Powered By Blogger

Kamis, 21 Maret 2013


Membunyikan Musik Bambu yang Punah
Dahulu instrumen musik bambu banyak dimainkan petani Banjar di pelosok – pelosok. Akhir Februari 2013, instrumen itu kembali diperdengarkan di Balairung Sari, Taman Budaya Kalimantan Selatan. Enos Karli mengaransemen sejumlah lagu yang sebagian besar ciptaan maestro lagu Banjar, Anang Ardiansyah.
“Tak.. tak… tung… tung.. “ suara kintung, alat musik tradisi berupa sepotong bambu yang separuh sisinya dibelah dan dibunyikan dengan cara dipukulkan ke balok kayu, mengawali lagu bersyair jenaka, “Manuntun Wayang”. Suasana Balairung Sari yang semula sunyi pelan – pelan jadi khidmat ketika tiap alat musik dimainkan bersahutan.
Dengan rentak agak kencang, Humaidi, sang vokalis, berusaha menghipnotis ratusan apenonton yang sebagian besar anak muda Banjar. Lantunan lagu khas Banjar larut dengan irama musik yang rancak. “Di malam Minggu, manuntun (menonton) wayang di halaman RRI, dalangnya Utuh (panggilan laki – laki Banjar) Aini, ning… tak.. ning… gung…,” bunyi sepenggal lirik yang diikuti goyang kaki beberapa penonton yang duduk di barisan depan.
Dinamis dan energik, tiulah kesan yang muncul saat instrumen, seperti kintung, bumbung, salung, kurung – kurung, dan suling dimainkan. Suaranya makin meriah saat dipadukan dengan alat lain berupa kecapi bukit, panting bambu, hingga kendang, jimbe dan saron.
Sebanyak 20 pemain yang tergabung dalam Anak Banua membawakan enam lagu, antara lain diawali dengan “Manuntun Wayang” disusul “Gerobak Sapi Dugul”, “Maiwak”, dan “Damar Wulan”. Lagu – lagu tersebut merupakan karya Anang Ardiansyah (74) yang dikenal sebagai pencipta lagu “Paris Barantai”. Anang sendiri malam itu juga hadir menggunakan kursi roda.
Menurut Enos tak ada kesulitan signifikan saat mengaransemen lagu Banjar yang biasanya memiliki cengkok Melayu ke dalam instrumen bambu yang terbilang jarang dimainkan ke atas pentas. Yang perlu dikenali dulu adalah lirik dan esensi lagu yang akan disampaikan ke masyarakat.
“Kalau lagunya agak jenaka dan memakai bahasa pantun, maka diaransemen dengan beat yang melodinya pas,” ucapnya. Enos sendiri merupakan salah satu seniman Banjar yang telah menelurkan sejumlah lagu, salah satunya yang terkenal berjudul “Pamali”.
Karakteristik Unik
Instrumen bambu khas Banjar memiliki karakteristik tersendiri. Berbeda dengan musik tradisi dari daerah lain, seperti Jawa yang kental dan lengkap dengan titi laras selendro dan pelog, alat musik bambu tidak demikian.
“Bumbung misalnya, kita harus mencari tangga nada yang warna nadanya mendekati. Karena alat ini memang tidak memiliki selendro dan pelog selengkap di Jawa,” tuturnya. Sementara suara fals yang tercipta dirasa mampu memperkaya kolaborasi.
Untuk mempertegas irama, Enos memasukkan unsur instrumen modern, seperti gitar, bas, hingga kendang dan jimbe. Semua itu dipadu dengan tata panggung sederhana namun kental nuansa bambu.
Musik bambu sendiri sudah lama dikenal masyarakat Kalimantan Selatan. Tetapi tak ada yang tahu  persis kapan awal mula instrumen ini diciptakan. Yang pasti salah satu jenis instrumen biasanya lebih dikenal dominan di satu daerah, misalnya kintung lebih dikenal oleh masyarakat Martapura di Kabupaten Banjar.
Sedangkan kurung – kurung yang bentuknya berupa galah bambu biasa dipakai untuk menanam benih padi oleh warga yang bermukim di Pegunungan Meratus. Mereka juga biasa memainkan musik kurung – kurung untuk memanggil hujan. Musik ini banyak dimainkan masyarakat di daerah Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut.
Seiring perkembangan, alat – alat musik ini memang perlahan mulai terlupakan. Ia kalah bersaing dengan alat – alat musik modern. Meski diakui keberadaan salung dan kawan – kwannya masih ada, tetapi hanya bertahan di daerah. Jarang ditampilkan ke ranah publik yang lebih luas.
Hingga pada malam itu, Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Selatan berusaha membangkitkan dan mengembangkan lagi alat musik bambu dalam gelaran “Serumpun Bambu Selaksa Bunyi”. Mohandas Hendrawan, Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kalsel pun berharap pentas kali ini akan berlanjut pada diikutsertakannya Gelar Budaya Dayak di Jakarta April mendatang.
Oleh: Defri Werdiono
Harian Kompas Edisi Minggu, 10 Maret 2013 Halaman 26.
Tulisan diatas dirasa perlu diupload sebagai apresiasi terhadap kelestarian musik bambu yang memiliki keanegaraman jenis dan varietas di Tanah Air Indonesia, tak terkecuali masyarakat Karo. Tulisan karya Defri Werdiono tersebut diharapkan mampu menggugah rasa peduli terhadap lestarinya musik bambu Karo, sehingga ada mungkin era di masa depan dimana musik bambu ala Karo mampu dipentaskan dalam berbagai ensamble di gedung – gendung pertunjukan terkemuka di Tanah Air,
Bujur Mejuah juah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar