Powered By Blogger

Kamis, 24 Juli 2014

Seri Sejarah Medan: Guru Patimpus

Guru Patimpus
Persebaran Urung Sepuluh Dua Kuta dan Urung Sukapiring

Meninjau kembali sejarah Kota Medan, tidak terlepas dari ketokohan seorang Guru Mbelin, Guru Patimpus. Panitia Penyusunan Hari Jadi Kota Medan sepakat untuk memastikan bahwa Kota hari jadi kota Medan adalah 1 Juli 1590, sewaktu daerah Medan,yang dahulu masih berwujud kampung, di pantek oleh Guru Patimpus. Siapa sebenarnya Guru Patimpus masih merupakan sebuah misteri. Guru Patimpus atau yang lazim di daerah Karo dikenal dengan nama Pa Timpus, merupakan penokohan dari Bapak seorang anak yang bernama Timpus. Akan tetapi, dalam silsilah keluarga Pelawi tersebut pengelaren Timpus hanya dijumpai pada satu generasi saja,yaitu anak Tuanku Raja Hita, kempu Si Jalipa. Akan tetapi,dalam berbagai silsilah dan dokumen, hanya dapat dijumpai nama Timpus. Beliau mulai mengenakan gelar Pa Timpus sewaktu memperoleh ilmu dari serumpun bambu bertulis. Namun, hal tersebut tidaklah lazim di kalangan orang Karo dikarenakan penggelaren Pa dalam sebuah nama hanya ditujukan untuk menunjuk orang tua dari nama yang bersangkutan.   Hal inilah yang kemudian menarik minat Brahmo Putro untuk menyelidik lebih dalam Guru Patimpus dan keturunannya dalam buku Karo dari Zaman ke Zaman jilid II. Ketokohan Guru Patimpus, yang kemudian banyak memantek kampung – kampung Karo dalam pengembaraannya akancoba kami jabarkan sebagai berikut.

Tersebutlah dahulu pada suatu jaman, di kampung Bekerah terdapat seorang raja bernama Singa Maharaja. Beliau merupakan keturunan pertama dari seorang tokoh sakti bernama Si Jalipa. Beliau kemudian menikah dengan anak dari Pawang Na Jeli dan melahirkan Tuan Manjolang dan Tuan Si Raja Hita. Tuan Manjolang yang merupakan anak sulung, menjadi pewaris tahta menggantikan si Jalipa di negerinya, dan karena merasa tertantang untuk bertualang, Si Raja Hita meminta izin kepada si Jalipa untuk pergi merantau. Usul Si Raja Hita disetujui oleh Si Jalipa dan beliau pun menuntun Si Raja Hita dalam petualangannya ke berbagai wilayah. Akan tetapi dalam perjalanannya, Si Jalipa menghilang dan tibalah Si Raja Hita di Kendit. Beliau lantas membuka lahan dan mendirikan kampung di situ.

Tetap berkeinginan untuk mencari nenek yang hilang, Tuan Raja Hita melanjutkan perjalanan menuju Lau Tawar. Ia kemudian pulang ke Bekerah dan kawin dengan seorang gadis. Ia mendapatkan tiga keturunan, yaitu Timpus, Pekan dan Balige. Ia kemudian mendirikan kampung Pekan dan Balige sesuai nama anak – anaknya tersebut dan menjadikan mereka Raja disana. Si sulung Timpus, ia proyeksikan menjadi pengganti Si Raja Hita. Namun keinginan Timpus yang gemar berpetualang, ia menolak posisi tersebut dan menyerahkan kekuasaan pada adik – adiknya. Suatu hari, SI Raja Hita mendapat berita bahwa Si Jalipa sang nenek berada di kampung Kaban, wilayah Gunung Si Bayak. Akan tetapi tidak lama kemudian beliau meninggal, tanpa pernah merealisasikan keinginan beliau. Timpus yang telah menolak warisan menjadi raja, kemudian pergi berkelana mencari ilmu hingga akhirnya dia menemukan sebatang Bambu yang bersurat dari bilah – bilah hingga daunnya. Ia kemudian mempelajari ilmu tersebut dan menjadi sakti karenanya. Dari situ ia menggelari dirinya dengan gelar Guru Mbelin Patimpus.

