Powered By Blogger

Selasa, 26 Maret 2013

Legenda Karo: Cingcing Ganjang Penura


Legenda Karo: Cingcing Ganjang Penura
Tersebutlah kisah Cingcing empat beranak yang bersarang di rumpun buluh cina. Anaknya yang dua ekor masing – masing bernama Tetap Perukuren dan Ganjang Penura. Mereka hidup di tempat itu, tanpa pernah kekurangan makan dan minum.

Cingcing jantan dan cingcing betina yang sudah tua merasa bahwa ajalnya sudah hampir tiba, tetapi sebelum meninggal, mereka ingin menyampaikan kata – kata terakhir untuk pegangan selanjutnya bagi kedua buah hati. Demikianlah pada suatu pagi yang cerah, Ayah dan Ibu Cingcing memanggil kedua anaknya. Pada kesempatan itu berkatalah Ibu Cingcing, “Anakku keduanya, dengarlah ucapan ini baik – baik. Kami berdua sudah tua dan sewaktu – waktu mungkin saja kami dipanggil Tuhan. Namun, sepeninggal kami nanti, kalian berdua hendaknya tetap hidup rukun.” Ucapan Ibu Cingcing itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh kedua anaknya. Cingcing jantan yang dari tadi berdiam diri terlihat mengangguk – angguk tanda sependapat dengan kata – kata istrinya. “Satu hal lagi yang perlu kalian ingat,” kata Ibu Cingcing. “Bahwa tempat kediaman kita ini sudah bertahun – tahun kita tinggali. Ternyata, keadaannya sangat serasi dengan kita. Selama disini tak pernah ada gangguan, tak pernah kita mengalami kekurangan, belum pernah kesusahan melanda keluarga kita. Oleh karena itu, sedapat – dapatnya janganlah kalian tinggalkan tempat ini.” Ucapan Ibu Cingcing itu kemudian dikuatkan oleh suaminya, “Jika kalian ingin selamat, patuhilah nasihat kami, jika tidak kalian akan rasakan sendiri akibatnya nanti.” Kedua anak Cingcing berjanji kepada orang tuanya bahwa mereka akan mematuhi segala nasihat tersebut.

Malam harinya secara tenang kedua cingcing tua itu pun menghembuskan napasnya yang terakhir. Begitu kedua orang tua mereka meninggal, Tetap Perukuren kembali mengingatkan kepada adiknya tentang apa yang dinasihatkan oleh orang tuanya sebelum meninggal.

Beberapa hari sesudah itu datang burung Pincala boang dari laut dan hinggap dekat kedua ekor cingcing itu. Sayapnya dikibas – kibaskannya dan dari mulut keluar suara bergalau. Kemudian, diceritakannya tentang perjalanannya kepada Cingcing Ganjang Penura bahwa dia datang dari laut yang luas. Karena Ganjang Penura menyatakan keinginannya hendak melihat laut, maka diajak Pincala boanglah dia pergi. Ketika ditanya oleh Ganjang Penura bagaimana dengan makanan mereka selama dalam perjalanan, maka Pincala boang berujar bahwa hal itu tidak usah ditakutkan karena di dalam hutan banyak makanan. Hanya saja diingatkannya agar jangan memakan buah yang mentah, tetapi pilihlah yang masak. Berangkatlah Ganjang Penura tanpa persetujuan abangnya untuk mengikuti Pincala boang. Dalam perjalanan itu, cingcing tersebut hanya bertengger saja di atas punggung Pincala boang yang membawanya terbang melintasi hutan dan rimba raya. Pada suatu tempat, mereka hinggap di pohon tuldak yang sedang berbuah besar – besar dan masak – masak. Mereka melihat bahwa di tempat itu banyak binatang lain, seperti imbau, enggang, mawas.

