Powered By Blogger

Jumat, 29 Juni 2012


Komunikasi dan Informasi di Kalangan Karo Jakarta

          Orang Karo dapat dikatakan sebagai orang yang gemar berkomunikasi. Tanpa mengada – ada, hingga tahun 1915 telah muncul berbagai karya tulis maupun perkumpulan organisasi Karo di Sumatera Utara ( dahulu bernama Sumatera Timur) yang menampung hasrat orang Karo dalam berkomunikasi sekaligus bersosialisasi. Komunikasi sebagai perantara beredarnya informasi dan sarana berkomunikasi (bersosialisasi) dalam masyarakat Karo dikenal / dikemas dalam dua tipe, yaitu komunikasi verbal dan non verbal.
          Komunikasi verbal tentunya memiliki fungsi untuk memaknai bahasa Indonesia (sebagai bahasa Nasional) dan cakap Karo sebagai local genius di Tanah Karo. Sedangkan untuk media non – verbal, sarana yang menjadi pilihan paling populer adalah sarana koran (sebagai media cetak)  yang sangat digemari oleh orang –orang yang sering singgah di kedai kopi. Majalah yang telah beredar lama di Batavia, bahkan ketika pemerintah Kolonial masih bercokol di Indonesia adalah majalah yang bernama Mergasilima. Pada tahun 1960 –an kemudian muncul majalah Terlong: Tugas dan Tekad sebagai wadah menampung tulisan para intelektual Karo. Pada tahun 1970 dimotori oleh N. J. Sembiring, para mahasiswa Karo di Jakarta menerbitkan buletin Piso Surit, cukup eksis selama 10 tahun. Setelah satu dekade lamanya, Piso Surit hilang dari peredaran namun dengan segera tergantikan oleh koran Simaka dan Kamka. Akan tetapi seperti halnya para pendahulunya, kedua koran tersebut tidak bertahan lama dan kembali hilang dari peredaran.
          Pada 2 Oktober 1994 beberapa tokoh Karo diantaranya Neken Jamin Sembiring Kembaren, Jeki Depari, Simson Ginting dan Aswin Ginting mengadakan suatu pertemuan, ditindak – lanjuti dengan pertemuan dengan beberapa mahasiswa di Kampus UNTAG Jakarta, sepakat untuk menerbitkan sebuah tabloid Karo dengan nama Sora Mido. Nama ini sekaligus sebagai upaya mengenang para pahlawan yang berjuang di medan laga era kemerdekaan. Meski melewati gelombang tekanan yang bertubi – tubi, Tabloid Sora Mido tetap mampu eksis hingga sekarang diproduksi secara massal di Jalan Jatiwaringin Raya, Pondok Gede. Keseriusan dan ketahanan Sora Mido kemudian memacu semangat beberapa tabloid Karo untuk dapat bangkit kembali, hingga pada tahun 2002 muncul kembali Simaka dalam format majalah, berproduksi di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
          Berkembangnya media pers sebagai sarana komunikasi menjadi indikator yang menguatkan Komunitas Karo telah berkembang dengan pesat, terutama di  Jakarta dan menyebar hingga kota – kota di Pulau Jawa seperti halnya di Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dll. Ini mengindikasikan bahwasanya para cendekia Karo telah menyebar di kota – kota besar tersebut serta bergabung di dalam pusat – pusat studi yang terkait dengan perguruan tinggi masing – masing kota. Hal ini menyimpulkan, bahwa informasi – informasi yang dihasilkan tidak lagi hanya mengenai / mengulas mengenai Tanah Karo tetapi juga seputar perkembangan Komunitas Karo yang sedang berkembang serta terintegrasi dengan ilmu pengetahuan yang semakin populer.

Sumber:
Daniel Perret. Kolonialisme dan Etnisitas. Jakarta: Komunitas Bambu. 2010
Sarjani Tarigan (editor). Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisme. Ergaji. Tanpa Penerbit. 2008
Wawancara lisan dengan Bapak N. J. Sembiring di rumah Beliau (tanggal wawancara tidak ada).

