Powered By Blogger

Selasa, 23 Juli 2013

Masri Singarimbun: GBKP dan Masyarakat Karo dalam Menyongsong Abad 21

Pada Kesempatan ini, ijinkanlah penulis untuk menyajikan ulang sebuah tulisan karya Prof. Masri Singarimbun yang berjudul "GBKP dan Masyarakat Karo Dalam Menyongsong Abad 21." Tulisan tersebut merupakan buah pikiran yang beliau sampaikan pada perayaan Jubelium 25 tahun GBKP Bandung Pusat dan 100 tahun GBKP di Bandung. Tulisan yang beliau kaitkan antara budaya Karo dan GBKP sebagai lembaga terbesar Kalak Karo saat ini, penulis rasa cukup kontekstual apabila dicross-check kan dengan keadaan saat ini, selain juga sebagai hadiah 72 tahun GBKP Njayo, 23 Juli 1941 - 23 Juli 2013.
Selamat Menikmati:)

GBKP DAN MASYARAKAT KARO DALAM MENYONGSONG ABAD KE XXI*
(Makalah untuk Panel Diskusi yang diselenggarakan dalam rangka Jubelium 25 Tahun GBKP Bandung dan Pasca Jubelium 100 Tahun GBKP, 20 Oktober 1990.)
DR. Masri Singarimbun

Gambaran Umum
Pada bulan April tahun ini telah dilangsungkan dengan meriah Jubelium 100 Tahun Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Sukamakmur, Deli Serdang, Sumatera Utara. Suatu usia yang relatip tinggi, mengingat berbagai perubahan dahsyat telah terjadi selama kurun waktu tersebut, yakni selama empat generasi menurut perhitungan secara demografi. Keadaan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, termasuk sistem kepercayaan – malah hamper segala aspek kehidupan – telah mengalami transformasi yang luar biasa.

Di dalam buku yang dihimpun Team Penelitian GBKP et al, Benih Yang Tumbuh, Suatu Survey Mengenai Gereja Batak Karo Protestan (1976), secara historis diadakan periodesasi perkembangan GBKP sebagai berikut:

1 Tahun – tahun permulaan: 1890 – 1906
2 Masa penanaman dan penggarapan: 1906 – 1940
3 GBKP berdiri sendiri dalam masa penderitaan dan kekacauan: 1941 – 1949
4 Masa pembangunan kembali GBKP: 1950 – 1960
5 Masa pertumbuhan pesat: 1961 – 1968
6 Masa tantangan membangun kedalam dan keluar: 1969 –

Pertumbuhan kwantitatip anggota jemaat GBKP termasuk lambat pada zaman penjajahan. Anggota baptisan berkisar sekitar 5.000 orang pada tahun 1940 dan 1950, menjadi 23.000 pada tahun 1960, 73.300 orang pada tahun 1968 dan 94.805 orang pada tahun 1971. (Team Penelitian GBKP et al, 1976:67).
Di dalam Buku Pintar Kabupaten Daerah Tingkat II Karo (1985), yang diterbitkan oleh Bappeda Tingkat II Karo, tercantum proporsi penduduk berdasarkan agama sebagai berikut.

a Kristen Protestan 45, 16 %.
b Katholik 13, 87%.
c Islam 24,37%.
d Hindu 2,3%.
e Budha 0,02%.
f Yang belum beragama 14, 22%.

Mengingat perpencaran sukubangsa Karo di berbagai Kabupaten dan Propinsi lainnya maka angka – angka diatas hanya dapat dipakai untuk memberikan gamabaran umum.

Secara historis, pada mulanya pekabaran Injil ke Tanah Karo berkaitan rapat dengan perkembangan perkebunan di Sumatera Timur. “Banyak penduduk setempat kehilangan tanah karena Sultan memberikan tanah dengan tak semena – mena (untuk 99 tahun dan kemudian konsesi 75 tahun) kepada perkebunan tanpa menghiraukan kepentingan rakyat. Kegetiran mereka melahirkan Perang Sunggal (1872 – 1895) – saat orang Melayu dan Karo bahu – membahu menentang Belanda, antara lain dengan membakari bangsal – bangsal tembakau.” (Singarimbun, 1990). Di dalam konteks ini fihak perkebunan turut mengongkosi pekabaran Injil ke Tanah Karo.
Namun, seperti tercermin dalam angka – angka perkembangan jemaat diatas, GBKP baru berkembang dengan pesat setelah berdiri sendiri (1941) dibandingkan dengan masa sebelumnya sewaktu “gereja dipimpin, dikuasai dan dibelanjai oleh pihak Belanda, melalui semacam kerjasama antar pihak Perkebunan, Zending NHK dan Pemerintah Kolonial” (Team Penelitian GBKP et al, 1976: 69).