Karena malu melihat Ganjang Penura yang begitu kecil dibandingkan binatang – binatang lain, maka cingcing ditinggalkan oleh Pincala boang. Sesudah ditinggalkan Pincala boang, maka Ganjang Penura mencoba memakan buah tuldak tersebut. Ternyata buah tidak ada yang kecil, semuanya besar – besar melebihi besar tubuhnya. Dicotoknya dengan paruhnya, maka terbenam paruhnya itu ke dalam buah tuldak tersebut sehingga tak dapat keluar lagi. Akan tetapi, setelah beberapa kali dicobanya menarik, lama – lama lepas juga paruhnya itu. Karena kuatnya dia menarik paruhnya tadi, terlempar dia dari tempatnya bertengger, lalu tersangkut di pohon peldang. Beberapa lama disana, dia terbang kembali ke pohon tuldak tadi. Dilihatnya ada beberapa buah tuldak sisa – sisa makanan tikus. Timbul keinginannya hendak memakannya, tetapi setelah dicobanya mematuk, kemudian ditelannya, ternyata makanan tersebut di kerongkongannya. “Matilah aku sekali ini,” pikirnya. Namun dia tidak mati.

Di tempat kediaman abangnya, cingcing Tetap Perukuren sudah menunggu – nunggu kedatangan adiknya itu. Atas kehilangan adiknya itu, dia tanyakan kepada Raja Imbo (siamang) putih yang berkuasa di atas pohon – pohonan. Kedatangannya disambut oleh Raja Imbo dengan pertanyaan, “Apa maksudmu menjumpaiku ini?” Dijawab oleh cingcing itu bahwa maksud kedatangannya ialah untuk meminta bantuan karena adiknya sudah beberapa hari tak pulang – pulang. Oleh Raja Imbo putih diperintahkannya kepada seorang pembantunya untuk mencari Cingcing Ganjang Penura. Kepergiannya itu disertai oleh Tetap Perukuren. Ternyata, Cingcing Ganjang Penura sudah tak ada lagi di atas pohon, seperti yang diketahui oleh pesuruh itu. Kemudian, dinasehihatinya kepada Cingcing Tetap Perukuren agar mendatangi Raja Cekiri Gumba yang berdiam di sebuah jurang yang dalam. Kepada Raja Cekiri Gumba ditanyakan lagi oleh Tetap Perukuren tentang adiknya yang hilang itu. Prajurit ular sawah yang ditanyai oleh Raja Cekiri Gumba menyatakan bahwa ada terlihat Ganjang Penura di bawah pohon tuldak yang tadinya hendak dimakannya, tetapi tak jadi karena terlalu kecil.

Dengan diantar oleh si ular sawah, pergilah Tetap Perukuren ke tempat yang dimaksudkan. Di sana dijumpainya adiknya dalam keadaan tercekik oleh buah tuldak. Untuk mengeluarkan buah tuldak itu, Tetap Perukuren memasukkan paruhnya ke dalam mulut adiknya dan mencotoknya sedikit demi sedikit sampai habis. Sesudah itu, diberinya minum sehingga Ganjang Penura menjadi segar kembali. Untuk memulihkan tenaga adiknya itu, diberikannya buah cepira untuk dimakannya. Sekarang pulanglah mereka berdua ke sarang semula di buluh cina. setelah dua belas hari lamanya dalam perjalanan, sampailah mereka. Sejak itu, Ganjang Penura berjanji akan mengubah kelakuannya, sesuai dengan nasihat ayah bundanya sebelum meninggal. Sesudah itu, hidup mereka berdua dalam keadaan aman dan damai.

Enam bulan kemudian Ganjang Penura mulai kembali lupa akan janji semula. Pada abangnya dinyatakannya bahwa ia ingin pergi dari tempat itu, tetapi dapat diatasi oleh abangnya dengan mengingatkan akan petuah ibu – bapaknya dulu. Setahun kemudian, timbul kembali kegelisahan dalam hati Ganjang Penura. Kegelisahannya itu tambah menjadi karena kebetulan pada waktu itu hinggap seekor ayam – ayam putih menggoda Ganjang Penura. “Apa arti hidupmu ini jika engkau terus – menerus tinggal di tempat ini saja. Bukankah hidup kita ini tak lama dan seharusnya waktu yang tak lama ini kita gunakan untuk mengenal dunia yang luas ini?” “Kalau begitu, samalah pendapat kita Bang,” jawab Ganjang Penura yang merasa cocok dengan kata ayam – ayam putih tadi. Maka diikutinyalah ayam – ayam putih itu terbang untuk meninggalkan tempat tersebut. Ketika sampai di tepi laut yang luas, mereka hinggap pada pohon honing yang sedang berbuah. Karena ayam – ayam putih itu lebih besar, maka ia dapat mencapai puncak pohon honing itu, tetapi Ganjang Penura yang kecil tak dapat mengikuti kawannya itu. Dia hanya hinggap di dahan sebelah bawah saja. Malang bagi Ganjang Penura karena tak diketahuinya buah honing itu bergetah. Maka, sayapnya lekat pada buah honing tersebut. Keadaan Ganjang Penura yang demikian itu tidak menimbulkan rasa kasihan pada ayam – ayam puih, lalu ia terus terbang dan meninggalkan sahabatnya itu.

