Diversifikasi Pertanian Berkaca Pada
Pertanian di Tanah Karo
Pada suatu hari saya diminta oleh teman
saya Budi untuk melakukan review dua buah jurnal mengenai Kolonialisasi Spanyol
di Filipina. Sebagai teman saya tertarik untuk membantu, tetapi yang menjadi
point of interest saya adalah bagaimana bangsa Eropa berhasil mendiversifikasi
pertanian tradisional bangsa Filipina kala itu. Kita tentu tahu bahwa ketika
bangsa Spanyol datang mereka melihat tanah Filipina sudah ada yang melakukan
aksi pertanian. Masyarakat Filipina tentu tidak asing dengan pertanian
tradisional yang mereka lakukan. Hal ini tentu juga dilihat oleh bangsa Barat
yang datang dan berusaha untuk melakukan pendekatan dan pertukaran (pada
awalnya) dan kemudian terjadi pertempuran berdarah yang panjang untuk memperebutkan
sumber daya alam. Tercatat Magellan terbunuh dalam ekspedisinya, yang diikuti
juga kegagalan ketiga ekspedisi setelahnya. Setelah Raja Philip II menugaskan San
Pedro, San Pablo, San Lucas dan San Juan dipimpin oleh Manuel Lopez
de Legazpi mereka berhasil mendirikan peristirahatan di Cebu. Pos inilah yang
kemudian di bangun oleh para pelaut Spanyol dan kemudian menjadi desa pertama
dan pos terdepan dalam memimpin armada. Pada tahun 1751 armada Spanyol
menemukan pemukiman padat penduduk di Maynila yang memiliki Pelabuhan yang muat
12 kapal untuk bersandar. Oleh karena itu dengan segera mereka memindahkan pos
mereka selanjutnya ke Manila dan dari sini lah mereka bergerak ke penjuru
negeri membawa dengan mereka visi Gold, Gospel and Glory di panji perang
mereka. Setelah mereka berhasil menancapkan kuku mereka di Spanyol, Legazpi
kemudian dilantik menjadi Gubernur Jenderal dan mulai melakukan banyak sekali
perubahan. Salah satu hal yang mencolok adalah diversifikasi pertanian.
Sumber daya alam lokal di Filipina tentu
diharapkan menjadi penunjang utama ekspor berbendera Spanyol di Timur Jauh.
Kaya akan emas, perak dan mineral alami lainnya, para penguasa sebelumnya sudah
mendirikan banyak sekali aktivitas tambang yang dikerjakan swadaya masayarakat
lokal. Hal ini tentu tidak luput dari perhatian para pelaut Spanyol. Hasil
Perkebunan lokal yang dapat dieksploitasi adalah merica, cengkeh, pala, tebu
tembakau, dan aneka kayu lokal yang melimpah. Ekspliotasi dan reformasi sumber
daya alam Filipina dilakukan ketika Basco y Vargas dilantik menjadi Gubernur
Jenderal pada 28 Juli 1778. Beliau menaruh perhatian lebih kepada konsep dan
tata Kelola ekonomi dengan harapan ini dapat menunjang perekonomian Spanyol.
Beliau menjadi konseptor dan pelopor “Rencana Pembangunan Ekonomi Semesta” yang
menitikberatkan pada perkembangan industri agrikultur. Beliau membangun kembali
hubungan dengan pihak China, membuka dermaga Manila untuk umum dan
me-liberalisasi perekonomian. Beliau juga melakukan impor petani dari Valencia,
Galicia dan Catalunya untuk mewujudkan ketahanan tani. Suksesornya Rafael Maria
d Aguliar mengatakan bahwa misi ini harapannya akan mewujudkan “Filipina
sebagai koloni paling berharga di dunia”.
Pada masa pemerintahan Gubernur Salgado
usaha pengembangan produksi kayu manis ditingkatkan pada level yang lebih baik.
