Powered By Blogger

Jumat, 07 Desember 2012

Legenda Karo: Patung Pulu Balang (Kutambaru)


Legenda Karo: Patung Pulu Balang (Kutambaru)

Menurut yang empunya ceritera, adalah beberapa bersaudara yang sedang mengembara mencari tempat untuk perkampungan mereka. Asalnya dari kampung Pengambaten di kecamatan Munthe Kabupaten Karo. Marga mereka ialah Ginting. Setelah beberapa lama berjalan sampailah Ginting bersaudara tadi ke sebuah tempat yang menurut mereka sangat cocok untuk dijadikan kampung. Kebetulan disana  mereka bertemu dengan marga Kacaribu yang bertempat tinggal tak jauh dari tempat tersebut. Kepada Kacaribu, Ginting mergana tadi menyatakan keinginannya mendirikan perkampungan. Kacaribu setuju dengan syarat, kampung yang akan dibangun itu jangan terlalu dekat dengan kampungnya.

Oleh Kacaribu kemudian ditunjukan sebuah tempat yang terletak diatas bukit dekat hutan untuk dibangun menjadi perkampungan oleh marga Ginting tersebut. Maka mulailah mereka bekerja menebangi hutan dan membersihkan tempat itu. Sesudah itu didirikanlah rumah tempat tinggal mereka tinggal. Lama kelamaan bertambah ramailah tempat itu sehingga menjadi sebuah kampung yang kemudian dinamakan Kampung Kutambaru.

Untuk kehidupan sehari – hari keluarga Ginting tadi membuka tanah perladangan dan memelihara ternak kerbau. Hasil perladangannya cukup untuk mereka makan dan ternak yang mereka pelihara berkembang biak. Akibatnya tenanglah perasaan keluarga Ginting mendiami kampung tersebut.

Tetapi ketenangan hidup mereka kemudian mendapat gangguan dari pencuri yang sering datang pada malam hari untuk mencuri ternak mereka. Walaupun ternak itu dikandangkan dalam tempat yang mereka rasa aman, bahkan di pintu – pintu masuk yang mereka pasang perangkap, namun pencuri tetap merajalela. Demikianlah pada suatu kali perangkap mereka berhasil dan pencuri yang memasuki kandang terperosok ke dalam lobang sehingga mati seketika. Keesokan harinya seorang anggota keluarga Ginting datang ke kandang itu untuk mengeluarkan ternaknya, tetapi walau bagaimanapun diusahakannya, kerbau itu tidak mau keluar. Heranlah dia mengapa kerbau itu tidak mau dibawa keluar, padahal biasanya hal itu dengan mudah dapat dilakukan. Setelah diperiksanya kandang itu, didapati bahwa dalam lobang perangkap tersebut terdapat orang yang sudah menjadi mayat. Kemudian mayat itu dikuburkannya dekat kandang kerbau.

Beberapa lama sesudah itu, keluarga Ginting mengalami kejadian yang ganjil. Pada waktu tertentu mereka mendengar suara orang bercakap – cakap dan seperti suara orang bersiul dari arah kuburan pencuri tadi. Betapapun diusahakannya namun tidak dapat ditangkapnya apa maksud dan arti cakap dan siulan yang mereka dengar. Karena itu disimpulkannya bahwa yang dikuburkan itu bukanlah orang sembarangan. Untuk itu mereka ingin melakukan pemujaan terhadap kuburan tersebut. Dengan pemujaan tersebut, diharapkan akan datang perlindungan dari arwah dalam kuburan. Diatas kuburan dibuatlah sebuah patung manusia yang kemudian dinamakan Pulu Balang. Untuk lebih menimbulkan suasana kramat, disekeliling patung mereka tanami lima macam tumbuhan, (dalam bahasa Karo disebut Sangke Sempilet). Berkat patung yang mereka perbuat selamatlah marga Ginting dari gangguan pencuri dan musuh – musuh lainnya.

Tetapi keadaan tentram itu tidak lama berlangsung. Kembali beraksinya para pencuri menjadikan para penduduk desa resah. Penduduk menimpakan kesalahan pada patung Pulu Balang yang mereka anggap sudah tidak mampu lagi melindungi kampung dari  gangguan – gangguan pencuri. Oleh karena itu, beramai – ramailah mereka mendatangi patung tersebut dan memukulinya dengan kayu untuk melepaskan rasa marah. Akibat pukulan –pukulan tersebut rusaklah hidung Pulu Balang. Tak lama sesudah mereka merusakkkan patung tadi, turunlah hujan lebat sehingga air meluap – luap dan banjir melanda kampung Kutambaru.

Akan tetapi bencana alam itu rupanya membawa keuntungan pula kepada penduduk. Kebanyakan ternak mereka yang dibawa oleh pencuri beberapa hari sebelumnya, belum sempat diseberangkan. Pencuri – pencuri itu melarikan diri ke tempat yang aman sedangkan kerbau curiannya dibiarkan berkeliaran di tepi sungai. Sesudah banjir surut barulah penduduk keluar mengumpulkan harta – harta yang masih bisa diselamatkan. Dengan tidak mereka sangka – sangka terlihatlah ternak – ternak mereka berkumpul ditepi sungai. Ternak – ternak tersebut kemudian berhasil dipulangkan kembali ke kampung dengan selamat.

Sejak saat itu sadarlah mereka akan kesalahan yang telah mereka perbuat terhadap patung Pulu Balang, yang akibat salah sangka mereka merusak patung itu. Secara khilaf mereka kembali menghormati dan memujanya seperti semula. Sampai sekarang patung tersebut masih disembah tidak saja oleh Ginting mergana, bahkan juga oleh masyarakat Kutambaru pada umumnya.

Disadur dari:
Panitia Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Cerita Rakyat Sumatera Utara. (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 75 – 77.