Special Thanks to:
Bapak Neken Jamin Sembiring Kembaren (Narasumber Utama)


DESKRIPSI INSTRUMENT MUSIK TRADISIONAL KARO

Penggolongan musik menurut jenis, bentuk,serta cara memainkan alat musik tersebut dapat digolongkan seperti di bawah ini.
  1. Alat musik tiup
  2. Alat musik pukul
  3. Alatmusik petik
  4. Alat musik gesek

  I. Alat musik tiup:
  1. Sarune
  2. Surdam
  3. Balobat
  4. Pingko pingko
  5. Embal embal

 II. Alat musik yang dipukul:
  1.  Keteng keteng
  2. Mangkok
  3. Gung
  4. Penganak
  5. Gendang
  6. Gendang pendua duai
 III. Alat musik yang di petik
  1.  Kulcapi  

 IV. Alat musik yang di gesek

1.  Murdab
 2. Tali bengkuang.
Pada masyarakat karo ada dua buah ansamble musik yaitu;  Gendang telu sedalanen lima sada perarih dan Gendang Keteng - keteng.

1. Ansamble musik Gendang telu sedalanen  lima sada perarih,mempunyai  lima buah alat musik yaitu;
  1. Sarune
  2. Gendang anak
  3. Gendang indung
  4. Gung
  5. Penganak.
Yang memainkan alat musik ini  berjumlah lima orang, mereka ini disebut SIERJABATEN.  Sierjabaten  pasa masyarakat Karo artinya yang mempunyai tugas tertentu atau talenta.   Sierjabaten yang di maksud adalah yang mempunyai tugas tertentu.  Secara garis besar mempunyi talenta,  ada yang ahli dalam musik , ahli membuat rumah. Ahli membaca situasi, semuanya ini di namakan si erjabaten.  Sierjabaten dalam pemusik Karo tergolong di dalamnya;  penggual (yang memukul gendang), penarune( yang meniup sarune), simalu gung(yang memukul gung), simalu penganak (yang memukul penganak).    Biasanya pemusik Gendang telu sedalanen Lima sada perarih, di undang dan dikasi upah ( sabat sabat  namanya ) berupa
1         garam untuk pemusik sarune
2         beras untuk pemukul gendang anak
3         ayam untuk pemukul gendang indung
4         sedikit uang untuk simalu gung

2. Gendang keteng keteng
Gendang keteng keteng mempunyai alat musik yang berjumlah  empat buah yaitu;
  1. Kulcapi/surdam/balobat.
  2. Keteng keteng  dua buah
  3. Mangkok satu buah
Alat musik ini dimainkan oleh  empat orang pemusik,1  perkulcapi( yang memetik kulcapi),  perketeng keteng ( yang memainkan alat musik keteng keteng) simali mangkok( yang memukul mangkok) juga mereka ini di sebut sierjabaten.  Pemusik ini biasa di panggil untuk upacara erpangir kulau, dan upah (sabat sabat) diberikan berupa;

1. Satu sumpit yang isinya ( satu sisir  pisang, cimpa, gula, tualah serta dagangen)
2. Kalau untuk penggualnya diberikan oleh perkulcapi sedikit sedikit isi sumpit tadi,

V. Alat musik tiup

1. Sarune

Sarune adalah alat musik tiup yaitu untuk menghasilkan nada atau suara  diproleh dengan cara meniupnya.   Alat musik ini mempunyai lobang nada delapan buah, dan mempunyai nada lebih dari satu oktav.   Mempunyai tangga nada mayor dan minor
Alat musik ini biasanya dimainkan secara berkelompok musik yaitu tergabung dalam ansamble musik  Gendang telusedalanaen lima sada perarih. Sarune dalam klompok musik ini berperan sebagai  pembawa melodi lagu.  Sarune  boleh dimainkan lagu lagu bertempo lambat maupun cepat.

2. Surdam
Jenis musik  surdam mempunyai beberapa jenis yang ada pada masyarakat Karo yaitu:
A  Surdam puntung
B   Surdam rumamis
C   Surdam tangko kuda

A. Surdam  Puntung

Surdam puntung terbuat dari satu ruas bambu yang di ukir, dan mempunyai lobang nada berjumlah enam buah .  mempunyai tangga nada mayor dan minor.  Surdam ini biasanya dipakai seorang secara solo, pada malam hari oleh anak lajang ketika mau menjenguk pacarnya.  Juga dipakai oleh pengembala sapi  pada waktu mengembala sapinya, dan dapat dimainkan dengan ansambel musik gendang keteng keteng .