Perkembangan GBKP yang pesat, terutama setelah zaman kemerdekaan, di dalam buku tersebut dikaitkan dengan lima faktor.

a Faktor urbanisasi.
b Faktor meningkatnya taraf pendidikan.
c Faktor sikap pemerintah terhadap Gereja / Agama.
d Faktor pemikiran baru dalam gereja Karo.
e Faktor perobahan pandangan masyarakat terhadap kehidupan berpolitik.

Dapat ditambahkan bahwa perkembangan yang dapat dikatakan lamban pada tahap permulaan, tidak berarti mengurangi penghargaan pada upaya – upaya para pioneer pada zaman itu. Upaya Joustra, Neuman dll. untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Karo, menyusun kamus, menghimpun ceritera – ceritera rakyat, bilang – bilang dll. menjadi tauladan yang penting dari kesungguhan yang mendalam. (Lihat H.G. Tarigan, 1986)

Perlu pula ditekankan disini bahwa aktivitas GBKP mencakup bidang yang luas (Team Penelitian GBKP et al, 1976: xi), yakni:

A Pertumbuhan dan pekabaran Injil GBKP.
B Usaha – usaha dalam bidang pelayanan GBKP.
1 Pendidikan
2 Kesehatan – Medis
3 Diakonia dan Panti Asuhan Yatim – piatu
4 Pelayanan terhadap wanita – MORIA
5 Pelayanan terhadap pemuda – PERMATA
6 Pendidikan Agama Kristen
7 Pembangunan ekonomi.
C Hubungan dan kerjasama Oikumenis GBKP.

Menyongsong Masa Depan
Mengingat aktivitas GBKP mencakup bidang yang luas dan tantangan masa depan bagi GBKP dan masyarakat Karo sangat beragam, maka pada kesempatan ini saya hanya memilih beberapa segi saja dari aspek – aspek yang begitu luas, terutama aspek – aspek sosial dan kebudayaan.

Nama yang telah dipilih dan dipertahankan untuk Gereja ini – Gereja Batak Karo Protestan – menunjukkan bahwa identitasnya dengan Karo adalah sangat kuat dan akan tetap kuat dimasa – masa mendatang. Menarik perhatian bahwa dari sudut kebahasaan, dan dari segi hokum DM, Batak Karo mendahului istilah Protestan pada nama ini. DAlam hal ini, bukan Protestan yang mendahului Karo atau Batak Karo. Jadi tidak dinamakan Gereja Protestan Karo, seperti halnya Gereja Kristen Protestan Simalungun atau Gereja Protestan Maluku.

Mengingat nama yang diberikan kepadanya, GBKP, maka tentunya, disamping fungsi keagamaan yang pokok maka dia mengemban tugas kemasyarakatan dan kebudayaan yang penting bagi masyarakat Karo. Ini diperkuat pula oleh proporsinya yang besar dari sudut demografis, yang mempunyai penganut terbesar di tengah – tengah masyarakat Karo.

Di dalam buku Benih Yang Tumbuh yang disebut diatas terdapat pembahasan mengenai hubungan GBKP dengan adat istiadat Karo. Berbagai kebiasaan dan kepercayaam tradisional dianggap menimbulkan ketegangan, yakni hal – hal berikut:

a Gendang kematian diadakan atau tidak dalam pesta dan upacara?
b Mencuci muka diatas kubur oleh keluarga dekat orang yang meninggal.
c Mengantar bunga dan makanan ke kuburan?
d Memindahkan tulang atau menguburkan kembali rangka – rangka dengan mempersatukan yang Kristen dan yang bukan Kristen.
e Memanggil hujan?
f Kawin semarga?
g Kawin lari?
h Mengusir roh jahat (muncang) dari kampung?