Beberapa tahun setelahnya, Caracas Company yang didirikan secara joint venture,
melakukan ekspor kelapa ke Venezuela secara rutin. Tidak sampai satu abad
setelahnya, dibentuklah Real Compania de Filipinas sebagai bentuk kemandirian
pemerintah Timur Jauh yang mengeksploitasi dan mengorganisasi keuntungan bagi
negeri Filipina, bukan hanya pengisi kas di Madrid. Perusahaan ini juga menggabungkan
pengeksporan komoditi dari Amerika yang menjadi awal mendekatnya Amerika di
Filipina, tentu setelah Amerika mendapatkan privilege sebagai pengusaha bebas
pajak di Filipina. Aliansi Amerika Spanyol di Filipina, semakin memudahkan
armada laut untuk sampai di Tanjung Harapan bahkan Peru dengan lebih cepat.
Tidak lama setelah itu, Inggris merapat dan mendirikan konsulnya di Manila.
Datangnya Inggris semakin merevolusi industri di Filipina terutama ketika
Konsul Nicholas Loney memperkenalkan sistem Iron Mill kepada masyarakat Negro
dan Panay untuk mengolah tebu secara
industri dan menjualnya ke pasar Eropa.
Bagi saya pribadi konsep Iron Mill atau
Pabrikisasi ini menarik. Seperti yang dicatat oleh Cushner, Nicholas Loney
membangun 13 pabrik pengolahan tebu ke Filipina setelah mensurvey tingginya
permintaan gula di Eropa. Beliau mencatat bahwa terdapat lima factor utama
dalam suksesnya bisnis tebu di Negro dan Panay adalah karena :
1.
Meningkatnya
harga jual di Manila
2.
Penggunaan
mesin produksi
3.
Peningkatan
jumlah penanam skala besar
4. Peningkatan
nilai jual tanah (dengan didirikannya perumahan di sekitar perkebunan)
5.
Peningkatan
upah gaji para pekerja perkebunan
Kelima hal diatas kemudian menyebabkan
ekspansi bisnis yang luar biasa menjadikan Negros sebagai produsen tebu nomor
satu di Filipina dengan total ekspor 2.242.231 pon. Perkebunan di Luzon dan
Pangasinan juga mulai berkembang pesat dan pada tahun 1877 mereka mengantongi
ijin untuk mendirikan Yengari Manila Sugar Company yang dipimpin saudagar
Inggris bernama R. Tooth. Dengan dibangunnya dua pabrik pengolahan tebu di
Manila, Perusahaan ini ditargetkan mampu berproduksi sejumlah 8.000 ton per
tahun. Berkembangnya sistem dan proses produksi tebu – gula ini lah yang
kemudian menggelitik saya.
Saya bukan seorang petani, bukan juga
seorang analis pertanian ataupun memiliki background sebagai ahli tani. Akan
tetapi melihat situasi dan kondisi pertanian Tanah Karo sekarang ini, saya
menjadi bingung selayaknya orang bodoh. Saya melihat bagaimana keringat dan
jerih payah yang dikeluarkan oleh petani kita di Karo sana, terutama para
petani jeruk itu tidak sepadan denga napa yang ia dapatkan di pasar. Perkembangan
hasil pertanian kita dari dulu cenderung pengalami penurunan. Saya melihat
bagaimana para petani Karo harus bertahan hidup meski dengan margin keuntungan
yang tipis, bahkan merugi. Setelah membaca upaya Nicholas Lonay di Negros saya
tersadar, mungkinkah selama ini petani kita kurang revolusioner? Sejak dulu
kita mengenal perkebunan jeruk dan sayur – mayur di Dataran Tinggi Karo, tetapi
adakah pabrik pengolahan dan pengemasannya? Adakah diversifikasi Teknik penanaman
dan distribusi bibit unggul yang merata? Seperti apakah kiat penanggulangan tanam
ijon yang popular di masyarakat? Sudahkah ada HET pemasaran jeruk ketika musim
panen? Banyak sekali pertanyaan yang menggelitik saya, karena sudah sekian lama
dan ahli pertanian yang diciptakan pun harusnya sudah banyak, tetapi tidakkah miris Tanah Karo yang
disebut sentra produksi sayur – mayur dan buah – buahan malah tidak memiliki
Akademi Pertanian atau Sekolah Tinggi Ilmu Agrikultur? Tanya kenapa?! Mejuah
juah.
Special Thanks :
Budi HS untuk kesempatannya berdiskusi mengenai
Cushner
Nicholas P. Cushner. Spain in the
Phillipines. Ateno de Manila.Manila
John Leddy Phelan. The Hispanization of
the Phillipines. The University of Wisconsin Press. 1959. USA