B. Surdam rumamis

Surdam  rumamis ternuat dari seruas bambu yang ukurannya kira2 sebesar ibu jari tangan dan panjangnya satu hasta.  Surdam rumamis mempunyai lima buah lobang nada ditambah satu lubang tuldak yang berbentuk segi tiga. Hanya mempunyai tangga nada minor, dan hanya dapatr memainkan lagu tangis2 guru saja.  Alat musik ini dimainkan hanya solo tidak ada group musi ini Seperti gambar di bawah ini

C. Surdam tangko kuda

Surdam ini terbuat dari bambu yang ukuran ruasnya kira2  90 cm dan mempunyai lobang nada  lima buah ,  dan satu buah lobang nada dari lima buah tadi dimainkan dengan ibujari kaki kiri.  Lagu yang di mainkan hanya lagu tangis tangis saja, Dari namanya, ada kisah cerita sedikit.  Menjelang pagi ada seseorang yang ingin mencuri seekor kuda, karena mendengfar lagu2 yang di lantunkan oleh seorang penurdam ,  sakin enaknya rasa pencuri ini tadi dia merasa terharu,  sehingga hari sudah terang , kuda pun tidak jadi di curi.  Alat musik ini hanya dapat dimainkan solo, tidak pernah ada  klompok musiknya. 

3 Balobat

Balobat adalah alat musik sejenis recorder,  terbuat dari seruas pucuk bambu berukuran sejengkal jari tangan .  Alat mudik ini biasa di mainkan solo dan bisa juga dengan ansamble musik keteng keteng.  Mempunyai tangga nada lagu minor maupun mayor , mempunyai lobang nada  ada enam buah.

4. Pingko pingko

Alat musik pingko2 terbuat dari satu ruas pucuk bambu besar dan dibentuk seperti balobat , hanya lebih panjang dan mempunyai lobang nada hanya lima.  Dan hanya mempunyai tangga nada minor saja. Lagu lagu yang di mainka hanya tangis2 saja.  Alat musik ini dimainkan oleh pengembala sapi pada saat siang hari .

5. Embal embal

 Embal embal adalah alat musik yang terrbuat dari batang padi. Alat musik ini biasanya dibuat oleh orang tua untuk bermain2 ketika panen tiba. Alat musik embal embal diciptakan tidak mempunyai ukuran lobang , hanya di buat buat saja, dan tidak dapat memainkan lagu2 karena tidak ada tangga nada.... yang memainkannya hanya anak2.

VI. Alat musik yang di pukul

1. Keteng keteng

Keteng keteng adalah alat musik yang terbuat dari satu ruas bambu yang ukuran diameter bambunya kira 22cm hingga 24cm dan panjangnya kira kira 80cm hingga 95 cm.  Instrument musik keteng keteng , mempunyai tali senar yang di congkel dari badan bambu itu sendiri. Jumlah tali senar yang di congkel ada 2 dan di berikan lobang nada gung di tengah bambu tersebut.

2. Mangkok

Alat musik mangkok  terbuat dari batu( kramik) yang dalam ansamble musik keteng keteng berfungsi untuk menguatkan suara penganak didalam keteng keteng hanya itu,

3   Gung   

Alat musik Gung terbuat dari perunggu , alat musik ini dimainkan dalam ansambel musik Gendang telu sedalanaen  lima sada perarih berfungsi untuk mengakhiri satu buah frase lagu atau menentukan birama satu lagu.

4  Penganak

 Penganak terbuat dari lembaran kuningan yang di bentuk seperti gung hanya ukurannya jauh lebih kecil dari gung. Fungsinya dalam ansamble musik adalah mengakhiri satu tanda ritmis dalam lagu .

