Powered By Blogger

Jumat, 19 Oktober 2012


Brevin Tarigan cs. Memukau Candi Prambanan Yogyakarta
Seiring dengan berulang - tahunnya kota Yogyakarta yang ke 256 sekaligus memperingati peresmian Sanggar Sendratari Ramayana yang pertama mengadakan pentas pada tahun 1961, diadakan Festival Sendratari Ramayana bertempat di Candi Prambanan Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival ini digelar secara rally dari tanggal 12 Oktober 2012 hingga 15 Oktober 2012 dan diikuti oleh delapan provinsi di Indonesia, antara lain Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Kalimantan. Acara ini terselenggara berkat kerja sama dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata dengan PT TWC Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko, dimana tiket disediakan gratis bagi masyarakat yang berkehendak untuk menonton.
Sumatera Utara diwakili oleh teman2 yang datang dari semua latar belakang, dan dipilih secara serius, dimana untuk thema penampilan dipilihlah ragam pakaian etnik Karo, Melayu dan Toba, meski ragam pakaian dari etnik Batak lainnya tidak ditinggalkan. Musik ditata oleh Brevin Tarigan dari de’Tradisi Band, sebuah band yang menaruh perhatian di segmen musik pop – etnik. Brevin Tarigan menjadi pemimpin dengan kulcapi dan surdam, didukung dengan suling, gung, penganak, ketteng – ketteng, tagading divariasikan dengan syntheziser. Musik ini lebih berasa soft dan dapat diterima oleh anak muda, tidak hanya bergantung pada alat musik gamelan. Bukti dari kreativitas anak muda ini diterima adalah aplaus berkali – kali dari para penonton dan perwakilan provinsi yang lain atas atraksi yang menggabungkan silat, ndikkar dan tarian kreasi, disisipkan dengan endek Karo yang khas. Meski mereka mengaku terkejut dengan luas panggung Open Theatre Prambanan, tetapi ketenangan dan feel dari para penari cukup diacungi jempol, tidak saja mereka mampu bertahan di tengah panasnya iklim Jogja tetapi mampu mengatasi rasa demam panggung. Penampilan tersebut selesai pukul 20. 23 WIB dan mendapat aplaus yang luar biasa dari para hadirin, tua dan muda, kalangan sipil, militer dan para pejabat yang hadir.
Dari kalangan muda Karo Jogja, acara tersebut dihadiri oleh Ditz Singarimbun, Endi Bastanta Sinuraya, Clara Janie Frica br Ginting dan Vionica br Tarigan, yang meski hanya berempat tetapi sangat entusias dan bangga bahwasanya ragam Karo mampu tampil sebagai representatif yang luar biasa dalam festival hari pertama tersebut. Setelah acara keempat anak muda Jogja ini kemudian diajak oleh Amry Pelawi (sebagai fotografer) untuk berkenalan dengan teman – teman dari Karo, antara lain Brevin Tarigan (kulcapi), Teger Pranata Bangun (perkusi & gung) dan Christiani Elizabeth br Tarigan (vocal). Persaudaraan ala Karo pun terjadi dengan berkenalan dan kemudian berlanjut hingga saatnya pulang. Terima Kasih Brevin Tarigan dan kawan – kawan, bawa terus kebudayaan Karo hingga ke pentas nasional, tetap berjuang membuat budaya Karo lestari di kalangan anak muda Karo di seluruh Indonesia… J
…19102012…
Special Thanks:
1.   Endi Bastanta Sinuraya, Clara Janie Frica br Ginting dan Vionica br Tarigan
2.   Bapak Amry Pelawi, atas segala kebaikannya memperkenalkan kru dan membagi foto
3.  Bang Brevin Tarigan, Teger Franata Bangun dan Christiani Elizabeth br Tarigan yang telah mempersembahkan sebuah tonton spektakuler. Juga atas kemurahan hatinya dalam membagi perkenalan, Bujur Melala Kade – Kade, tetap Berkarya






Senin, 08 Oktober 2012

Dr. Ichwan Azhari: Nama Batak Bukan dari Orangnya

Nama Batak bukan dari Orangnya!