Sesudah perkelanaan yang jauh, beliau kemudian menikahi anak Raja Ketusing dan mendapatkan keturunan yang bernama Siberara. Tak lama setelah lahir Siberara, ia pun membuat kampung sebagai tempat anaknya berkuasa kelak. Hal tersebut berlangsung pula setelah kelahiran Si Kuluhu, Batu, Si Salahan, Paropa dan Liang Taneh. Enam kampung dibuat bagi anak- anak yang disayanginya tersebut. Anak ketujuh beliau terlahir sebagai perempuan yang kemudian hari dipersunting oleh anak Raja Tangging,sehingga keturunan mereka menjadi Anak Beru bagi keenam kampung anak – anak Guru Patimpus.

Mendengar bahwa di Tanah Karo sedang terjadi kegaduhan, Guru Patimpus berangkat untuk menenangkan pihak – pihak yang berkonflik. Ia kemudian ingat akan tenah ayahanda Si Raja Hita, nenek moyang beliau pernah ada di Kampung Kaban, sehingga ke Kabanlah perjalanan pertama Guru Patimpus dimulai. Tak lama bertandang ke Kaban, Ia melanjutkan perjalanan ke Ajei Jahei. Disini ia menikah dan mendapatkan keturunan Si Gelit (yang kemudian bernama SI Bagelit). Seperti biasa, ia kelak menjadikan Gelit raja di kampung tersebut. Ia melanjutkan perjalanan ke Teran dan Batukarang, di mana ia kembali menikah dan mendapatkan keturunan Si Aji. Ia pun mendirikan kampung yang diberi Perbapaan Ajei di dekat situ. Tak lama, ia melanjutkan perjalanan ke Per Baji, dimana ia mendapat keturunan pula yang dinamai Raja Hita. Bersama rombongan, mereka mendapat penglihatan bahwa derah tersebut cocok untuk dijadikan daerah berdagang, sehingga mereka pun beristirahat di situ. Sewaktu Guru Patimpus beristirahat di bawah sebatang pohon durian, tanpa tanda – tanda apa pun,jatuh dan pecahlah sebuah durian yang tiada berisi. Heran karena mendapat durian unik, beliau lantas mendirikan sebuah kampung yang dinamai Durian Kerajaan. Setelah semuanya usai, mereka lantas kembali ke Per Baji dan tak lama kemudian beliau mengangkat Si Gelit sebagai Raja disana.

Merasa puas dengan persebaran keturunan beliau yang talah menyebar jauh, Guru Patimpus pun pulang ke Ajei Jahei untuk mengistirahatkan diri. Akan tetapi berita kesaktian seorang Jawi yang datang ke Deli dan berdiam di Kota Bangun mengusik istirahat panjangnya. Kota Bangun merupakan daerah berkeramat besar dan misterius, sehingga siapa pun yang mengaku menjadi penguasa di Kota Bangun bukanlah sembarang orang. Apalagi si Jawi menamakan dirinya Datuk Kota Bangun. Merasa penasaran dengan kabar tersebut, Guru Patimpus pergi ke daerah Kota Bangun namun menahan diri untuk langsung berjumpa dengan orang sakti tersebut. Ia kemudian membangun sebuah daerah diluar Kota Bangun yang kemudian berkembang menjadi Kuala Sei Sikambing, dan mempersiapkan diri sebaik mungkin selama setahun penuh.

Setelah merasa bahwa ilmu yang ia persiapkan cukup, ia pun datang dikawal tujuh pengikut paling sakti untuk menemui Sang Datuk. Merasa sang tamu kehausan, Datuk Kota bangun menyuguhi sang tamu dengan tujuh tandan buah kelapa, yang anehnya tak mampu dihabiskan oleh Guru Patimpus dan ketujuh anak buahnya. Terkesima dengan ilmu yang dimiliki Sang Datuk, ia pun mengaku kalah dalam adu ilmu dan bersedia masuk jawi, atau menganut Islam.