Akan abangnya Cingcing Tetap Perukuren telah lama gelisah memikirkan kepergian adiknya. Usahanya untuk mencari ke sana ke mari akhirnya berhasil juga. Dijumpainya Ganjang Penura dalam keadaan menderita akibat buah getah honing tadi. Dia merasa tak sanggup untuk membantu adiknya dalam mengatasi penderitaan itu karena hal itu akan membahayakan dirinya sendiri. Sebelum pergi dari tempat itu, diingatkannya lagi adiknya akan petuah ibu – bapaknya sebelum meninggal. “Beginilah jadinya kalau nasihat orang tua dilanggar,” katanya kepada adiknya itu. “Kulepas engkau pergi menjumpai ibu – bapak kita di tempat peristirahatannya yang terakhir dan aku akan kembali ke sarang peninggalan orang tua kita, sesuai dengan nasihat mereka dulu.” Ganjang Penura yang ditinggalkan abangnya meratap dalam menyesali untungnya yang karena hendak mengejar kesenangan dirinya sendiri, akhirnya berjumpa dengan kesusahan.

Disadur dari: Tabir Sitepu (et.al), Sastra Lisan Karo. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 158 – 166.

Legenda Karo:Si Betah Betah


Legenda Karo: Si Betah – Betah
Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang tua di suatu kampung. Ia tinggal di kebunnya yang luas dan tanaman jagung. Tetapi sekalipun tak pernah ternikmati buah jagungnya itu karena selalu habis dimakan monyet. Oleh karenanya, dia selalu susah karena habis tenaga dan modal tak sekali jua pernah menikmati hasil kebun jagung tersebut.
Tahun berikutnya, tiba masa menanam, jagung pula yang ditanamnya. Ketika masa panen hampir tiba, dilihatnya pula ada tanda bekas datang monyet. Akhirnya orang tua itu berpikir, “Baiklah kucari akal untuk menangkap monyet itu.” Lalu ia pergi ke hutan mengambil ijuk untuk dipintalnya menjadi tali, tak lupa diambilnya pula bahan getah. Tali – tali ijuk itu kemudian dibentuk menjadi boneka yang mirip manusia. “Tentu monyet itu akan takut melihat orang – orangan ini. Jika ia takut, tentu tak akan berani lagi mengambil buah jagungku ini,” pikirnya. Kemudian semua getah tadi dibubuhkannya ke orang – orangan itu sehingga berlumur getah. Segera orang- orangan dibawanya ke tengah ladang jagung lalu dipancangkan persis di tengah kebun si orang tua. “Pasti monyet itu tak berani lagi mengambil buah jagungku ini,” pikirnya sembari pulang ke rumahnya.
Keesokan harinya, monyet itu datang lagi. Tetapi lebih dahulu diintipnya dari pinggir ladang itu apakah pemiliknya ada di situ. “Oh… celaka, rupanya pemiliknya berada di sana,” pikirnya. “Kalau pemilik ada, aku berpura – pura jujur saja, biar ku coba meminta jagung itu kepadanya.” ujar si monyet itu. Kemudian bergeraklah monyet itu mendekati orang – orangan tersebut, lalu berkata “Hai Nenek, bolehkah aku mendapat jagung ini barang sebuah?” katanya. Tak ada suara menyahut, ia memberanikan diri lebih dekat lagi, seraya berkata, “Nek,” sambil dipegangnya. Akibat gentah yang ditempel, lengket pula tangan monyet, karena kesal disepaknya orang – orangan itu dan lengket pula kaki kirinya. Sekali lagi disepaknya dengan kaki kanan, lekat pula kaki kanannya. Dengan demikian si monyet tak dapat lagi bergerak, ia terus lengket di sana karena getah itu.
Kemudian datanglah yang empunya kebun memeriksa kebun jagungnya itu. Dilihatnya orang – orangan itu, kiranya monyet sudah lengket di situ. Kini si orang tua itu jadi tersenyum – senyum mendatangi monyet itu karena yang merugikannya selama ini telah dapat dijerat. “Sekali ini lehermu itu akan putus ku cincang,” katanya dengan geram. “Lehermu ini akan ku cincang monyet,” kata orang tua itu sekali lagi. “Sesuka hatimulah Nek, biar aku cepat mati. agar jangan lama aku menderita sakitnya, potonglah terus ekorku ini biar aku lekas mati,” sahut monyet. Kemudian dibawa orang tua itu monyet ke rumahnya lalu diikatkan ke tiang rumah. Monyet itu dibiarkan terikat di situ ketika ia pergi mencari pucuk labu, cabe dan asam untuk disayur bersama daging monyet tadi. Selesai meramu sayuran pulanglah ia ke rumahnya. Segera daun labu itu dipotong – potongnya dan kemudian dibukanya tali pengikat monyet, lalu berkata, “Kau akan senang hari ini monyet kau akan segera kubunuh.” katanya kepada monyet itu. “Tidak apalah Nek, cepatlah aku dibunuh.” ketus monyet itu pula. “Bagaimana caranya agar engkau lekas mati, apamu yang kupotong? “ tanya nenek. “Ekorku inilah potong Nek,” sahut monyet itu dengan jelas. Dengan tidak berpikir panjang lagi orang tua itu segera memotong ekor monyet. Menggelepar – gelepar lah monyet itu, lompat kesana kemari, seolah mau mati. Melihat keadaan itu si orang tua membuka seluruh tali pengikat monyet. Tetapi tiba- tiba si monyet itu pun terus melompat dan segera lari kencang ke atas sebuah pohon besar. Ekornya sudah berdarah karena kena potong pisau. Kemudian diambilnya sebuah botol kecil, lalu ditampungnya darah ekornya itu ke dalam botol. Setelah selesai, pergilah monyet ke tempat seekor kerbau yang tertambat. Disana berjumpalah ia dengan seorang penggembala yang sudah tua sekali. “Oh… Kek, ada padaku obat tua, bila obat ini dimakan, kau akan muda kembali,” katanya kepada orang tua penggembala itu. “Kalau aku dapat muda kembali, akan kuberikan engkau penganak ini,” binar penggembala. Lalu diberikan monyet botol berisi darah ekornya itu kepada penggembala, dan penganak itu diterima sebagai imbalannya. Dengan cepat ia terus lari ke atas pohon yang besar itu lalu penganak itu dipalunya: “Pong… pong… pong…, diminumnya darah ekorku. Kukatakan minak capi, padahal darah ekorku,” katanya dari atas pohon bersahut - sahut. Mendengar itu menangislah penggembala kerbau dengan sangat sedih. Melihat kesedihan penggembala itu datanglah seekor kepiting. “Mengapa engkau sedih Kek?” tanyanya. “Karena aku sudah tua begini, aku ditipu monyet itu. Katanya, ini minak capi, rupanya darah ekornya yang diberikannya, lagi pula penganakku dilarikannya ke atas pohon itu,” sendu si penggembala tua.
“Kalau penganak itu dapat nanti kuminta, apakah upahku?” kata kepiting. “Kalau penganak itu kau peroleh dari si monyet, akan kuberikan seekor kerbau kepadamu.” kata penggembala seraya menunjuk seekor kerbau yang sedang makan rumput di dekat situ. “Kau tidak bohong Kek?” tanya kepiting. “Tidak” kata penggembala. Dengan pelan – pelan kepiting merangkak memanjat pohon besar itu dengan cara melilit. Karena asyiknya monyet memalu penganak tadi, tak diketahuinya bahwa kepiting telah dekat ke ekornya. Dengan cepat, ekor monyet itu tadi dijepit kepiting. Karena sakitnya, lepaslah penganak dari tangannya lalu jatuh ke bawah. Kemudian kepiting turun lalu pergi mendapatkan penggembala kerbau . “Mana upahku Kek,” katanya. “Inilah Nak, tuntunlah kerbau yang telah kutunjukkan tadi padamu,” ujar penggembala tua. Dengan gembira kepiting menuntun kerbau itu ke lubangnya. Tetapi karena lubang itu kecil, maka kerbau tak muat masuk ke dalamnya.
Kerbau pun melompat – lompat dan kepiting terpijak olehnya dalam lobang itu hingga gepeng dan kesakitan. Karena sakitnya kepiting pun menjepit kaki kerbau hingga pecah. Itulah sebabnya maka bentuk kepiting jadi gepeng dan kaki kerbau pecah. Merasakan sakitnya jepitan tersebut kerbau pun berlari – lari ke padang rumput  dan terpijak olehnya ekor burung puyuh. Karena terkejut, puyuh pun terbang hingga ekornya tertinggal di tanah. Ketika itu ditabraknya pula tanduk kuda hingga patah dan kuda pun jadi terjungkir karenanya lalu bangkit dan lari hingga menabrak pohon tenggiang. Pohon tenggiang itu jadi berbulu – bulu  seperti bulu kuda karenanya. Itulah sebabnya maka kuda tidak bertanduk dan tenggiang berbulu seperti bulu kuda.:D
Daftar Istilah:
Penganak: alat musik gong kecil ala Karo.
Minak Capi: obat tradisional berupa minyak.
Tenggiang: semacam tumbuhan pakis.
Disadur dari:
Panitia Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, 1981), hlm. 141 – 143.