Berbagai persoalan diatas tidak akan dibahas pada kesempatan ini tetapi yang jelas GBKP sudah biasa menggunakan pakaian adat Karo dan juga menggunakan gendang Karo, yang merupakan tabu pada tahap permulaan. Nampaknya unsur – unsur Perbegu dan bukan Perbegu di dalam kesenian dan kebudayaan Karo sudah dapat dilihat secara lebih obyektip.

Dibalik itu, sebenarnya suatu hal yang cukup kritikal adalah penggunaan bahasa Karo. Orang Karo dan warga GBKP mempunyai mobilitas yang tinggi, dalam jumlah yang relative besar sudah pindah ke luar Tanah Karo, dan salah satu buktinya adalah perkembangan gereja GBKP yang kita peringati di Bandung pada kesempatan ini.

Sukubangsa Karo adalah salah satu sukubangsa yang relative kecil. Salah satu identitas yang penting dari suku ini adalah pemakaian bahasa Karo, dari segi kuantitas dan kualitasnya. Kesan saya, jangankan orang Karo yang berdiam diluar Sumatera, orang Karo terpelajar di Medan sudah cukup banyak yang tidak berbicara dalam bahasa Karo di rumah dengan anaknya.

Jadi terdapat suatu erosi pemakaian bahasa Karo oleh orang Karo sendiri, dan hal ini sangat perlu diperhatikan sebelum terlambat. Kalau proses ini berjalan terus maka akan terdapat masalah pemberian khotbah dalam bahasa Karo. Atau kelak berangsur – angsur khotbah dalam GBKP terpaksa diganti dengan bahasa Indonesia. Dan berangsur – angsur pula anggota jemaatnya tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Karo satu dengan yang lainnya. Dengan demikian identitas Karo mengalami erosi.

Saya tidak tahu bagaimana mutu bahasa Karo didalam khotbah – khotbah pada umumnya, dan tentunya variasinya juga besar. Betapa pun fungsi gereja untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa Karo adalah penting sekali.
Dapat saya tambahkan bahwa saya sendiri pribadi dapat menikmati nilai sastra yang tinggi dari Padan si Ndekah (1953), yang diterjemahkan oleh pendeta J. H. Neumann. Berikut ini saya petik dari Masmur (hal. 449).

Masmur 1.
Dua dalinna.
Sangapna me kalak si erdalin arah pertakin kalak si des ate,
janah ibas dalin kalak perdosa la ia tedis,
ibas ingan kalak penguru – nguru pe la ia kundul.
Tapi man undang – undang Yahwe erngena ate ia,
Bagi batang kayu me ia, isuan itepi lau anak,
payo tupung paksana erbuah me ia,
bulungna la ermelus – melus;
kasakai si nijemakna jadi me.
Labo bage me kalak si des ate,
tapi bagi segal nge ia, si niembusken angin.
Sabap e me kalak si des ate la ngasup tahan ibas kerapaten,
kalak perdosa pe lang ibas perpulungen kalak si benar.
Sabab dalin kalak si benar iteh Yahwe me,
tapi dalin kalak si des ate laws ku kebenen.

Disamping itu tentunya adalah tugas kita semuanya untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian Karo, dan mengembangkannya sebagai salah satu unsur penting dari Bhinneka Tunggal Ika. Berbagai aktivitas di berbagai tempat patut dihargai –seprti yang telah beberapa kali diadakan di Jakarta dan tempat lainnya—tetapi secara umum aktivitas tersebut masih perlu ditingkatkan.

Pada salah satu kesempatan di Brastagi tahun ini, di dalam acara hiburan dari sebuah seminar nasional, saya terkejut bahwa walau pun cukup banyak orang Karo yang hadir dan menjadi penyanyinya, mayoritas dari lagu – lagu yang dinyanyikan bukan lagu Karo. Sangat mengecewakan bahwa itu terjadi di Brastagi. Ketika ada peserta seminar meminta dinyanyikan lagu Erkata Bedil, penyanyi Karo yang ada tidak mengetahui kata – katanya.