Guru  Patimpus lantas meminta waktu untuk mengadakan runggu terkait hal tersebut kepada sanak keluarganya yang terdapat di Gunung, selama tiga bulan. Dahulu, merupakan aib bagi seorang pengikut kepercayaan tradisional untuk masuk ke dalanm ajaran agama resmi, apalagi yang hanya memiliki Satu Tuhan. Konsekuensi dari aksi tersebut tidak saja hanya dikucilkan dengan sebutan “Masuk Jawi” tetapi juga mendapat hukuman keluar kampung. Mungkin ini mengacu pada kepercaan tradisional yang menyembah Alam sebagai pusat segala kehidupan, jadi untuk menyembah seorang Tuhan bagi anggapan masyarakat tempo dulu adalah konyol. Waktu tiga bulan tidak disanggupi sang datuk, bahwa beliau hanya member tenggat lima belas hari “cuti”. Meski demikian, beliau membantu kepulangan Guru Patimpus beserta tujuh pengikutnya yang dalam sekejab mampu sampai di kampung Ajei Jahei hanya bermodalkan sepelepah daun kelambir. Setiba di kampung, beliau mengundang segenap sanak famili, berikut sangkep nggeluh Pelawi mergana untuk berkumpul disebuah tempat yang ditetapkan. Disitu beliau mengutarakan maksud dan tujuan beliau, serta menggelar pesta besar – besaran. Setelah pesta tujuh hari tujuh malam lamanya,beliau mengucap salam perpisahan dan kembali ke Kota Bangun. Tempat perpisahan itu kemudian dinamakan Perceraian.

Guru Patimpus mengabdi selama tiga tahun kepada Datuk Kota Bangun dan selama itulah beliau berguru dan mendapat ilmu. Tak ketinggalan, beliau juga mengembangkan daerah Kuala Sei Sikambing menjadi daerah yang ramai. Setelah dirasa cukup, Datuk Kota Bangun mempersilahkan Guru Patimpus untuk mengembara kembali dan mempraktikkan ilmu yang beliau dapat demi kebaikan masyarakat. Dalam perkelanaan beliau, sempat pula berjumpa dengan putri Raja Tarigan keturunan Panglima Hali berikut rombongan dayang- dayangnya yang rupawan. Akan tetapi sang putrid justru meremehkan dan melecehkan Guru Patimpus sebagai orang Karo yang ternoda aib karena “Masuk Jawi”. Merasa tersinggung, Guru Patimpus mengguna-guna sang Putri hingga menjadi gila. Kerajaan Tarigan mergana menjadi panik dan kacau, karena segala tabib, guru dan dukun tak ada yang mampu menyembuhkan. Lantas tersiar ke kerajaan, kehebatan seorang guru mbelin yang telah masuk Islam namun memiliki ilmu penyembuhan yang luar biasa. Beliau pun dipanggil untuk mengobati sang putri dan sembuh dari penyakitnya. Supaya jera dari sifat angkuh, Guru Patimpus kembali memantrai sang Putri dan menyembuhkannya secara berulang – ulang. Merasa putus asa, Raja Tarigan kemudian mengawinkan putrinya tersebut dengan Guru Patimpus. Tak lama berselang, lahir dua anak beliau yang diberi nama Timang – Tiamangen Si Kolok dan Timang – Timangen Si Kecil.

Berhubung Guru Patimpus telah menua, datanglah si Bagelit meminta izin ikut masuk Jawi, agar mampu menggantikan posisi Guru Patimpus sebagai penguasa atas daerah Si Sepuluh Dua Kuta. Akan tetapi sang Guru menolak. Setelah menimang lebih lama, Guru Patimpus mengijinkan Si Bagelit memeluk agama Islam dengan berguru pada Datuk Kota Bangun. SI Bagelit lantas membagi dua daerah kekuasaan ayahnya, di Gunung dengan sebutan Urung Sepuluh Dua Kuta dan di Jahe dengan sebutan Urung Sukapiring. Guru Patimpus kemudian juga mengirim kedua anak terakhirnya untuk belajar kepada Datuk Kota Bangun yang ditolak dengan halus oleh si Datuk.Sang Datuk berkeinginan agar keduanya belajar Islam dari Tanah Aceh, yang sedang Berjaya kekuasaannya, dengan harapan akan afiliasi politik dimasa depan dengan Aceh sebagai sekutu. Si Kolok dan Si Kecil kemudian di kirimke Aceh atas rekomendasi Datuk Kota Bangun dan pada kemudian hari, lebih dikenal dengan nama Hafiz Tua dan Hafiz Muda.