Kamis, 21 Maret 2013


Membunyikan Musik Bambu yang Punah
Dahulu instrumen musik bambu banyak dimainkan petani Banjar di pelosok – pelosok. Akhir Februari 2013, instrumen itu kembali diperdengarkan di Balairung Sari, Taman Budaya Kalimantan Selatan. Enos Karli mengaransemen sejumlah lagu yang sebagian besar ciptaan maestro lagu Banjar, Anang Ardiansyah.
“Tak.. tak… tung… tung.. “ suara kintung, alat musik tradisi berupa sepotong bambu yang separuh sisinya dibelah dan dibunyikan dengan cara dipukulkan ke balok kayu, mengawali lagu bersyair jenaka, “Manuntun Wayang”. Suasana Balairung Sari yang semula sunyi pelan – pelan jadi khidmat ketika tiap alat musik dimainkan bersahutan.
Dengan rentak agak kencang, Humaidi, sang vokalis, berusaha menghipnotis ratusan apenonton yang sebagian besar anak muda Banjar. Lantunan lagu khas Banjar larut dengan irama musik yang rancak. “Di malam Minggu, manuntun (menonton) wayang di halaman RRI, dalangnya Utuh (panggilan laki – laki Banjar) Aini, ning… tak.. ning… gung…,” bunyi sepenggal lirik yang diikuti goyang kaki beberapa penonton yang duduk di barisan depan.
Dinamis dan energik, tiulah kesan yang muncul saat instrumen, seperti kintung, bumbung, salung, kurung – kurung, dan suling dimainkan. Suaranya makin meriah saat dipadukan dengan alat lain berupa kecapi bukit, panting bambu, hingga kendang, jimbe dan saron.
Sebanyak 20 pemain yang tergabung dalam Anak Banua membawakan enam lagu, antara lain diawali dengan “Manuntun Wayang” disusul “Gerobak Sapi Dugul”, “Maiwak”, dan “Damar Wulan”. Lagu – lagu tersebut merupakan karya Anang Ardiansyah (74) yang dikenal sebagai pencipta lagu “Paris Barantai”. Anang sendiri malam itu juga hadir menggunakan kursi roda.
Menurut Enos tak ada kesulitan signifikan saat mengaransemen lagu Banjar yang biasanya memiliki cengkok Melayu ke dalam instrumen bambu yang terbilang jarang dimainkan ke atas pentas. Yang perlu dikenali dulu adalah lirik dan esensi lagu yang akan disampaikan ke masyarakat.
“Kalau lagunya agak jenaka dan memakai bahasa pantun, maka diaransemen dengan beat yang melodinya pas,” ucapnya. Enos sendiri merupakan salah satu seniman Banjar yang telah menelurkan sejumlah lagu, salah satunya yang terkenal berjudul “Pamali”.
Karakteristik Unik
Instrumen bambu khas Banjar memiliki karakteristik tersendiri. Berbeda dengan musik tradisi dari daerah lain, seperti Jawa yang kental dan lengkap dengan titi laras selendro dan pelog, alat musik bambu tidak demikian.
