Powered By Blogger

Rabu, 24 April 2013

Legenda Kedatangan Marga Karo Karo Purba


Legenda Karo: Sejarah Purba Karo Mergana
Menurut alkisah, konon kabarnya pada masa dahulu, Sang Raja Purba di Simalungun terus – menerus didera sakit berkepanjangan. Ada dugaan yang mengatakan bahwa masa kebahagiaan sedang dilanda kesuraman akibat lahirnya putra bungsunya, dianggap membawa kesialan bagi kehidupan Raja dan kerajaan secara luas.

Oleh karena itu, dipanggillah dukun sakti untuk meramalkan dan mencari obat kabut kesedihan itu, maka dipanggillah dukun sakti Guru Pakpak Pitu Sedalanen. Ditenung dan diramallah masa depan keluarga si Raja Purba. Guru Pakpak Pitu Sedalanen mengatakan bahwa kelahiran putra bungsu Raja Purba memang membawa sial dan malapetaka buat keluarga Raja Purba. Oleh sebab itu, putra bungsu harus disingkirkan atau dibuang jauh dari keluarga Raja Purba. Bahkan mereka menyarakan agar jangan diakui lagi sebagai anak keturunan Raja Purba.

Oleh karenanya Raja Purba menyerahkan kepada dukun sakti, Guru Pakpak Pitu Sedalanen bagaimana baiknya. Akhirnya, diambillah keputusan, yaitu putra bungsu akan dibuang dan diasingkan jauh dari keluarga raja Purba, sebagai gantinya Guru Pakpak Pitu Sedalanen yang akan menemaninya selama perjalanan. Pada waktu ia disingkirkan, putra bungsu itu baru berumur 13 tahun, dia dibawa jauh dari daerah Simalungun dengan melewati Gunung Barus ke arah matahari terbenam, seperti terbenamnya hati putra bungsu ke dalam duka sedih yang sangat menyayat hati, melebihi rasa sakit yang diderita saat dicucuk onak dan duri sewaktu berjalan melalui rimba raya yang lebat itu.
Setelah beberapa hari dalam perjalanan, tibalah mereka pada suatu tempat yang datar yang dirasa sebagai tempat pembuangan dan pengasingan putra bungsu. Dibuatlah gubuk untuk tempat si putra bungsu. Setelah gubuk itu selesai, pulanglah dukun sakti Guru Pakpak Pitu Sedalanen. Maka menangislah putra bungsu meratap kepada sang dukun sakti, agar ia jangan ditinggalkan, dipeluknya kaki dukun itu, dan disembahnya berkali – kali yang disertai deraian air mata. “Oh kakek… jangan tinggalkan aku… jangan… kasihanilah aku…, oh… sampai hatikah nenek meninggalkan aku  sendirian disini… di tengah hutan tua rimba raya ini, penuh binatang buas. Oh… daerah tak bertuan…, siapa kawan yang akan menjagaku disini Kakek…? Apakah sebenarnya salah dan dosaku maka aku dibuang dan dijauhkan dari sanak saudaraku?... oh…. Kakek….?

Setelah mendengar ratapan itu, dukun sakti Guru Pakpak Pitu Sendalanen itu pun tak dapat membendung air matanya, dia jadi kasihan kepada anak malang itu, lalu diusap – usapnya rambut dan kepalanya sang putra bungsu itu seraya perlahan – lahan memberi penjelasan. “Yah…, sungguh kasihan kau Nak…, nasibmu sungguh malang, tetapi apa boleh buat, nasib dan takdirmu sudah disuratkan demikian…, kau harus dibuang dari sanak saudara dan keluargamu… Sejak saat ini kau tidak boleh lagi mengakui mereka itu sanak saudaramu atau keluargamu…, kau harus hidup menyendiri… Pandai – pandailah hidup… Kau harus tinggal disini sendirian, Kau tak usah takut… Kami telah menyediakan perbekalanmu untuk tujuh tahun. Setelah itu, kau harus cari sendiri. Ini pedang, pisau, dan panah untuk menjaga dirimu, dan kau tidak usah takut akan binatang buas, di sekeliling tempat ini akan kami tanam bambu sebagai pagar.”
Setelah Guru Pakpak Pitu Sendalanen selesai berbicara, dia menancapkan tongkatnya ke tanah sehingga memunculkan tujuh buah mata air disitu, kemudian mengurung tempat tersebut dengan tanaman bambu kuning berduri, lebat dan rapat dengan maksud agar sang putra bungsu tak dapat lari atau kembali ke Simalungun dan terhindar dari serangan binatang buas. (Tempat itu sekarang masih ada, kini dinamakan Buluh Duri dan dihiasi tujuh mata air bening di Lau Gendek Berastagi. Tempat tersebut masih dianggap keramat oleh masyarakat sekitar).

