Powered By Blogger

Rabu, 10 Agustus 2016

POLEMIK PERJALANAN RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE



POLEMIK PERJALANAN RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE

PENGANTAR

Beberapa waktu belakangan ini jemaat GBKP digembar – gemborkan sebuah isu konflik kepentingan antara Pemerintah Kabupaten Karo dengan Yayasan Kesehatan GBKP milik tim Moderamen Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) mengenai status kepemilikan RSU Kabanjahe. Rumah sakit utama rujukan warga Karo secara umum tersebut merupakan sebuah lembaga kesehatan yang dahulu dibangun oleh lembaga Nederlansche Zendeelingen Genootshap (NZG) yang oleh pemerintah Kolonial Belanda ditugaskan untuk melakukan penyebaran injil kepada masyarakat Sumatera Timur pada tahun 1890. Setelah kemerdekaan, status kepemilikan rumah sakit yang dahulu bernama Rumah Sakit Bataaks Instituut tersebut, diserahkan kepada tim Moderamen GBKP pada tahun 1948. Dikarenakan gejolak perjuangan yang membara, dan tiadanya fasilitas kesehatan selama zaman perang, pemerintah Indonesia yang diwakilkan oleh Pemerintah Daerah Tinggi II Karo meminjam fasilitas kesehatan tersebut dan mengembangkannya dalam wujud fasilitas kesehatan terpadu, atau rumah sakit umum. Konflik yang tiada akhir ini memanas seiring dengan hasil kesepakatan yang dicapai dalam Sidang Sinode GBKP secara teratur meminta kepada pemerintah untuk mengembalikan RSU Kabanjahe tersebut kepada Moderamen GBKP yang diwakili oleh Yayasan Kesehatan GBKP. Pemkab Karo menolak dan semakin memperuncing bara api dengan menyatakan bahwa RSU yang dahulu masih berupa klinik, kini telah dikembangkan menjadi fasilitas kesehatan yang cukup memadai bagi masyarakat Karo. Sehingga tidak fair melihat dari sisi kepemilikan GBKP saja. Ini menginspirasi para perwakilan gereja – gereja di bawah naungan GBKP untuk melakukan aksi damai dengan turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi / protes kepada Pemkab Karo. Perwakilan masyarakat dan petinggi GBKP kemudian dimediasi oleh Bupati Karo Terkelin Brahmana, seusai negosiasi yang alot, pada tanggal 08 Agustus 2016 pukul 17.00 Pemkab Karo bersedia mengembalikan status kepemilikan RSU Kabanjahe kepada GBKP.

SEJARAH

Dahulu daerah Kabanjahe yang merupakan tanah panteken Purba mergana, berkembang menjadi salah satu kampung yang besar. Hal ini dikaitkan dengan posisi strategis Kabanjahe serta Brastagi yang merupakan titik temu dari beberapa perkampungan Karo yang tersebar di lereng Gunung Sinabung, Sibayak, Sibuaten dan Barus. Magnet pasar yang ramai dikunjungi oleh masyarakat ketika tanggal Pekan tiba, menjadikan Kabanjahe sebagai salah satu poros pertumbuhan masyarakat Karo tempo dulu. Pada waktu itu Kabanjahe dianggap aman untuk berdagang, terutama dengan banyaknya simbisa – simbisa Sibayak Purba yang lalu lalang untuk memastikan keamanan dan ketertiban di pasar. Tidak sedikit masyarakat Karo yang “turun gunung” demi menjualkan hasil bumi ataupun tambang mereka, sehingga kemeriahan pasar pada waktu itu tidak terlukiskan ramainya. Keramaian ini yang menyebabkan banyak sekali orang yang berkeinginan untuk tinggal di Kabanjahe, menjadikannya salah satu kampung Karo yang terbesar di masanya.

Riuhnya animo masyarakat untuk berkumpul di Kabanjahe, menarik perhatian orang Belanda. Perwakilan Belanda yang tengah fokus menumpas gerombolan – gerombolan pengganggu lahan perkebunan, berkeinginan untuk mendirikan sebuah pos pengamatan di kampung Buluh Hawar pada tahun 18 April 1890. Ide pos tersebut dicetuskan oleh JT Cremer, seorang Tuan Kebun sukses yang berkeinginan menumpas gerombolan – gerombolan pengganggu lewat metode penginjilan. Pos penginjilan tersebut hanya sukses menginjilkan 10 orang dalam 25 tahun dan keberadannya yang menyerap anggaran perkebunan dirasa sangat mengganggu. Oleh karena itu, pihak NZG yang dimintai tolong oleh Tuan Cremer berkeinginan untuk membuka dua pos serupa, satu di desa Bukum (tahun 1899 oleh Pendeta H. Guillame dan Guru Martin Siregar) satu di Sibolangit (tahun 1900 oleh Pendeta JH Neumann), sebagai kampung satelit Buluh Hawar, dan satu lagi di Kabanjahe (tahun 1903 oleh Pendeta EJ van den Berg). Pos Kabanjahe dirasa strategis di kemudian hari karena mereka mendapat jaminan keamanan oleh Sibayak Kabanjahe untuk melakukan perkenalan Injil kepada masyarakat Karo di Kabanjahe. Pos injili ini meraup sukses besar ketika mampu membujuk satu dari dua Sibayak Kabanjahe yaitu, Pa Pelita untuk menganut agama Kristen Protestan. Keberhasilan ini disambut dengan pembangunan gereja Christianse Kerk di Kabanjahe Kota serta membangun Klinik kesehatan masyarakat yang dinamai Batak Instituut Hospitaal. Pembangunan dimulai pada 20 September 1920 selesai dan diresmikan pada tanggal 15 Juli 1923.

Klinik ini pada awalnya kurang sukses karena animo masyarakat Karo untuk berkunjung sangat kurang. Apalagi di kalangan masyarakat Karo telah dikenal Guru (Dukun – pen) yang dipercaya memiliki talenta medis untuk melakukan tindakan medis. Konflik antara petinggi Cristiansche Kerk dengan Sibayak Karo Pa Mbelgah turut menajamkan mata orang Karo bahwasa rumah sakit tersebut adalah perpanjangan tangan Kompeni untuk menguasai rakyat Karo sirulo. Akan tetapi sewaktu dipimpin oleh N Barus, rumah sakit mengalami peningkatan kunjungan pasien, terutama seiring dengan mewabahnya penyakit cacar air. Vaksinasi yang dilakukan oleh N Barus beserta kolega – kolega medisnya mampu mencegah terjadinya cacar kepada anak – anak yang telah tervaksinasi. Berita tersebut segera tersebar dengan dasyatnya dikalangan orang Karo, sehingga orang mulai berbondong – bondong melakukan pengobatan di Kabanjahe. 

Perlu dicatat, di Nusantara pada waktu itu, wabah cacar yang menyebar di sebuah desa mampu membuat takut para penduduknya sehingga mereka segera mengosongkan desa tersebut dan pindah ke daerah lain yang dirasa lebih aman. Penderita cacar pada waktu itu disamakan derajatnya dengan penderita kusta sehingga patut untuk dijauhkan dari masyarakat. Dampak cacar yang menghebat di seluruh penjuru Nusantara pada tahun – tahun 1920 – an menyebabkan kegemparan dikalangan masyarakat dan menyebabkan banyaknya tuna wisma yang “di buang” oleh keluarganya sendiri.
Pemerintah Belanda di Residensi Sumatera Timur kemudian berinisiatif untuk melakukan jemput bola ke masyarakat, dengan diterjunkannya dua opsir per satu kampung untuk mengantar mereka berobat atau memeriksakan diri di rumah sakit terdekat, termasuk di rumah sakit Batak Instituut Hospitaal Kabanjahe. Atas kerja keras para staf, wabah cacar mereda dan masyarakat kembali tenang, sehingga pemerintah Belanda menghadiahkan penghargaan kepada seluruh staf rumah sakit terutama bagi N. Barus sang pemimpin dengan piagam penghargaan yang diwakilkan oleh Controlir Karo Residen Sumatera Timur. Mulai dari sini, Batak Instituut Hospitaal menjadi dekat dengan kehidupan masyarakat Karo, dimana status dokter, perawat, bidan dan pegawai medis dianggap sebagai status yang ditinggikan oleh masyarakat Karo.

ZAMAN PERJUANGAN DAN KEMERDEKAAN

Memasuki zaman perjuangan kemerdekaan, rumah sakit Batak Instituut Hospitaal memainkan peran yang krusial terutama sewaktu merawat para pejuang gerilya dan tentara Belanda tanpa pandang bulu. Meski ruangan bagi para pejuang kemerdekaan dan serdadu Belanda dipisah di sektor yang berbeda (untuk menghindarkan perkelahian antar sesama pasien), para staf rumah sakit bekerja tanpa pandang bulu dan pamrih, tanpa melihat status, seragam maupun usul sang pasien. Bahkan ada beberapa staf rumah sakit yang rela berkunjung ke pos pertahanan pasukan Republik sewaktu tengah malam agar para pejuang yang terluka dapat diberi penanganan medis. Ada juga yang mengajarkan kepada para pejuang cara mengatasi dan merawat luka – luka di medan perang. Dedikasi mereka sungguh mulia dan terpuji. Sewaktu Indonesia merdeka pada tanggal 22 September 1948 Bataks Instituut Hospitaal diserahkan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi atas nama Rumah Sakit Umum Daerah Kabanjahe, sesuai dengan semangat ke - Indonesiaan pada waktu itu. Hanya saja masalah terjadi sewaktu pemerintahan yang masih baru kekurangan dana unutk melaksanakan berbagai hal, termasuk di dalamnya adalah operasional rumah sakit. Tidak lama berselang, Mr. H Neumann, anak dari Pendeta JH Neumann menawarkan agar RSU Kabanjahe dikelola kembali oleh keluarganya dan pemerintah setuju. Pada tahun 1948 seiring dengan aksi Polisionil yang Kedua dan berkobarnya  peristiwa Karo Area, maka pengelolaan RSU Kabanjahe diserahkan kembali kepada tim Kesehatan Moderamen GBKP. Dikarenakan terhantam berbagai peristiwa pemberontakan dan gejolak politik PRRI / Permesta, keinginan Pemerintah Daerah Tinggi II Karo untuk memiliki sebuah rumah sakit rakyat terhalang akibat minimnya dana kas pemerintah untuk menanggulangi gejolak / pemberontakan tersebut. Oleh karena itu, Pemkab Karo berinisiatif untuk meminjam sarana RSU Kabanjahe sebagai rumah sakit pemerintah. Setelah disetujui oleh petinggi GBKP, dalam semangat membagnun bangsa yang baru, RSU Kabanjahe diserahkan sebagai pinjaman pengelolaan oleh Pemkab Karo.