Oleh karena itu saya ingin menyarankan agar tiap orang Karo harus dapat menyanyikan beberapa lagu Karo, ump. Tanah Karo Si Malem, Piso Surit, Erkata Bedil, dll., dan berani tampil kemuka, dalam kesempatan apa saja untuk menyanyikannnya. Ini bukan sekedar show, tetapi sangat perlu untuk menampilkan identitas dan melestarikan identitas tersebut. Menurut hemat saya, GBKP dan sekolah – sekolah di Tanah Karo perlu sekali memperhatikan ini. Dan kita memerlukan tampilnya penyanyi – penyanyi Karo yang mampu menampilkan lagu – lagu Karo, dan tentunya lagu – lagu Indonesia, pada tingkat nasional dan internasional.

Suatu suku bangsa, untuk pengembangan dan kelestariannya – dan dalam konteks Indonesia untuk meningkatkan sumbangannya untuk memperkaya kebudayaan Nasional – memerlukan sesuatu yang dicintainya, dibanggakannya dam yang terus dikembangkannya. Kesenian, dalam hal ini, seharusnya memegang peran penting, apakah itu seni suara, seni ukir, dll. Siapakah orang Karo yang tidak bangga ump. ketika gambar rumah berarsitektur Karo muncul menghias buku – buku telpon ibukota atau bangunan tersebut khusus didirikan di Jepang dalam rangka expo?

Di dalam hubungan ini, cukup menggembirakan bahwa di dalam buku Jubelium 100 tahun GBKP yang telah diterbitkan, disana sini diselipkan juga ragam hias Karo, yakni Tupak Salah Silima – lima, Tapak Raja Sulaiman, Tulak Paku, Lukisan Umang, Desa Siwaluh dan Tupak Salah Sipitu – pitu. Identitas Karo cukup ditampilkan pada acara jubelium tersebut: ada tari massal, peragaan busana dan pesta pencanangan Jubelium dimeriahkan oleh gendang Karo dan para pendeta turut menari.

Mobilitas geografis orang Karo sangat melonjak sesudah kemerdekaan dan ini berkaitan dengan kemajuan pendidikan, kemajuan sarana transportasi dan aspirasi untuk maju. Pada zaman nenek kita dataran rendah atau “jahe – jahe” sudah termasuk jauh. Pembawa cerita dari tempat – tempat yang jauh adalah pemikkul garam atau “perlanja sira” dan pulau Jawa seolah – olah berada di benua lain.

Sekarang situasi sudah berubah, orang boleh naik bus dari Medan ke Banda Aceh, Jakarta atau Denpasar atau naik kapal terbang kemana saja, di dalam dan luar negeri, Di dalam proses ini fungsi GBKP sebagai pemersatu dan sebagai lembaga yang menonjolkan identitas Karo adalah sangat penting dan sekali gus berfungsi untuk membentuk jaringan pada tingkat nasional dan internasional. Jaringan – jaringan tersebut di luar Karo jelas tidak dikenal sebelummnya sehingga kini cakrawala kita menjadi bertambah luas. Dalam hubungan ini saya tidak dalam posisi untuk menyarankan perbaikan – perbaikan apa yang dapat dan perlu dilakukan.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa dalam kehidupan orang Karo dewasa ini terdapat empat kelompok nilai, yakni yang bersumber pada kebudayaan tradisional atau budaya etnik, yang bersumber pada salah satu agama besar, yang bersumber  pada kebudayaan nasional dan yang bersumber pada kebudayaan asing (Bachtiar, 1985; Bangun 1986:4).

Tantangan – tantangan masa depan yang menghadang, antara lain adalah individualism, kontrol sosial yang longgar, ikatan kekeluargaan yang melonggar, tingkat perceraian yang meningkat, sekularisme, hedonism, materialism, tingkat kriminalitas yang meningkat, dll. Ini bukan masalah GBKP atau masyarakat Karo saja tetapi merupakan masalah global tetapi tidak ada salahnya jika kita soroti sebagai masalah yang akan kita hadapi, dalam rangka meningkatkan kewaspadaan kita.

Para futurolog seperti Herman Kahn, Alvin Toffler dan John Naisbitt telah membeberkan berbagai pandangan mereka mengenai berbagai aspek kehidupan di masa depan. Di dalam bukunya Kejutan Masa Depan, Toffler membahas tentang aspek – aspek kesementaraan, kebaruan keanekaragaman yang dihadapi manusia dan batas kemampuan adaptasi. Di dalam sebuah sub – bab dibahas mengenai keluarga yang pecah – belah. Katanya: “Keluarga mungkin tidak lenyap, juga tidak memiliki Zaman Keemasan. Mungkin – dan ini jauh lebih masuk akal – keluarga akan berantakan, pecah, dan terbentuk kembali dengan berbagai cara yang baru dan aneh”. (hal 216). Keluarga besar akan beralih menjadi keluarga yang lampai, yang lebih mobil, bertambah pasangan yang memutuskan tidak mempunyai keturunan seumur hidup, lalu ada komune dan bapak yang homoseksual.

