Powered By Blogger

Rabu, 28 Februari 2024

Diversifikasi Pertanian Berkaca Pada Pertanian di Tanah Karo

 

Diversifikasi Pertanian Berkaca Pada Pertanian di Tanah Karo

 

Pada suatu hari saya diminta oleh teman saya Budi untuk melakukan review dua buah jurnal mengenai Kolonialisasi Spanyol di Filipina. Sebagai teman saya tertarik untuk membantu, tetapi yang menjadi point of interest saya adalah bagaimana bangsa Eropa berhasil mendiversifikasi pertanian tradisional bangsa Filipina kala itu. Kita tentu tahu bahwa ketika bangsa Spanyol datang mereka melihat tanah Filipina sudah ada yang melakukan aksi pertanian. Masyarakat Filipina tentu tidak asing dengan pertanian tradisional yang mereka lakukan. Hal ini tentu juga dilihat oleh bangsa Barat yang datang dan berusaha untuk melakukan pendekatan dan pertukaran (pada awalnya) dan kemudian terjadi pertempuran berdarah yang panjang untuk memperebutkan sumber daya alam. Tercatat Magellan terbunuh dalam ekspedisinya, yang diikuti juga kegagalan ketiga ekspedisi setelahnya. Setelah Raja Philip II menugaskan San Pedro, San Pablo, San Lucas dan San Juan dipimpin oleh Manuel Lopez de Legazpi mereka berhasil mendirikan peristirahatan di Cebu. Pos inilah yang kemudian di bangun oleh para pelaut Spanyol dan kemudian menjadi desa pertama dan pos terdepan dalam memimpin armada. Pada tahun 1751 armada Spanyol menemukan pemukiman padat penduduk di Maynila yang memiliki Pelabuhan yang muat 12 kapal untuk bersandar. Oleh karena itu dengan segera mereka memindahkan pos mereka selanjutnya ke Manila dan dari sini lah mereka bergerak ke penjuru negeri membawa dengan mereka visi Gold, Gospel and Glory di panji perang mereka. Setelah mereka berhasil menancapkan kuku mereka di Spanyol, Legazpi kemudian dilantik menjadi Gubernur Jenderal dan mulai melakukan banyak sekali perubahan. Salah satu hal yang mencolok adalah diversifikasi pertanian.

Sumber daya alam lokal di Filipina tentu diharapkan menjadi penunjang utama ekspor berbendera Spanyol di Timur Jauh. Kaya akan emas, perak dan mineral alami lainnya, para penguasa sebelumnya sudah mendirikan banyak sekali aktivitas tambang yang dikerjakan swadaya masayarakat lokal. Hal ini tentu tidak luput dari perhatian para pelaut Spanyol. Hasil Perkebunan lokal yang dapat dieksploitasi adalah merica, cengkeh, pala, tebu tembakau, dan aneka kayu lokal yang melimpah. Ekspliotasi dan reformasi sumber daya alam Filipina dilakukan ketika Basco y Vargas dilantik menjadi Gubernur Jenderal pada 28 Juli 1778. Beliau menaruh perhatian lebih kepada konsep dan tata Kelola ekonomi dengan harapan ini dapat menunjang perekonomian Spanyol. Beliau menjadi konseptor dan pelopor “Rencana Pembangunan Ekonomi Semesta” yang menitikberatkan pada perkembangan industri agrikultur. Beliau membangun kembali hubungan dengan pihak China, membuka dermaga Manila untuk umum dan me-liberalisasi perekonomian. Beliau juga melakukan impor petani dari Valencia, Galicia dan Catalunya untuk mewujudkan ketahanan tani. Suksesornya Rafael Maria d Aguliar mengatakan bahwa misi ini harapannya akan mewujudkan “Filipina sebagai koloni paling berharga di dunia”.  