5    Gendang.

Gendang terbuat dari kayu yang dibentuk dan mempunyai lobang pada sisi atas ,bawah kayu, dan lobang tersebut di tutup dengan kulit napuh( sejenis kancil), dan di regang dengan kulit  lembu yang sudah di bentuk.  Gendang berfungsi sebagai pengiring melodi jadi dia hanya membuat satu siklus ritmik.  Dalam ansamble musik gendang telu sedalanen lima sada perarih  ada  dua genang dipakai disana yaitu ; gendang anak dan gendang indung. Pemukul atau stik yang dibentuk dari akar jeruk purut.  Dua buah pemukul yang sama besar untuk gendang anak dan dua buah yang tidak sama besar untuk gendang indung. Untuk gendang anak ada lagi di tambah satu buah gendang garantung namany di letakkan di badan gendang anak . Tugas gendang anak memberikan ritmik dasar pada permainan lagu dan kesetabilan lagu agar jangan lambat dan jangan terlalu cepat , diatur semuanya oleh gendang anak.   Sedangkan Gendang indung  berusaha sebanyak mungkin pukulan untuk memberikan bunga bunga pukulan ( improvisasi).

6   Gendang Pendua duai

Alat musik gendang pendua duai ini terbuat dari seruas bambu dan mempunyai bilah2 yang terbuat dari badan bambu itu sendiri. Gendang ini di gunakan oleh orang yangf menjaga tanamannya di ladang supaya jangan dimakan binatang penggangu seperti;    babi hutan, dan di mainkan alat musik ini sebagai pengiring nyanyian .

VII    Kulcapi

Alat musik kulcapi terbuat dari kayu yang di bentuk, dan mempunyai  dua buah senar yang sama bentuk.  Alat musik ini biasanya dipergunakan sebagai pembawa melodi dalam ansamble musik.  Mempunyai tangga nada lagu minor dan mayor, serta mempunyai nada lebih dari satu oktaf.   Sering di mainkan dalam ansamble musik gendang telu sedalanen lima sada perarih dan juga dengan ansamble musik keteng keteng .

Murdap
Alat musik Murdab adalah seperti bermain biola tapi murdab di letakkan di depan pemain yang duduk bersila. Bertangga - nada mayor dan minor . Alat musik ini terbuat dari ; separoh batok kelapa ( tempurung) yang besar sehingga lobang batok kelapa di tutup dengan kulit kambing.

Tali bengkuang
Alat musik ini terbuat dari  satu buah pelepah pinang  dan bengkuang( yang di jadikan tikar), kemudian di korek tanah sebagai lobang resonatornya supaya menderu seperti suara kodok,.  Dulunya dipakai pada acara  NDILO WARI UDAN, dimainkan musik tali bengkuang secara bergantian  sehingga seolah olang kita mendengar suara kodok yang banyak.

Dokumentasi:

Penggual Tradisional Karo tempo dulu

Murdap Karo

secara berurutan dari kiri ke kanan: Keteng - Keteng, Sarune, Baluat/Belobat, Surdam, Gendang Indung, Gendang Anak, Kulcapi

Ensembel 3 sedalanen: Keteng - keteng, Mangkuk dan Baluat/belobat

Ricky N Tarigan dengan Gendang Indung

Adu Instrumentasi Jimmy Sebayang (kulcapi) dengan Theo Tarigan (sarune)




Penjelasan mengenai alat - alat musik tradisional Karo diatas dijelaskan secara mendetail oleh salah seorang Maestro Musik Karo yaitu Bapak Bangun Tarigan, yang diwawancarai oleh tim dari Pande Surdam (tim yang memiliki keahlian dalam membuat alat musik tiup Surdam dan menerima orderan Surdam secara rutin)...
Artikel aslinya dapat dijumpai di:

Special Thanks:
1. Pande Surdam (atas izinnya mengupload artikel tersebut ke dalam blog)
2. Bapak Bangun Tarigan (sebagai pemilik asli artikel tersebut)
3. Abaang Jimmy Sebayang sebagai calon Perkulcapi top Karo
4. Theo Samudera Tarigan sebagai calon maestro musik Karo masa depan
5. Ricky Nelson Tarigan sebagai Ketengirs asli Tiga Baru Kabanjahe, pemusik dari ISI Yogyakarta
6. Endi Bastanta Sinuraya untuk diskusi - diskusi pelestarian adatnya :D
7. Hanna Seprina Meliala sebagai teman di saat mengedit artikel 20062012
8. Dokumentasi alat musik Karo milik Gallery Mejuah - Juah Medan