Pendapat para futurolog tersebut menarik untuk didalami tetapi dalam konteks pembicaraan kita tentang GBKP dan Karo, perlu diingat bahwa berbagai pemikiran tersebut berlandaskan konteks sosial ekonomi, pandangan hidup dan gaya hidup Barat. Memang tidak salahnya berbagai pendapat dan ramalan tersebut dimanfaatkan sebagai cermin untuk kita.

Mengenai hubungan seks remaja dan kehamilan remaja yang menggejala pada masyarakat Barat dan meningkatnya tingkat perceraian memang merupakan masalah yang serius. Jadi masyarakat Kristen disana, yang merupakan sesepuh kita telah mengalami kegoncangan yang serius dalam perilaku seks dan keutuhan perkawinan, kita perlu waspada terhadap persoalan ini. KItanya di dalam konteks Indonesia sendiri, selama ini tingkat perceraian pada masyarakat Karo jauh lebih rendah daripada Sunda dan Jawa umpamanya.
Apakah akan terjadi perubahan – perubahan yang drastic dalam larangan – larangan perkawinan, tidak mudah untuk diramalkan sekarang. Tergantung sejauh mana kita mau mempertahankan Merga Silima, yang berkonotasi lima merga yang eksogam. Saya mendengar khabar di Medan bahwa di daerah tertentu sudah terjadi perkawinan – perkawinan semerga tanpa mendapat sanksi apa – apa. Apakah kelak kita akan bealih menjadi pola perkawinan eksogami cabang merga, yakni sesama perangin – angin, umpamanya, dapat kawin – mawin sejauh tidak dari satu cabang merga? Ump. Perangin – angin Keliat dapat kawin dengan Perangin – angin Bangun, asal tidak sesama Keliat atau sesama Bangun.

Penutup
Dari apa yang diuraikan diatas, kiranya didalam menyongsong abad ke XXI, baik bagi GBKP mau pun masyarakat Karo pada umumnya, salah satu yang perlu diperhatikan adalah mempertahankan identitas, bukan dengan maksud mengisolasi diri tetapi dalam rangka mendapat tempat dalam Bhinneka Tunggal Ika dan turut menyumbang dala pembinaan kebudayaan nasional.

Pelan – pelan GBKP sudah lebih terbuka terhadap partisipasinya dalam kesenian dan kebudayaan Karo dan diharapkan bahwa partisipasi aktif tersebut terus menerus ditingkatkan dan diperluas. Ditinjau dari sudut pengalaman, besarnya jemaat dan luasnya jaringan, GBKP mempunyai potensi yang sangat besar untuk memberikan sumbangsih ke arah itu. Dengan demikian, disamping hal – hal yang menyangkut keimanan, GBKP akan terus merupakan dinamisator dalam memajukan masyarakat dan kebudayaan Karo pada umumnya.

Masalah – masalah keimanan, filsafat hidup dan masalah – msalah sosial yang dialami oleh masyarakat Barat dewasa ini, berbagai pendapat parra futurology dan tren kita alami sendiri perlu dimanfaatkan untuk menjadi cermin dan pedoman, baik bagi GBKP maupun masyarakat Karo pada umumnya dalam menyongsong Abad ke – XXI.