Batak sebagai nama etnik (suku) ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri, tapi diciptakan atau direkonstruksi oleh para musafir Barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke Tanah Batak sejak tahun 1960 - an. Sebab dalam sumber - sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha (tulisan tangan asli Batak) tidak diketemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik Batak. Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak melainkan sesuatu yang diciptakan dan diberikan dari luar. Demikian dikatakan sejarawan dari Unimed, Ichwan Azhari dalam keterangan persnya, Minggu 14/11. Ichwan Azhari yang juga ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan (Pussis - Unimed) yang baru mengakhiri penelitiannya selama 2 bulan pada arsip misionaris Wuppertal, Jerman atas biaya Dinas Pertukaran Akademis (DAAD) Pemerintah Jerman mengungkapkan, selain meneliti arsip misionaris Jerman juga melengkapi datanya ke arsip KITLV di Belanda. Selama meneliti, juga mewawancarai sejumlah pakar Batak di Belanda dan Jerman seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner.
Kata Batak menurut Ichwan, awalnya diambil para musafir  yang menjelajah ke Sumatera dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama bata. Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar dan, tinggal di hutan," ungkap Ichwan. Pada sumber - sumber manuskrip Melayu klasik yang ditelusurinya, seperti manuskrip abad 17 koleksi Leiden juga ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia.Penyebutan itu sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman Semenanjung Malaka. Saat Malaka jatuh, ke tangan Portugis (1511), Puteri Gunung Ledang yang sangat dihina dan direndahkan oleh teks ini, melarikan ke hulu sungai dan dalam teks disebut: "masuk ke dalam hutan rimba yang amat besar hampir dengan negeri Batak. Maka diambil oleh segala menteri Batak itu, dirajakannya Puteri Gunung Ledang itu dalam negeri Batak itu." Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan stereotip atau label negatif sebagai Batak. Untuk itu menurut Ichwan, cukup punya alasan dan tidak mengherankan kalau peneliti Batak terkenal asal Belanda bernama Van der Tuuk pernah risau dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama Batak untuk nama Etnik karena imej negatif yang terkandung pada kata itu. Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama mereka. 
Sedangkan di Sumatera Utara label itu terus dipakai kaena peran misionaris Jerman dan Pemerintah Kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu. Dalam penelitian di arsip misionaris Jerman di Wuppertaal sejak bulan September 2011, Ichwan Azhari melihat para misionaris sendiri awalnya mengalami keragu - raguan untuk menggunakan kata Batak sebagai nama etnik.  Hal ini dikarenakan kata Batak itu tidak dikenal oleh orang Batak ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. "Para misionaris awalnya menggunakan kata bata sebagai kesatuan dengan lander, jadi bata lander yang berarti tanah batak, merupakan suatu nama yang lebih menunjuk ke kawasan geografis dan bukan kawasan budaya atau suku". terangnya. Di arsip misionaris yang menyimpan sekitar 100.000 arsip berisi informasi penting berkaitan dengan aktivitas dan pemikiran di Tanah Batak sejak pertengahan abad 19, Ichwan menemukan dan meneliti puluhan peta, baik peta bata lander yang dibuat peneliti terkenal Jerman bernama Junghuhn, maupun peta - peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn dibuat. Dari peta - peta yang diteliti tersebut, ungkap Ichwan, memperlihatkan adanya kebingungan para musafir barat dan misionaris Jerman untuk meletakkan dan merekonstruksi secara pas sebuah kata Batak dari luar untuk diberikan kepada satu kelompok etnik yang heterogen yang sesungguhnya tidak mengenal kata ini dalam warisan sejarahnya. Dalam peta - peta kuno itu kata Bata Lander hanya digunakan sebagai judul peta tetapi di dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama - nama seperti Toba, Rajah, Pac Pac, Karo, dimana nama batak tidak ada sama sekali. Dalam salah satu peta, kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau.
Kebingungan para misionaris Jerman untuk mengkonstruksi kata Batak sebagai nama suku juga nampak dari satu temuan terhadap peta misionaris Jerman sendiri yang sama sekali tidak menggunakan judul bata lander sebagai judul peta dan membuang semua kata batak yang ada dalam edisi penerbitan peta itu, di dalam laporan tahunan misionaris. Padahal sebelumnya mereka telah menggunakan kata batak tersebut. Kata Batak yang semula nama ejekan negatif penduduk pesisir kepada penduduk pedalaman dan kemudian menjadi nama kawasan geografis penduduk dataran tinggi Sumatera Utara yang heterogen  dan memiliki nama - namanya sendiri pada awal abad 20 bergeser menjadi nama etnik dan sebagai nama identitas yang terus mengalami perubahan. Setelah misionaris Jerman berhasil menggunakan nama Batak sebagai nama etnik, pihak pemerintah Belanda juga menggunakan konsep Jerman itu dalam pengembangan dan perluasan basis - basis kolonialisme mereka. Bahkan dalam penelitian itu, ujar Ichwan ditemukan nama Batak digunakan sebagai nama etnik para elit yang bermukim di Tapanuli Selatan yang beragama Islam. Dalam sebuah majalah yang diterbitkan di Kotanopan, Tapanuli Selatan, tahun 1922, oleh pemimpin orang - orang Mandailing seperti Sutan Naposo, Gunung Mulia dan lain - lain, mereka menggunakan kata Batak sebagai identitas. Bahkan nama media mereka diberi nama Organ Bataksche-Studiefonds dan uniknya mereka tidak menggunakan marga Mandailing mereka di belakang nama. (rmd.analisa)

Artikel diatas ditulis oleh Dr. Phil Ichwan Azhari, salah seorang sejarawan dan budayawan Sumatera Utara dan merupakan ketua dari Pusat Studi Sejarah dan Ilmu - Ilmu Sosial Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan (Pussis - Unimed). Tulisan ini merupakan buah tangan beliau ketika meneliti di Arsip Misionaris Wuppertaal Jerman dan disumbangkan sebagai  salah satu bibliografi yang dapat memperkaya khazanah diskursus mengenai Batak dan Non Batak. Artikel ini dipilih oleh Saia, karena saia merasa bahwa artikel ini cukup komprehensif membahas mengenai perkembangan terminologi Batak dan kaitannya dengan sub etnis di dalamnya. Semoga konflik Batak dan Non - Batak ini tidak memecah kesatuan di dalam NKRI serta Sumatera Utara pada khususnya..

Sumber
http://bataknews.tumblr.com/post/1606040626/nama-batak-bukan-dari-orangnya
Diposkan oleh SOPO PANISIOAN di 03:24