Setelah semua tugasnya selesai maka Guru Pakpak Pitu Sedalanen beranjak pulang dan meninggalkan putra bungsu Purba mergana sendirian terkurung oleh pagar bambu berduri. Mereka melanjutkan perjalanan pergi berkelana ke Tanah Karo.

Bertahun – tahun Purba mergana itu hidup menyendiri di balik pagar bambu berduri. Pada waktu senggangnya, ia belajar memanah dan memakai senjata – senjata lainnya sebagai bekal untuk berburu kelakapabila perbekalan yang hanya tujun tahun itu habis. “Kelak… sampai kapan pun aku tak akan pulang kembali kepada mereka, sanak saudara dan keluargaku itu, begitu sampai hati mereka membuang aku merana begini,” pikirnya. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun…, akhirnya sampailah sudah tujuh tahun dia menyendiri di situ dan perbekalan yang tersedia pun sudah habis. Oleh sebab itu, dia harus dapat keluar dari pagar bambu berduri tersebut agar dapat berburu ke hutan. Secara terpaksa mulailah ia merintis pohon – pohon bambu berduri itu agar dapat lewat keluar mencari binatang buruan. Kini, dia telah cukup dewasa, gagah dan kekar. Ia tak perlu takut akan binatang buas. Setelah mendapat binatang buruan, ia pun segera kembali ke gubuknya.

Demikianlah hal tersebut berlangsung sampai beberapa tahun hingga pada suatu hari, sewaktu hendak berburu seekor burung yang cantik berbulu wana – warni, ia telah sampai ke Gunung Singkut tanpa diduga – duganya. Hal ini terjadi karena burung yang diincarnya membuat penasaran sebab sang burung selalu mengelakkan panah si pemburu dengan cara melompat dari satu pohon ke pohon lain ke arah Gunung Singkut. Dalam perburuan burung itu, tanpa disadarinya tiba – tiba matanya melihat sesosok tubuh wanita cantik yang sedang duduk dan mengeringkan tubuh dan rambutnya dekat sebuah mata air yang jernih dan bening. “Apa maksud Tuan kemari?” kata wanita cantik itu seraya tersenyum manis kepadanya. Purba mergana hanya melongo tak dapat menjawab karena terlampau kaget menemukan wanita di tengah hutan lebat itu dan tiba – tiba telah dihujani pertanyaan – pertanyaan oleh wanita secantik bidadari dari kayangan itu.

“Mengapa diam saja Tuan?” sambung wanita itu lagi. karena merasa pertanyaannya tidak dijawab oleh Purba mergana, sang pemburu tampan dan gagh itu. “Oh… oh… tidak,” kata Purba mergana tergagap – gapap. “Aku terkejut melihat ada wanita sendirian di tengah hutan lebat begini,” sambungnya lagi seraya menghampiri wanita cantik itu, manusia pertama yang ditemuinya sejak tujuh tahun lebih di pembuangan Tanah Karo. Kemudian mereka pun bercakap – cakap dengan intimnya dimana Purba mergana kemudian menceritakan bagaimana dia bisa sampai ke gunung itu dan juga menceritakan tentang dirinya sebagai anak buangan dari Raja Purba di Simalungun. Sang Puteri mendengarkan dengan penuh perhatian dan juga merasa tergugah hatinya mendengar kisah sedih Purba mergana tersebut. Karena terlalu asyik bercerita, mereka pun tak sadar bahwa hari telah siang, matahari telah lewat tengah hari, perut pun sudah terasa lapar dan minta diisi.

“Ayolah mampir dulu ke rumah kami untuk makan,” ajak sang puteri kepada Purba mergana, pemburu gagah dan tampan itu. Dia juga tak keberatan walaupun untuk selama – lamanya berada bersama puteri cantik bak bidadari dari kahyangan tersebut. Baru beberapa langkah melangkah tibalah mereka di sebuah gua yang cukup bersih, gua itu tak jauh dari tempat pertemuan mereka tadi. Masuklah mereka ke dalam gua dan Purba mergana tiba – tiba terkejut – hampir melompat apabila tidak dipegangi sang bidadari, karena di dalam gua yang samar – samar tersebut terdapat seekor ulang besar tetapi pendek yang sedang melingkar seakan – akan menanti kedatangan mereka berdua. Didekatnya diatas batu, bertenggerlah burung yang tadi diuber – uber oleh Purba mergana. Burung kakak tua – yang dalam bahasa Karo disebut Kak, berbicara “Silakan masuk, duduklah.” Ini membuat si Purba mergana terheran – heran sedangkan sang bidadari hanya tersenyum – senyum saja sambil menghamparkan tikar untuk tempat mereka duduk.