Selasa, 09 Juli 2013

Pa Pelita, Dikenal atau Dikenang

Pa Pelita, Dikenal atau Dikenang
Kesibayakan Kabanjahe dikenal dengan dua nama yaitu tokoh Pa Mbelgah dan gelar kebangsawanan Sibayak Kabanjahe. Pada era kolonial, titel Sibayak Kabanjahe merupakan sebuah prestise tersendiri di kalangan orang Karo terutama di Tanah Karo, karena Kesibayakan Kabanjahe merupakan sebuah daerah otonom yang diakui sebagai sebuah kerajaan besar di Tanah Karo, selain Raja Berempat (Sibayak Sarinembah, Barusjahe, Lingga serta Sibayak Kutabuluh, yang terakhir dimasukkan sebagai kesibayakan besar yang anti – Belanda). Akan tetapi pengaruh Sibayak Kabanjahe menjadi sangat dominan dibanding kesibayakan yang lain, karena selain menjadi basis Belanda di Tanah Karo, jua menjadi akar bagi berkembangnya kekristenan di kalangan orang Karo. Akan tetapi orang lupa salah satu tokoh yang turut membesarkan nama Kabanjahe, sehingga mampu menjadi Ibukota bagi Kabupaten Karo sekarang dan memperkuat basis Kristen Karo di Bumi Turang, yaitu Pa Pelita.

Pa Mbelgah dan Pa Pelita adalah senina sembuyak bapa, jadi bapa mereka lah yang bersembuyak. Pa Mbelgah berasal dari kesain Rumah Nderpih sedangkan Pa Pelita berasal dari kesain Rumah Selat. Keduanya tumbuh dan berkembang di lingkungan aristokrat tradisional Karo dan hidup mengenal teritori wilayah kampung – kampung Karo di sekitaran Kabanjahe, menginduk hingga ke kampung Kaban. Meski keduanya akrab, ada rasa mehangke yang membuat Pa Pelita segan dengan saudara nun sahabatnya itu sehingga prestasinya tidak mencolok. Sebaliknya, Pa Mbelgah merupakan representasi dari seorang pemuda Karo yang gagah, berani dan kharismatik. Ada sebuah kejadian menarik yang pernah secara tidak sengaja terjadi, bahwa dalam sebuah acara hari jadi kampung Kabanjahe, diadakan lomba menembak antar pemuda Karo menggunakan  senapan marsose. Setelah digilir antar kontestan, terakhir diberilah penghormatan bagi kedua Sibayak muda agar membuktikan keahlian menembak mereka. Pertama mencoba adalah Pa Mbelgah, yang dengan jitu menembakkan marsose tersebut tepat di tengah sasaran. Ketika didaulat untuk juga menembak, Pa Pelita menunjukkan kehangkeannya dengan menolak secara halus, tetapi tetap dipaksa Pa Mbelgah untuk menembak sehingga tiada kuasa beliau pun menembak senapan tersebut tepat di lubang yang sama dengan Pa Mblegah. Tepat di tengah target. Hal ini tentu menunjukkan adanya keengganan untuk bersaing meski kemampuan keduanya apabila diadu masih berada dalam level yang sama.