“Bumbung misalnya, kita harus mencari tangga nada yang warna nadanya mendekati. Karena alat ini memang tidak memiliki selendro dan pelog selengkap di Jawa,” tuturnya. Sementara suara fals yang tercipta dirasa mampu memperkaya kolaborasi.
Untuk mempertegas irama, Enos memasukkan unsur instrumen modern, seperti gitar, bas, hingga kendang dan jimbe. Semua itu dipadu dengan tata panggung sederhana namun kental nuansa bambu.
Musik bambu sendiri sudah lama dikenal masyarakat Kalimantan Selatan. Tetapi tak ada yang tahu  persis kapan awal mula instrumen ini diciptakan. Yang pasti salah satu jenis instrumen biasanya lebih dikenal dominan di satu daerah, misalnya kintung lebih dikenal oleh masyarakat Martapura di Kabupaten Banjar.
Sedangkan kurung – kurung yang bentuknya berupa galah bambu biasa dipakai untuk menanam benih padi oleh warga yang bermukim di Pegunungan Meratus. Mereka juga biasa memainkan musik kurung – kurung untuk memanggil hujan. Musik ini banyak dimainkan masyarakat di daerah Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut.
Seiring perkembangan, alat – alat musik ini memang perlahan mulai terlupakan. Ia kalah bersaing dengan alat – alat musik modern. Meski diakui keberadaan salung dan kawan – kwannya masih ada, tetapi hanya bertahan di daerah. Jarang ditampilkan ke ranah publik yang lebih luas.
Hingga pada malam itu, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Selatan berusaha membangkitkan dan mengembangkan lagi alat musik bambu dalam gelaran “Serumpun Bambu Selaksa Bunyi”. Mohandas Hendrawan, Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kalsel pun berharap pentas kali ini akan berlanjut pada diikutsertakannya Gelar Budaya Dayak di Jakarta April mendatang.
Oleh: Defri Werdiono
Harian Kompas Edisi Minggu, 10 Maret 2013 Halaman 26.
Tulisan diatas dirasa perlu diupload sebagai apresiasi terhadap kelestarian musik bambu yang memiliki keanegaraman jenis dan varietas di Tanah Air Indonesia, tak terkecuali masyarakat Karo. Tulisan karya Defri Werdiono tersebut diharapkan mampu menggugah rasa peduli terhadap lestarinya musik bambu Karo, sehingga ada mungkin era di masa depan dimana musik bambu ala Karo mampu dipentaskan dalam berbagai ensamble di gedung – gendung pertunjukan terkemuka di Tanah Air,
Bujur Mejuah juah.

Selasa, 12 Maret 2013


Bambu Tak Dikembangkan untuk Instrumen Musik
By: IND (kolom Festival Musik, Kompas 3 September 2012, hlm. 12)