Setelah mereka duduk, maka mereka pun makan bersama beberapa buah – buahan seperti jambu, pisang dan lainnya. Sembari makan, sang bidadari bercerita bahwa ular itu adalah ibunya dan burung itu adalah ayahnya yang sengaja memancing Purba mergana datang ke Gunung Singkut guna merencanakan perjodohan antara Purba mergana dengan sang bidadari yang cantik jelita. Setelah tercapai kata sepakat, maka Purba mergana dijodohkan dengan sang bidadari sebagai suami – istri yang kelak menjadi SEJARAH NENEK MOYANG PURBA MERGANA DI TANAH KARO. Orang tua sang bidadari menyarankan agar mereka hidup bersama manusia lainnya dan menempuh cara – cara hidup manusia, yaitu tidak terpencil dan tidak mengasingkan diri di Gunung Singkut maupun di Buluh Duri tempat Purba mergana.

Sesudah merasa cukup memberikan petuah – petuah dan wejangan, Purba mergana dan sang bidadari yang telah menjadi suami – istri disuruh berangkat ke perkampungan manusia terdekat. Dengan sayup – sayup mata memandang, tampakah bumbungan asap dari Gunung Singkut, yakni di sebelah barat daya kampung Kaban, yang dihuni  oleh Merga Kaban dan Ketaren. Keesokan harinya berangkatlah Purba mergana bersama istrinya ke kampung Kaban dan setelah sampai disana mereka pun menemui penghulu kampung untuk meminta izin mendirikan rumah di kampung tersebut. “Kalau Anda mau menjadi warga kampung ini, kami terima dengan baik dan bangunlah barung kalian ke arah Kenjahe. (Maksudnya dirikanlah rumah ke arah hilir dari kampung tersebut). Sejak saat itu, berdirilah gubuk mereka di kampung Kaban arah Jahe (kini dikenal dengan nama Kabanjahe, Ibukota Kabupaten Karo), dekat sebuah pohon besar yang memiliki mata air sendiri. konon, apabila Mami Purba mergana datang, dia berada di lubang pohon kayu besar tersebut dan Purba mergana beserta istrinya akan membalas kunjungan mertuanya ke Gunung Singkut.

Selama menetap di Kabanjahe mereka dianugerahi enam orang anak laki – laki dan seorang anak wanita sehingga Purba Mergana di Tanah Karo diberi julukan “Purba Si Enem” dan kepada keturunannya diperingatkan pantang membunuh ular, sehingga sampai sekarang Merga Purba di Tanah Karo sangat dipantangkan untuk memukul ataupun membunuh ular. Juga diperingatkan agar mereka juga jangan pernah mengaku berasal dari merga Purba Simalungun dan jangan memberi malu kepada Raja Purba Simalungun, sebab mereka sudah dibuang dari dinasti merga Purba Simalungun tersebut. Para wanita yang beru Purba juga terlahir cantik – cantik karena mereka keturunan dari bidadari.
Lama – lama barung tersebut berubah menjadi perkampungan sendiri milik keturunan Purba mergana dan diberi nama Kabanjahe. Rupanya para keturunan Purba mergana mengembangkan kampung tersebut dengan mendirikan barung – barung lainnya di sekitar barung utama, sesuai dengan nama mereka masing – masing, yaitu Katepul, Samura, Ketaren, Berhala, Sumbul, Kaban, Raya, Berastagi, Lau Gumba, Peceren, Daulu dan Ujung Aji, serta menyebar ke seluruh penjuru Tanah Karo. Demikianlah asal usul mengenai Purba mergana di Tanah Karo dengan perkampungan mereka yang pertama di Kaban arah Jahe, yang termasuk salah satu marga termuda di daerah Karo pada umumnya dan di daerah Urung Sepuluh Dua Kuta pada khususnya.

Disarikan dari:
Drs. Tabir Sitepu (et.al), Sastra Lisan Karo. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 142 – 148.