Polemik Tortor dan Penculikan Ragam Budaya Nusantara.
          Dalam beberapa hari yang lewat terjadi polemik yang cukup menyedot perhatian masyarakat Indonesia dari rentetan isu yang memanas, yaitu klaim Malaysia atas tari Tortor dan Gondang Sambilan, yang merupakan produk usaha dari saudara kita, etnik Mandailing di Selatan Tapanuli. Menarik untuk disimak, karena atensi terhadap permasalahan ini bermula dari maksud Menteri Penerangan, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Dr. Rais Yatim, berujar bahwa kedua ragam budaya etnik itu akan diusulkan untuk masuk ke dalam section 67 Warisan Kebangsaan Malaysia. Persoalan kembali meruncing ketika pihak Malaysia mengaku bahwa pihak pengusul merupakan komunitas Mandailing di Malaysia yang telah lama bermukim di negeri jiran (kurang lebih sejak 200 tahun yang lalu). Ada apakah gerangan?
          Membahas mengenai “penculikan” ragam budaya milik bangsa Indonesia tidak bisa dipandang hanya dari satu sisi. Perlu adanya penajaman analisis dengan menganalisa masyarakat perantau yang ada di Negara – Negara lain, salah satunya foes among friends adalah sang saudara tua kita Malaysia. Kasus tersebut sebenarnya hanya merupakan pengulangan, ketika pada tahun 2000 –an seiring dengan program visit Malaysia, mereka mengklaim pulau Sipadan Ligitan dan ragam batik, kesenian reog dan alat musik angklung sebagai kepunyaan asli Melayu. Hanya, tidak disebut produk asli Melayu itu seperti apa. . .
          Mengulik komposisi komunitas Malaysia yang sarat akan etnik – etnik yang ada di Indonesia cukup menyulitkan upaya pembenaran maupun tuntutan terhadap klaim kebudayaan, karena kita sebenarnya berasal dari rumpun etnik yang serupa, kesatuan dalam bernenek moyang. Komunitas Melayu dan Jawa merupakan keturunan asli yang hijrah dari Indonesia dengan berbagai alas an, meski tidak semuanya dibumbui dengan isu politis. Komunitas Melayu merupakan salah satu yang terbesar, mendapat dukungan dari etnis Melayu yang ada di Sumatera Utara bagian selatan (Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal) serta komunitas Minang di Sumatera Barat. Hal yang cukup mengherankan adalah tiadanya dukungan dari komunitas Melayu yang ada di Medan dan Aceh, notabene lebih dekat secara geografis. Ada teori yang mengatakan bahwa Islam di Medan tidak sejalan dengan Islam yang ada di Aceh maupun Islam yang mengakar kuat di Malaysia dan Sumatera Barat. Sepertinya ada perbedaan pemahaman antara orang Islam di Medan dengan saudara – saudarinya di Minang, Padang dan Mandailing, sebagai basis terbesar kaum Muslim di Sumatera selain Aceh. Banyaknya orang Malaysia yang merupakan orang asli maupun keturunan dari orang Minang, Padang dan Mandailing menjadi penguat bukti teori tersebut. Anggapan yang kemudian terjadi adalah praduga bahwasanya masyarakat Melayu Medan berasal dari orang pegunungan (Batak) yang melepas marga / meninggalkan tatanan adat istiadat / memeluk agama Islam dan kemudian menjadi broker bagi perdagangan antara pedalaman dengan masyarakat pesisir / pedagang lepas pantai. Ada juga anggapan lain bahwa Islam yang berpengaruh di daerah pesisir Pantai Timur Sumatera banyak dilakukan oleh orang Aceh, sedangkan Islam yang berada di Tapanuli Selatan, Mandailing dan Sumatera Barat berasal dari pedagang – pedagang Muslim yang berlabuh di Barus, Singkel dan meng –Islamkan penduduk di Pantai Barat sekitar abad 9 hingga 12 –awal. Akan tetapi teori diatas masih diragukan kebenarannya dikalangan para sejarawan dan antropolog serta bukan menjadi kapasitas saya untuk mengupasnya secara lebih mendalam lagi. Ditulis sebagai intermesso dan pembuka cakrawala berpikir yang lain.