Pada akhirnya, dengan penuh perhitungan, juga untuk menghindari adanya perpecahan diantara klan Purba maka diangkatlah keduanya menjadi raja di Kabanjahe, dengan gelar prestisius Sibayak. Akan tetapi justru pasca pelantikan, keduanya mulai saling menunjukkan adu kemampuan, meski dalam batas kewajaran. Puncak dari “perang dingin” keduanya adalah soal kebijakan menerima kristenisasi dari Belanda yang dibawa Pendeta Guillame turun dari Buluh Hawar, sentra zending Karo pertama. Pa Mbelgah yang anti asing tentu menolak dengan keras, sedangkan Pa  Pelita mencoba untuk membujuk saudaranya tersebut agar setidaknya kooperatif dengan missi zending, toh mereka tidak datang dengan kekerasan. Mungkin karena pada saat itu Pa Mbelgah merasa bahwa orang – orang kulit putih akan mengusik eksistensinya di Karo, maka Pa Mbelgah tetap berkeras untuk menolak zending, yang akhirnya ditunjukkan dengan sikap menantang. Tidak suka dengan kebijakan saudaranya yang terlalu keras, Pa Pelita secara mengejutkan membalas sikap Pa Mbelgah dengan menjawab tantangan bahwa beliau akan melindungi missi zending.
Terkejut dan kelabakan akan sikap yang tidak terduga, Pa Mbelgah memutuskan keluar dari Kabanjahe dan bertamu ke sarang Garamata, di Batukarang. Beliau diterima baik oleh Garamata yang kemudian mengajak untuk sama – sama memerangi gelombang perkebunan Belanda yang mulai menyasar di tanah – tanah pedesaan di Karo Dusun. Genderang perang pun dimulai, dengan tujuan awal mengusir zending Belanda dari Tanah Karo. Tidak mau kalah langkah, Pa Pelita berkonsultasi dengan para zending dan mendapat rekomendasi untuk menjumpai pos Belanda di Siak serta Padang Panjang yang baru saja menumpas perang Paderi. Keinginan Pa Pelita untuk mendatangkan bala bantuan Belanda disanggupi Pemerintah Kolonial dengan menghadirkan beberapa battalion pasukan yang bertugas mengawal Sibayak Lau Cih. Dari Lau Cih bergerak menuju Kabanjahe, pasukan Belanda dan Pa Pelita dihadang oleh Nabung Surbakti, panglima perang Garamata. Kekalahan pun membuat pasukan ini kocar – kacir dan memilih untuk memutar jalan hingga tiba di Kabanjahe. Setibanya di Kabanjahe, konsolidasi pun dilakukan dan dihimpun prajurit Karo hingga berjumlah beberapa ribu orang. Pasukan Karo ini kemudian langsung bergerak menuju Batukarang untuk membalas perbuatan Nabung Surbakti namun lagi – lagi ditengah perjalanan mereka diserang dan mundur kembali ke Kabanjahe. Setibanya pasukan Belanda, dibagikan senapan yang baru serta amunisi berikut strategi berperang yang baru. Pergerakan pasukan yang lebih fokus menjaga perimeter daripada menyebar apabila diserang menjadi lebih tahan serangan mendadak, meski membuat pergerakan mereka terhambat apabila bertempur di wilayah rimba raya. Dengan ciamik, mereka kemudian membalas satu per satu serangan dadakan yang dilakukakan oleh pemberontak dan membakari kampung – kampung yang menolak kristenisasi, menuju Batukarang, sarang sang Mata Merah, Kiras Bangun. Tak lama waktu yang dibutuhkan untuk mengepung Batukarang, dalam 10 hari saja mereka sudah mampu membuat Garamata dan Pa Pelita keluar dari Kampung Batukarang menuju Kutabuluh untuk meminta bantuan Pa Tolong, Batiren Perangin – angin, sang Sibayak Kutabuluh. Meski demikian, tetap saja sejarah mencatat kemenangan berada di tangan pemilik teknologi perang paling muktahir, hingga tertangkapnya lewat intrik Belanda yang sebetulnya ditolak oleh Pa Pelita pada 1904. Garamata dipancing untuk bertemu dalam sebuah pengepungan benteng dan dijanjikan untuk bertemu dengan Pa Pelita agar persoalan pemberontakan ini diselesaikan dengan musyawarah saja, layaknya para pemuka adat Karo. Akan tetapi justru keluarnya Garamata menjadi penangkapan beliau hingga dibuang ke Cianjur Jawa Barat, sedangkan Pa Mbelgah dipulangkan ke Kabanjahe dan hidup terasing di tengah keluarganya sendiri. Seiring tertangkapnya tokoh – tokoh Karo pemerontak, melancarkan Kristenisasi di Tanah Karo dan menyempitkan pergerakan komunitas – komunitas Pemena hingga meredup. Atas jasa – jasa beliau Pa Pelita diangkat menjadi Sibayak Kabanjahe yang diakui kedaulatannya meliputi semua wilayah kesain keluarga Purba dan didirikan untuk pertama kalinya Christianse Kerk tepat di tempat kini yang kini berdiri GBKP Kabanjahe Kota. Bangunan yang sama kemudian ditahbiskan sebagai GBKP pertama berdiri paska sinode pertama pula tahun 1943. Untuk menenangkan amarah orang Batukarang, terutama marga Bangun Bartukarang yang merasa tindakan Pa Pelita menunjukkan jiwa yang tidak besar, contoh yang kurang baik bagi seorang bertitel Sibayak diadakan sebuah musawarah besar. Oleh karenanya diputuskan pemerintahan Belanda agar polemik ini diselesaikan dengan pernikahan seorang Beru Bangun Batukarang dengan marga Purba dari Rumah Selat Kabanjahe. Aksi ini disetujui oleh kedua belah pihak, yang membuat marga Bangun kini menjadi kalimbubu tua marga Purba Rumah Selat, sebuah posisi prestise bagi orang Karo, hingga kini.

(Bersambung… )