala boang. Sesudah ditinggalkan
Pincala boang, maka Ganjang Penura mencoba memakan buah tuldak tersebut. Ternyata buah tidak ada yang kecil, semuanya besar
– besar melebihi besar tubuhnya. Dicotoknya dengan paruhnya, maka terbenam
paruhnya itu ke dalam buah tuldak
tersebut sehingga tak dapat keluar lagi. Akan tetapi, setelah beberapa kali
dicobanya menarik, lama – lama lepas juga paruhnya itu. Karena kuatnya dia
menarik paruhnya tadi, terlempar dia dari tempatnya bertengger, lalu tersangkut
di pohon peldang. Beberapa lama disana, dia terbang kembali ke pohon tuldak tadi. Dilihatnya ada beberapa
buah tuldak sisa – sisa makanan
tikus. Timbul keinginannya hendak memakannya, tetapi setelah dicobanya mematuk,
kemudian ditelannya, ternyata makanan tersebut di kerongkongannya. “Matilah aku
sekali ini,” pikirnya. Namun dia tidak mati.
Di
tempat kediaman abangnya, cingcing Tetap Perukuren sudah menunggu – nunggu
kedatangan adiknya itu. Atas kehilangan adiknya itu, dia tanyakan kepada Raja Imbo (siamang) putih yang berkuasa di
atas pohon – pohonan. Kedatangannya disambut oleh Raja Imbo dengan pertanyaan,
“Apa maksudmu menjumpaiku ini?” Dijawab oleh cingcing itu bahwa maksud
kedatangannya ialah untuk meminta bantuan karena adiknya sudah beberapa hari
tak pulang – pulang. Oleh Raja Imbo putih diperintahkannya kepada seorang
pembantunya untuk mencari Cingcing Ganjang Penura. Kepergiannya itu disertai
oleh Tetap Perukuren. Ternyata, Cingcing Ganjang Penura sudah tak ada lagi di
atas pohon, seperti yang diketahui oleh pesuruh itu. Kemudian, dinasehihatinya
kepada Cingcing Tetap Perukuren agar mendatangi Raja Cekiri Gumba yang berdiam di sebuah jurang yang dalam. Kepada
Raja Cekiri Gumba ditanyakan lagi oleh Tetap Perukuren tentang adiknya yang
hilang itu. Prajurit ular sawah yang ditanyai oleh Raja Cekiri Gumba menyatakan
bahwa ada terlihat Ganjang Penura di bawah pohon tuldak yang tadinya hendak dimakannya, tetapi tak jadi karena
terlalu kecil.
Dengan
diantar oleh si ular sawah, pergilah Tetap Perukuren ke tempat yang
dimaksudkan. Di sana dijumpainya adiknya dalam keadaan tercekik oleh buah tuldak. Untuk mengeluarkan buah tuldak itu, Tetap Perukuren memasukkan
paruhnya ke dalam mulut adiknya dan mencotoknya sedikit demi sedikit sampai
habis. Sesudah itu, diberinya minum sehingga Ganjang Penura menjadi segar
kembali. Untuk memulihkan tenaga adiknya itu, diberikannya buah cepira untuk dimakannya. Sekarang
pulanglah mereka berdua ke sarang semula di buluh cina. setelah dua belas hari
lamanya dalam perjalanan, sampailah mereka. Sejak itu, Ganjang Penura berjanji
akan mengubah kelakuannya, sesuai dengan nasihat ayah bundanya sebelum
meninggal. Sesudah itu, hidup mereka berdua dalam keadaan aman dan damai.
Enam
bulan kemudian Ganjang Penura mulai kembali lupa akan janji semula. Pada
abangnya dinyatakannya bahwa ia ingin pergi dari tempat itu, tetapi dapat
diatasi oleh abangnya dengan mengingatkan akan petuah ibu – bapaknya dulu.
Setahun kemudian, timbul kembali kegelisahan dalam hati Ganjang Penura.
Kegelisahannya itu tambah menjadi karena kebetulan pada waktu itu hinggap
seekor ayam – ayam putih menggoda
Ganjang Penura. “Apa arti hidupmu ini jika engkau terus – menerus tinggal di
tempat ini saja. Bukankah hidup kita ini tak lama dan seharusnya waktu yang tak
lama ini kita gunakan untuk mengenal dunia yang luas ini?” “Kalau begitu, samalah
pendapat kita Bang,” jawab Ganjang Penura yang merasa cocok dengan kata ayam –
ayam putih tadi. Maka diikutinyalah ayam – ayam putih itu terbang untuk
meninggalkan tempat tersebut. Ketika sampai di tepi laut yang luas, mereka
hinggap pada pohon honing yang sedang
berbuah. Karena ayam – ayam putih itu lebih besar, maka ia dapat mencapai
puncak pohon honing itu, tetapi
Ganjang Penura yang kecil tak dapat mengikuti kawannya itu. Dia hanya hinggap
di dahan sebelah bawah saja. Malang bagi Ganjang Penura karena tak diketahuinya
buah honing itu bergetah. Maka,
sayapnya lekat pada buah honing
tersebut. Keadaan Ganjang Penura yang demikian itu tidak menimbulkan rasa
kasihan pada ayam – ayam puih, lalu ia terus terbang dan meninggalkan
sahabatnya itu.
Akan
abangnya Cingcing Tetap Perukuren telah lama gelisah memikirkan kepergian
adiknya. Usahanya untuk mencari ke sana ke mari akhirnya berhasil juga.
Dijumpainya Ganjang Penura dalam keadaan menderita akibat buah getah honing tadi. Dia merasa tak sanggup
untuk membantu adiknya dalam mengatasi penderitaan itu karena hal itu akan
membahayakan dirinya sendiri. Sebelum pergi dari tempat itu, diingatkannya lagi
adiknya akan petuah ibu – bapaknya sebelum meninggal. “Beginilah jadinya kalau
nasihat orang tua dilanggar,” katanya kepada adiknya itu. “Kulepas engkau pergi
menjumpai ibu – bapak kita di tempat peristirahatannya yang terakhir dan aku
akan kembali ke sarang peninggalan orang tua kita, sesuai dengan nasihat mereka
dulu.” Ganjang Penura yang ditinggalkan abangnya meratap dalam menyesali
untungnya yang karena hendak mengejar kesenangan dirinya sendiri, akhirnya
berjumpa dengan kesusahan.
Disadur
dari: Tabir Sitepu (et.al), Sastra Lisan Karo. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 158 –
166.