Referensi:
Brahmo Putro. 1982. Karo Dari Zaman Ke Zaman Jilid II, Cetakan Ke II. Medan: Penerbit Ulih Saber
Daniel Perret. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas. Jakarta: KPG

Nasrul Hamdani. 2013. Komunitas China di Medan Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930 – 1960. Jakarta: LIPI Press

Rabu, 23 Juli 2014

Kemenangan Jokowi, Kemenangan Rayat Sirulo

Kemenangan Jokowi, Kemenangan Rayat Sirulo

Tak terasa perhelatan akbar Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia telah selesai dengan baik, terkawal dan terkontrol. Pilpres yang baru saja berakhir ini menghasilkan Presiden baru yaitu Ir. H. Joko Widodo (alias Jokowi) dengan wakil beliau yaitu Haji Mohammad Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden yang akan memimpin bangsa Indonesia selama lima tahun ke depan. Kemenangan yang banyak disebut sebagai kemenangan rakyat Indonesia tersebut unggul tipis dengan pesaingnya Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dengan jumlah suara yang tidak terlampau jauh secara statistik, yaitu 70.991.883 (53.15 %) berbanding 62.574.444 (46.85 %). Dengan demikian pada tanggal 22 Juli 2014 secara sah, Jokowi – JK memenangkan Pilpres 2014, pesta demokrasi yang luar biasa ini. Kemudian bagaimana partisipasi rakyat Karo dalam tahapan pesta demokrasi yang hanya bergulir tiap lima tahun ini?

Meski rekapitulasi Sumatera Utara terakhir diumumkan oleh KPU, akan tetapi peran serta orang Karo baik secara individu maupun kelompok tercermin dengan baik. Secara individu, orang Karo memainkan peran vital dalam institusi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, yang dipimpin oleh dua tokoh Karo yaitu Husni Kamil Manik dan Ramelan Surbakti.

Tokoh pertama adalah Ramelan Surbakti, Lebih dikenal secara nasional dengan nama Ramlan Surbakti, putra Karo yang lahir dan besar di sebuah kampung Tanjung Merawa, bersebelah dengan kampung Tiganderket, Kecamatan Payung Kabupaten Karo (kini telah  mekar menjadi kecamatan Tiganderket yang mandiri). Tokoh nasional yang lahir pada 20 Juli 1956 di Desa Tanjung Merawa ini dikenal dekat dan pandai bergaul oleh teman – teman seangkatannya. Dengan penuh kesederhanaan beliau menikmati masa kanak – kanak beliau selayaknya bocah – bocah Karo lainnya, bemain di sawah (muro), mandi di sungai dan menikmati tradisionalitas budaya masyarakatnya. Beliau mulai bersekolah di SR Tanjung Merawa pada tahun 1959 – 1964, SMP Negeri Tiganderket pada 1965 – 1968 dan SMA Negeri I Kabanjahe pada tahun 1969 – 1971. Pada tahun 1972 beliau memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berkuliah pada masa itu merupakan kesempatan langka, terutama bagi masyarakat pedesaan Karo. Merantau ke Pulau Jawa merupakan impian dan apabila berhasil akan menaikkan prestise dan status sosial bagi pemuda / pemudi bersangkutan. Kebetulan sekali, di kampung beliau bertetangga dengan Masri Singarimbun yang telah terlebih dahulu merantau ke Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, beliau aktif sekali dalam membangun fondasi terbentuknya masyarakat Karo Yogyakarta pada masa kini. Beliau menyelesaikan skripsi beliau dengan judul “Faktor – Faktor yang Mempengaruhi DPRD Dalam Menyelesaikan Fungsinya" pada tahun 1977. Kemudian beliau mengembangkan karir beliau sebagai dosen di Universitas Airlangga, Surabaya. Di Unair lah beliau mengajarkan ilmu yang beliau dapat di Kampus Biru, dan jua mendapatkan status pengangkatan PNS pada tahun 1979 dengan pangkat Asisten Ahli Madya. Pada tahun 1981 beliau mendapatkan kesempatan untuk mendalami program Master di Departemen Ilmu Politik, Ohio University Amerika. Di tengah perjuangan mendapatkan gelar S2, beliau mengusulkan agar dibentuk Jurusan Ilmu Politik di Fisip Unair. Dengan komunikasi yang tetap intens, usul beliau diterima, dan beliau dengan segera diangkat menjadi Ketua Program Studi Ilmu Politik Unair, selepas beliau menamatkan program Master beliau. Tak lama berselang, pada tahun 1988 beliau ditawari kembali mendalami ilmu politik di Departemen Politik dengan Spesialisasi Perbandingan Politik, Filsafat Politik, dan Local Politik di Illinois University Amerika. Selesai pada tahun 1991, beliau kembali ke almamater beliau tercinta Unair Surabaya dan mengajar program Master dan Doktoral di sana. Pada tahun 1998 Beliau berkesempatan untuk dikukuhkan sebagai Guru Besar Madya dalam Perbandingan Politik dengan Pidato Penerimaan Jabatan berjudul Reformasi Lembaga Kepresidenan. Setahun kemudian beliau diangkat menjadi Anggota Panitia Pengawasan Pemilu Pusat untuk mengawal proses berdemokrasi pertama era Reformasi. Meski berat dan banyak tantangan, intimidasi serta konspirasi, mereka mampu mengawal berlangsungnya Pemilu pertama tersebut dengan sukses. Kesuksesan ini diikuti dengan undangan masuk Tim 7 Depdagri yang mempersiapkan RUU Parpol, RUU Pemilu, RUU Susduk dan RUU Pemda. Keberhasilan yang disertai kerja keras tentu membuahkan hasil yang maksimal. Pada tahun 2001 kursi Wakil Ketua KPU periode 2002 – 2004 berhasil beliau raih. Prestasi beliau semakin mengkilat setelah dilantik menjadi Ketua KPU 2004 – 2007 yang menghasilkan Jenderal Soesilo Bambang Yodhoyono sebagai Presiden ke – 6. Kursi panas KPU peride berikutnya beliau serahkan kepada orang Karo berikutnya, yaitu Husni Kamil Manik.

