Powered By Blogger

Senin, 26 September 2016

Review Serdadu Belanda di Indonesia 1945 - 1950

Review Serdadu Belanda di Indonesia 1945 - 1950
Berikut Efeknya Bagi  Generasi Muda Karo Kini.

Periode tahun 1945 sampai 1950 dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai periode Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Periode penuh dengan darah, pengorbanan para pendahulu bangsa yang berkeinginan mempertahankan kemerdekaan bangsa dari penjajah. Sebaliknya bagi masyarakat Kompeni, mereka menyebut periode tersebut dengan Periode Bersiap, suatu masa yang sangat aneh terdengar di telinga penduduk bumiputera. Periode Bersiap ditelaah sebagai masa persiapan kolonisasi kembali pihak Belanda untuk menganeksasi Indonesia dengan melakukan ekses - ekses (gerakan polisionil) di Indonesia. Meski demikian, kedua belah pihak pasti sepakat bahwa masa ini adalah masa yang menghancurkan berbagai infrastruktur Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Pengorbanan yang tiada terperi hingga kini masih terpatri di jiwa para patriot veteran palagan Hindia yang sekarang masih hidup.

Kehidupan yang dijumpai pasca perang kemerdekaan tidak serta merta merubah gaya hidup para pejuang palagan Hindia tersebut. Tidak sedikit dari mereka yang hidup menderita, menanggung dosa - dosa kelam masa lampau, bahkan mengalami trauma hebat pasca perang yang lazim disebut Post - traumatic stress disorder (PTSD). Penyakit ini tidak hanya menjangkiti pihak yang kalah (prajurit Belanda) tetapi juga menghampiri para veteran NKRI sebagai pihak yang menang. Tidak sedikit dari mereka yang hidup sengsara meski telah mengorbankan segala yang dipunya demi kemerdekaan Indonesia. Banyak jagoan - jagoan medan laga yang harus menyambung hidup dengan menjadi tukang parkir, preman, pentolan geng bahkan menjadi bandit dan pemberontak. Penyakit pasca perang yang menggerogoti banyak pejuang laga kemudian menyebabkan mereka terkucil dari masyarakat sosial dan hidup terkekang dalam kemiskinan dan diam. Diamnya para saksi sejarah yang berharga bahkan hingga maut menjemput dirasa sangat disayangkan karena mereka pasti dapat menjadi saksi yang kredibel untuk penelitian - penelitian bertemakan perang. Bukan untuk mengecilkan artian mereka menjadi subyek penelitian laikya tikus percobaan, tetapi pengalaman dan ingatan otentik mereka menjadi tirai pembuka bagi konsiliasi sejarah antara bangsa Indonesia dengan Belanda. Melalui kesaksian mereka, dapat dijelaskan berbagai peristiwa yang terlupa dari catatan sejarah, hal - hal yang dahulu terlewat dari jepretan kamera.

Bedah Buku Serdadu Belanda di Indoenesia tahun 1945 - 1950 merupakan sebuah kesempatan yang menarik untuk merekonstruksi dan mengkaji kembali suatu periode kelam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Aksi yang difasilitasi oleh Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya bekerja sama dengan badan arsip Belanda, KITLV menginginkan adanya gelora rekonstruksi di kalangan cendekia muda Gadjah Mada untuk mengkaji ulang peristiwa - peristiwa penting di kurun Periode Bersiap dengan mencoba menampilkan karya tangan dari sisi Belanda (Pemerintah Kolonial maupun prajurit Belanda). Penggunaan unsur cerita yang ditampilkan dari sisi yang "anti - Republik" diharapkan mampu menggugah adanya kesadaran untuk mengkaryakan masa mempertahankan Kemerdekaan dari sisi Indonesiasentris. Hal ini dimaksudkan sebagai jembatan untuk melakukan rekonsiliasi sejarah di masa depan, sehingga generasi setelah kita tidak perlu lagi mengkotak - kotakkan antara Kompeni dan Kuli, Toean dan Baboe, Belanda dan Indonesia. Tidak luput pula sebagai pengingat bahwa perang itu kejam, tidak manusiawi dan tidak mengenal ampun.