KONFLIK

Setelah masa perjuangan dan pergolakan selesai, RSU Kabanjahe ditata kembali dan dilakukan penambahan fasilitas agar mampu melayani masyarakat Tanah Karo secara lebih maksimal dengan mendatangkan berbagai peralatan yang canggih pada masanya dan membangun beberapa gedung tanpa sepengetahuan pihak Moderamen GBKP. Padahal tanah yang tengah dikembangkan tersebut adalah tanah hak milik GBKP dan telah disahkandalam Sertifikat Hak Guna Bangunan no. 119 oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tanah Karo. Pemkab Karo juga melakukan penambahan beberapa rumah sakit sebagai satelit dari RSU Kabanjahe. Tidak lama kemudian muncul juga rumah sakit swasta yang mampu bersaing dengan RSU Kabanjahe. Semakin ramainya persaingan di lingkup dunia medis, terutama mulai bermunculnya rumah – sakit internasional di daerah sekeliling Tanah Karo memanaskan persaingan di antara rumah sakit yang telah ada. Dari waktu ke waktu, dilakukan perombakan dan perbaikan sarana dan prasarana fasilitas, dimana masyarakat Karo  mulai lupa dengan keberadaan status peminjaman RSU Kabanjahe tersebut. 

Pada tahun 2000 melalui serangkaian musyawarah, petinggi GBKP mulai menyurati Pemkab Karo agar pengelolaan RSU Kabanjahe dikembalikan kepada tim Moderamen GBKP. Sesuai dengan hasil Sidang Sinode, tim Moderamen GBKP berkeinginan untuk mendata ulang aset GBKP dan mengubah HGB no. 119 yang diterbitkan oleh BPN Tanah Karo menjadi Sertifikat Hak Milik GBKP. Keinginan mereka ditolak oleh Pemkab Karo, dan melalui perjuangan yang panjang permasalahan kepemilikan RSU Kabanjahe diutarakan kembali pada Sidang Sinode XXXV 2015. Melalui serangkaian persiapan dan diskusi, tim Yayasan Kesehatan GBKP yang didukung oleh ribuan jemaat GBKP melakukan aksi Demonstrasi Damai serta Orasi dihadapan Kantor Bupati Tanah Karo. Tepat pada tanggal 08 Agustus 2016 pukul 17.00 mediasi antara tim Yayasan Kesehatan, Moderamen GBKP, jemaat GBKP dan perwakilan Pemkab Karo, Bupati Karo Terkelin Brahmana menyetujui pengambil-alihan kembali statuta RSU Kabanjahe ke pangkuan GBKP. Rakyat Menang, Rakyat Senang, Puji Tuhan! 

Sumber:
2.       http://royfachrabyginting.blogspot.co.id/2008/03/sejarah-kekristenan-di-karo.html diakses tanggal 09 Agustus 2016 pukul 15.30
3.       http://gbkp-sejarah.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-masuknya-injil-ke-tanah-karo.html diakses tanggal 09 Agustus 2016 pukul 15.40
 http://collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?lang=en Diakses tanggal 09 Agustus 2016 pukul 15.50



Dokumentasi:
 1. Buku pegangan Vaksinasi Cacar di Batak Instituut Hospitaal Kaban Djahe berisi catatan - catatan lepas dari seluruh penjuru Residensi Karolanden.
 

2. Suster staf Batak Instituut Hospitaal Kaban Djahe bersama dua anak yatim piatu. 

3. Penghargaan untuk pimpinan Batak Instituut Hospitaal N Barus terhadap dedikasi beliau dan staf selama proses penanganan cacar tahun 1928.

4. Penduduk Kampung Soerbakti yang didatangi opsir jemputan untuk divaksinasi massal di Rumah Sakit Kabanjahe.


5. Vaksinasi warga Desa Deram setelah adanya indikasi mewabah cacar air

 
6. Vaksinasi kepada anak di Kampung Deram tertanggal 26 Juni 1928

7. Perwakilan Pemkab Karo dengan Muspida Karo, Ruhut Sitompul, Junimart Girsang dan perwakilan GBKP. (Dokumentasi Roy Fachraby Tarigan, Facebook)

8. Tak pernah lupa untuk si Savedia Lania Olga br Sembiring Meliala dengan cinta kasih dan dukungannya yang tiada henti.