Husni Kamil Manik merupakan tokoh sentral dalam pemilu legislatif dan presiden kali ini. Beliau merupakan Ketua KPU Pusat yang beliau jabat sejak 12 April 2012. Beliau lahir pada 18 Juli 1975 akan tetapi beberapa situs hanya mencantumkan Medan, Sumatera Utara sebagai tempat kelahiran. Akan tetapi apabila dilihat bahwa beliau menamatkan sekolah di SDN 04 Kabanjahe dan MTsN Kabanjahe, dapat diduga bahwa beliau lahir dan dibesarkan di ibukota Tanah Karo tersebut. Masa sekolah lanjutan menengah beliau jalani di MAN I Medan dan beliau lanjutkan di Fakultas Pertanian Universitas Andalan, Padang, Sumatera Barat pada tahun 1994. Pada tahun 1998 beliau mulai memasuki dunia keorganisasian seiring dengan melanjutkan studi di PPS Universitas Andalas Padang, dan berhasil meraih posisi Sekjen Senat Mahasiswa Universitas Andalas pada tahun tahun yang sama. Jabatan prestisius berikutnya adalah Pengurus PB HMI pada tahun 2003, anggota KPU Sumatera Barat dua periode berturut 2003 – 2008 dan 2008 – 2013. Beliau juga menjabat sebagai Sekretaris PWNU Sumbar pada tahun 2010 – 2015. Pada 12 April 2012 beliau dipilih menjabat sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat yang bertugas menyiapkan dan melaksanakan proses pemilihan legislatif dan presiden berikutnya seusai masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski banyak terkendala pendistribusian logistik dan tata komunikasi yang kacau, beliau berhasil mengimplementasikan kegunaan Teknologi Informasi dalam pemilu kali ini, menyelenggarakannya dari Sabang hingga Merauke, Miangas hingga Rote, bahkan hingga ke luar negeri. PPLN Luar Negeri mampu menjalankan tugas mereka dengan baik, dan mengatur penyelenggaraan pemilu hingga terlaksana meski terdapat beberapa riak kecil di kantor kedutaan seperti di kedutaan Indonesia untuk Malaysia. Dengan pendekatan teknologi informasi masa kini, beliau juga mampu meningkatkan partisipasi warga Negara Indonesia hingga jumlah yang cukup pantas diapresiasi. Belum pernah ada antusiasme dari warga Negara untuk mengikuti dan mengawal keberlangsungan pemilu seperti yang telah berlangsung tahun ini.

Di luar Ramlan Surbakti dan Husni Kamil Manik yang popular berkat posisi strategis mereka di KPU, terdapat juga Arya Mahendra Sinulingga Pemimpin Redaksi RCTI sekaligus Anggota Tim Pemenangan Probowo – Hatta yang menjadi populer akibat campur tangannya dalam proses pemilihan materi berita yang memuat bocornya materi debat capres – cawapres, yang dapat dikategorikan sebagai black campaign terhadap salah satu kandidat capres – cawapres. Akibatnya Arya Sinulingga dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan namanya langsung berkibar di seantero negeri, terlepas dari pro – kontra aksinya. Setelah kasus tersebut memasuki ranah hukum, nama Arya Sinulingga pun kembali tenggelam.