Penulisan review ini juga ditujukan kepada generasi Karo sekarang yang menjadi "peminat" sejarah agar juga mau menulis kisah - kisah palagan di front Karo agar tidak terlupakan dalam catatan historiografi sejarah Indonesia. Banyak kisah perjuangan simbisa Karo yang luput dari pemberitaan, bahkan banyak yang terlupa dari lembaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebut saja palagan Karo Area (yang juga termasuk di dalam periode Bersiap), generasi setelah bapak dan ibu kita tentu tidak lagi mengetahui adanya front yang membumi - hanguskan daerah Karo, hingga ke daerah di Deli Tua dan Langkat. Kejadian berdarah yang menyebabkan pemberontakan di kalangan rakyat jelata yang kemudian berkobar menjadi apa yang dikenal sebagai Revolusi Sosial Masyarakat Timur, berujung pada musnahnya kerajaan - kerajaan lokal di wilayah Karo, Tapanuli, Deli, Langkat, Serdang dan sebagainya. Raja dan semua kerabat keluarga dibantai habis oleh para anggota massa yang memendam bara amarah setelah diperbudak selama bertahun - tahun. Bangunan kerajaan dibakar dan seluruh isinya dijarah oleh massa, sedangkan pihak yang mampu menghentikan aksi kejam tersebut baru datang setelah sekian lama. Pada masa inilah kita kehilangan banyak sekali catatan - catatan kerajaan, kisah - kisah pujangga, arsitektur tradisional dan bahkan garis keturunan raja yang mungkin di dalamnya terdapat kekayaan budaya yang tiada tara.

Tetapi dibandingkan wilayah lain, daerah tinggi Karo tidak terlalu disebut keikutsertaannya, padahal seperti yang kita ketahui, bayak sekali kekayaan kerajaan yang ikut terjarah dan musnah di dalam revolusi sosial tersebut. Ini menandakan bahwa ada peristiwa - peristiwa penting di Karo sendiri masih banyak yang terlingkup tabir misteri. Keganasan Payung Bangun dan pasukan F - Kikan Barisan Harimau Liarnya yang ditakuti oleh pemerintah Kolonial yang kemudian mencap beliau sebagai "pembuat onar", Pasukan Halilintar Jenderal TNI Selamat Ginting dari desa Munte juga luput dari catatan masyarakat Karo, padahal Tugu Kilat (desa Munte) dan patung Kilap Sumagan berdiri megah di jambur beliau di Jalan Padang Bulan Medan. Rakoetta Meliala sebagai salah satu tokoh nasional senior pada masanya, kini dilupakan oleh generasi muda mengenai sumbangsih beliau. Djaga Depari yang merupakan pencipta dan tokoh seniman Karo yang kemudian tidak jelas keberadaannya pada masa Kemerdekaan hanya diingat karya beliau, bukan bagaimana beliau juga berupaya menggempur budaya Kolonial via seni. Belum lagi catatan - catatan mengenai tokoh - tokoh yang kemudian dijadikan nama jalan di sepanjang Kabanjahe dan Brastagi juga terasa kurang mengena di warga Karo sendiri. Kapten Mumah Purba, Letnan Rata Perangin - angin, Kadir (Bukit Kadir) sepertinya terlupa dibalik hiruk - pikuknya pembangunan di ibukota Kabupaten Karo tersebut.

Oleh karena itu, diharapkan ada sebuah aksi nyata untuk menghidupkan kembali semangat kemerdekaan dan penghargaan terhadap para tokoh tersebut yang dapat dituangkan ke dalam media - media kreatif kekinian oleh anak - anak muda Karo lainnya. Ketokohan para pahlawan bangsa tersebut dapat digali, dikaji dan divisualisasikan dalam format film, digital, gambar, sablon, patung, karya kriya, karya rupa ataupun bentuk tari - tarian masa kini, sebagai pengingat bahwa tidak sedikit dari mereka mengorbankan segala sesuatunya demi merdeka nya Ibu Pertiwi. Ayo anak muda, mari meneliti, mari berkarya, demi Indonesia BISA!

Sumber:
1. Gert Oostindie. Serdadu Belanda di Indonesia 1945 - 1950. KITLV: Jakarta, 2016

2. Karl. J. Pelzer. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863 - 1947. Sinar Harapan: Jakarta, 1985

3. Anthony Reid. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Sumatera. Sinar Harapan: Jakarta, 1979

4. Djamin Gintings. Bukit Kadir. CV Umum: Kabanjahe, 1968


5. Terkhusus untuk Savedia Lania Olga br Sembiring Meliala yang kini telah jauh berada di negeri Hiu - Buaya, salam sayangku dan terima kasih untuk selalu menyemangatiku.