Pada masa pemerintahan Gubernur Salgado usaha pengembangan produksi kayu manis ditingkatkan pada level yang lebih baik. Beberapa tahun setelahnya, Caracas Company yang didirikan secara joint venture, melakukan ekspor kelapa ke Venezuela secara rutin. Tidak sampai satu abad setelahnya, dibentuklah Real Compania de Filipinas sebagai bentuk kemandirian pemerintah Timur Jauh yang mengeksploitasi dan mengorganisasi keuntungan bagi negeri Filipina, bukan hanya pengisi kas di Madrid. Perusahaan ini juga menggabungkan pengeksporan komoditi dari Amerika yang menjadi awal mendekatnya Amerika di Filipina, tentu setelah Amerika mendapatkan privilege sebagai pengusaha bebas pajak di Filipina. Aliansi Amerika Spanyol di Filipina, semakin memudahkan armada laut untuk sampai di Tanjung Harapan bahkan Peru dengan lebih cepat. Tidak lama setelah itu, Inggris merapat dan mendirikan konsulnya di Manila. Datangnya Inggris semakin merevolusi industri di Filipina terutama ketika Konsul Nicholas Loney memperkenalkan sistem Iron Mill kepada masyarakat Negro dan  Panay untuk mengolah tebu secara industri dan menjualnya ke pasar Eropa.

Bagi saya pribadi konsep Iron Mill atau Pabrikisasi ini menarik. Seperti yang dicatat oleh Cushner, Nicholas Loney membangun 13 pabrik pengolahan tebu ke Filipina setelah mensurvey tingginya permintaan gula di Eropa. Beliau mencatat bahwa terdapat lima factor utama dalam suksesnya bisnis tebu di Negro dan Panay adalah karena :

1.   Meningkatnya harga jual di Manila

2.   Penggunaan mesin produksi

3.   Peningkatan jumlah penanam skala besar

4.  Peningkatan nilai jual tanah (dengan didirikannya perumahan di sekitar perkebunan)

5.   Peningkatan upah gaji para pekerja perkebunan

Kelima hal diatas kemudian menyebabkan ekspansi bisnis yang luar biasa menjadikan Negros sebagai produsen tebu nomor satu di Filipina dengan total ekspor 2.242.231 pon. Perkebunan di Luzon dan Pangasinan juga mulai berkembang pesat dan pada tahun 1877 mereka mengantongi ijin untuk mendirikan Yengari Manila Sugar Company yang dipimpin saudagar Inggris bernama R. Tooth. Dengan dibangunnya dua pabrik pengolahan tebu di Manila, Perusahaan ini ditargetkan mampu berproduksi sejumlah 8.000 ton per tahun. Berkembangnya sistem dan proses produksi tebu – gula ini lah yang kemudian menggelitik saya.

Saya bukan seorang petani, bukan juga seorang analis pertanian ataupun memiliki background sebagai ahli tani. Akan tetapi melihat situasi dan kondisi pertanian Tanah Karo sekarang ini, saya menjadi bingung selayaknya orang bodoh. Saya melihat bagaimana keringat dan jerih payah yang dikeluarkan oleh petani kita di Karo sana, terutama para petani jeruk itu tidak sepadan denga napa yang ia dapatkan di pasar. Perkembangan hasil pertanian kita dari dulu cenderung pengalami penurunan. Saya melihat bagaimana para petani Karo harus bertahan hidup meski dengan margin keuntungan yang tipis, bahkan merugi. Setelah membaca upaya Nicholas Lonay di Negros saya tersadar, mungkinkah selama ini petani kita kurang revolusioner? Sejak dulu kita mengenal perkebunan jeruk dan sayur – mayur di Dataran Tinggi Karo, tetapi adakah pabrik pengolahan dan pengemasannya? Adakah diversifikasi Teknik penanaman dan distribusi bibit unggul yang merata? Seperti apakah kiat penanggulangan tanam ijon yang popular di masyarakat? Sudahkah ada HET pemasaran jeruk ketika musim panen? Banyak sekali pertanyaan yang menggelitik saya, karena sudah sekian lama dan ahli pertanian yang diciptakan pun harusnya sudah  banyak, tetapi tidakkah miris Tanah Karo yang disebut sentra produksi sayur – mayur dan buah – buahan malah tidak memiliki Akademi Pertanian atau Sekolah Tinggi Ilmu Agrikultur? Tanya kenapa?! Mejuah juah.

 

Special Thanks :

Budi HS untuk kesempatannya berdiskusi mengenai Cushner

Nicholas P. Cushner. Spain in the Phillipines. Ateno de Manila.Manila

John Leddy Phelan. The Hispanization of the Phillipines. The University of Wisconsin Press. 1959. USA