Salah satu tokoh yang berperan dalam pilpres kali ini yang memiliki kaitan kuat dengan Rakyat Karo Sirulo adalah Jokowi. Kenapa dapat dikatakan kuat, karena beliau setidaknya telah berinteraksi langsung dengan masyarakat Karo secara intens. Pertama pada 15 September 2012 Jokowi datang ke Kampung Karo, Cililitan, Jakarta Timur untuk ditabalkan menjadi merga Perangin – Angin, mengikuti merga yang telah diberikan masyarakat Karo kepada “Ibu” beliau, Megawati Soekarnoputri. Orang Karo merasa dekat dengan Soekarno dan PDI karena dahulu Presiden Soekarno pernah diasingkan di Berastagi, Tanah Karo, Sumatera Utara pada masa revolusi. Interaksi Soekarno dengan masyarakat Karo pun sangat intens meski dikurung di sebuah rumah, terbukti dari jaminan keamanan serta pengamanan oleh para panglima dan simbisa Karo di kantong – kantong perjuangan seputar Berastagi. Partai Demokrasi Indonesia, warisan Soekarno juga terus hidup di sanubari kebanyakan masyarakat Karo. Hingga kini fakta membuktikan basis terkuat Jokowi adalah Solo dan Jawa Tengah sebagai kuta kemulihennya, tetapi sarang PDI paling jaya adalah Sumatera Utara.
Periode kedekatan Jokowi dengan rayat sirulo kedua adalah sewaktu beliau mengunjungi pengungsi erupsi Gunung Sinabung pada 10 Juni 2014. Setelah berbulan – bulan hidup mengungsi, sebagian besar pengungsi sadar mungkin pemerintah pusat telah melupakan mereka. Pola penanganan erupsi Sinabung gagal dicanangkan sebagai bencana nasional, kalah metode dengan penanganan gunung Merapi dan erupsi Bromo. Oleh karena itu, kedatangan Jokowi yang melihat dan berinteraksi langsung dengan pengungsi menjadi oase dan harapan baru bagi terbitnya terang di pengungsian. Tidak saja pos pengungsian umum dan pemerintah, beliau juga menyempatkan berkunjung ke pos - pos pengungsian GBKP sebagai lembaga pengayom terbesar orang Karo, sesuatu hal yang tidak dilakukan Presiden SBY dalam kunjungannya ke Karo. Jokowi berjanji apabila menjadi presiden RI, beliau akan mencoba menerapkan metode baru dalam penanganan bencana erupsi Gunung Sinabung.

Tak dinyana, 22 Juli 2014 KPU mengumumkan bahwa Mama Nangin kuta Solo nari inilah yang memenangkan pemilihan presiden 2014 setelah proses berdemokrasi yang panjang. Beliau meraih selisih suara sebanyak 8 juta suara yang mengesahkan beliau menjadi Presiden Republik Indonesia ke 7 dalam sejarah panjang negeri ini. Kemenangan ini tak lepas dari dukungan rayat sirulo, dimana hasil rekapitulasi KPU menayangkan hasil rekap suara dari Sumatera Utara 2.831.514 (44.76 %) untuk Probowo Subianto dan 3.494.835 (55.24 %) dengan suara sah enam juta orang! Daerah luar Jawa lainnya pun tidak ada yang menembus hingga lima juta suara, sehingga menurut penulis kemenangan ini layak didedikasikan kepada rayat sirulo Karo dengan segenap warga Sumatera Utara. Kemenangan Tambarmalem ini semoga memberi dampak nyata bagi Bumi Turang Simalem, Nini Deleng Sinabung dan Rayat Sirulo. Salam Tiga Jari! Mejuah – Juah!

“Deleng Simole, Ndauh kel beritana..
Nde Kutabuluh nina ture – turena..
Tambarmalem mergana, singiani kutana..
Nde Tarigan mergana, simajekken lulangna..”  
- Deleng Simole.

Special Thanks:
1.  Kompas, edisi Rabu 23 Juli 2014
2.  Wawancara dengan Sejahtera Singarimbun (Yogyakarta) dan Pusaka Suci Singarimbun (Jakarta) 22 Juli 2014
7.  Segenap Rayat Sirulo Karo, dimana pun berada.