Sejak abad ke – 5 Sebelum Masehi, masyarakat di Nusantara sudah mengenal bambu sebagai alat bunyi – bunyian untuk keperluan ritual, komunikasi, maupun hiburan. Seiring perkembangan zaman, musik bambu yang berpotensi dikembangkan sebagai seni musik kontemporer justru tidak berkembang dengan baik.
Tradisi musik bambu dulu hidup pada masyarakat pedesaan sesuai konteksnya. Musik bambu kemudian tidak hidup karena konteks yang dimiliki masyarakat pedesaan sudah hilang.
“Mereka yang hidupnya sudah beralih menjadi modern juga enggan mengeksplorasi kembali musik bambu,” kata Rizaldi Siagian, etnomusikolog dalam dialog tentang perkembangan musik bambu di Indonesia, Sabtu(1/9). Kegiatan ini digelar dalam rangka Festival Musik Bambu Nusantara 2012 pada 1 – 2 September.
Sebanyak 1.250 spesies bambu tersebar di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 159 spesies terdapat di Indonesia dan 88 di antaranya merupakan spesies bambu endemik di Indonesia.
Pemusik Vicky Sianipar pada acara yang sama menambahkan, pemerintah tampak lebih asyik menggarap promosi kunjungan wisata dari luar negeri tanpa penguatan budaya di dalam negeri, termasuk musik etnik. “Ketika wisatawan akhirnya datang, mereka tidak bisa ‘merasakan’ Indonesia karena kebudayaan Indonesia justru lebih lekat dengan budaya asing,” kata Vicky.
Festival Musik Bambu Nusantara ini menampilkan para seniman musik yang mengeskplorasi instrumen musik bambu. Instrumen musik ini kemudian dimainkan sendiri atau digabung dengan alat musik modern lain, seperti gitar, keyboard, perkusi, dan lain – lain untuk memainkan berbagai genre lagu mulai dari jazz, rock, rap, dan hip hop.
Seniman yang ikut meramaikan festival ini antara lain Dwiki Dharmawan, Balawan dan Bantuan Ethnic Fusion, Vicky Sianipar, Samba Sunda, Karinding Attack, Melodi Maniz (Jepang), dan lain – lain. Ada juga penggiat seni daerah yang mengoptimalkan bambu.

Pembahasan:
Artikel diatas disadur ulang dari Koran Kompas terbitan 13 September 2012, halaman 12, dikarenakan penulis merasa ada kaitannya dengan pelestarian musik tradisional Karo yang bahan utamanya banyak berdasarkan bambu. Bambu (dalam bahasa Karo disebut Buluh / Buloh) sangat identik dengan suku Karo, karena dalam masyarakat Karo bambu memiliki banyak sekali fungsi seperti halnya alat musik, tempat menyimpan air, bahan pembuat anyaman tikar, pancuran air, tempat penyimpanan barang (tas zaman doeloe). Hal ini mencerminkan pentingnya identitas Bambu dalam masyarakat Karo,sebagai sesuatu yang memiliki fungsi beragam namun berguna. Di Tanah Karo terdapat kampung bambu yaitu di Kutabuluh (baik Simole maupun Berteng) yang dulunya adalah penghasil utama bambu kualitas wahid. Sibayak Kutabuluh pun pernah berpesan pada tahun 1919 sesaat sebelum penangkapannya, bahwa “Jadilah seperti Bambu, yang memiliki semangat dan guna yang beragam bagi masyarakat” sebagai penutup perjuangan cita – cita beliau melawan Belanda. Di Yogyakarta dahulu terdapat organisasi Sinuan Buluh yang memiliki visi yang mencerminkan semangat ala Sibayak Kutabuluh tersebut. Jadi Buluh Bambu sangat vital keberadaannya bagi orang Karo.
Musik Karo pun memiliki pengaruh bilah bambu yang kuat, sebagai bahan dasar pembuatan instrumen Surdam dan Ketteng – ketteng. Dapat dikatakan bahwa ensambel Telu Sedalanen wajib memiliki kedua musik diatas, dipadukan dengan belobat dan mangkuk. Artinya musik tradisi kita pun sangat dipengaruhi dengan bambu. Akan tetapi pelestarian bambu Karo kini adalah mimpi belaka. Tidak lagi mudah dijumpai bambu dalam jumlah besar di Tanah Karo, mungkin karena identitas kamseupay yang melekat di lingkungan yang penuh dengan bambu, belum lagi disertai dengan isu mistis yang kerap mendatangi wilayah berbilah bambu. Dirumahnya pun (baca: Kutabuluh) bambu kini sudah susah untuk dijumpai sehingga secara implisit mengancam keberadaan para pemusik tradisi Karo. Padahal apabila ditilik, maestro petik Djasa Tarigan memulai karir bermusik di kelompok Tukang Ginting dengan ketteng – ketteng (notabene dari bambu). Alangkah mirisnya apabila perhatian seperti ini luput dari perhatian kita, jangan – jangan beberapa waktu ke depan instrumen dari bambu tinggal tercatat dalam sejarah, seperti halnya empi – empi dan embal – embal. Keberadaanya tergerus oleh zaman dan modernism, so Waspadalah!