          Bapak Zainuddin Pangaduan Lubis, salah seorang pemerhati adat Mandailing menulis dalam catatan lepas beliau mengenai Mandailing, bahwa terdapat beberapa tokoh yang mempelopori migrasi menuju Malaysia dan berpengaruh sehingga mampu membentuk suatu komunitas Mandailing yang kokoh di negeri jiran tersebut. Salah satunya adalah Tuan Syekh Mustafa Husein (Tuan Syekh Purba) yang dalam hayatnya mendedikasikan diri untuk mengajar dan menyebarkan agama Islam di Hutapungkut Julu, Tana Bato dan Purba Baru di Mandailing. Beliau kemudian mendirikan pesantren Madrasah Mustafawiyah yang kemudian terkenal seantero Mandailing bahkan hingga Malaysia, dimana dengan ponpes tersebut beliau berhasil mendapat julukan baru yaitu Tuan Syekh Purba. Tokoh kedua menurut Z. Pangaduan Lubis adalah Syekh Junied. Beliau belajar agama Islam setelah berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 1916 dan kemudian berguru pada Syekh Abdul Wahab di Besilam, Langkat. Beliau memperdalam ilmu di Malaysia dan melanjutkan pendidikan ke Al – Azhar di Mesir tahun 1919. Hingga tahun 1929, beliau secara intens bolak – balik menuju Malaysia dan Mekkah hingga beliau pulang kampung untuk mengabdi dengan mendirikan sekolah di Huta Namale tahun 1929. Pada periode Revolusi Bersenjata, beliau secara aktif mengobarkan semangat rakyat Mandailing untuk gigih melawan Belanda hingga ajal menjemput pada 30 Maret 1948. Kedua tokoh diatas menjadi pelopor bagi terbentuknya komunitas Mandailing di Malaysia dan mengorganisir semua keturunan asal Mandailing Natal di negeri jiran tersebut, hingga menjadi sebuah komunitas yang cukup diperhitungkan di Malaysia. Penelitian pun mengatakan bahwa mayoritas anggota komunitas tersebut merupakan keturunan asli Nusantara yang kemudian memperoleh pekerjaan di Malaysia sehingga ketika sedang melaksanakan pertemuan dirasa perlu untuk mengadakan temu kangen dengan tarian maupun pertunjukan seni selayaknya kita orang Karo dengan acara “Mburo Ate Tedeh” maupun “Gendang Guro – Guro” di perantauan. Wajar apabila hal tersebut dilakukan untuk mengobati rasa kangen akan kampung halaman. Munculnya polemik “perampokan” unsur budaya Tari Tortor dan Gondang Sambilan oleh Malaysia pun bermula ketika kebudayaan yang awalnya dipertunjukkan sebagai pengobat rasa rindu diusulkan menjadi ragam budaya milik Negara lain.. (Ini adalah persoalan utamanya).
          Dalam makalah yang berjudul Prospek Budaya Mandailing Dalam PJPT II, Prof. Usman Pelly salah seorang budayawan Mandailing di Medan, menuliskan bahwa masyarakat Mandailing telah menikmati akulturasi pendidikan Islam tradisional dipadu dengan pendidikan barat modern. Masyarakat Mandailing sangat bersyukur telah menikmati akulturasi  tersebut dengan bisa lepas dari Paganisme ala Batak dan menjadi orang Indonesia tulen, sejajar dengan suku bangsa lainnya di Nusantara. Mereka tetap melestarikan adat istiadat mereka, namun secara kaku dan tertutup terutama bagi tokoh – tokoh adat Mandailing. Akan tetapi berselang 60 tahun kemudian, kelompok etnik lainnya mampu mengembangkan kebudayaan etnik mereka dan mendekorasi ulang kota Medan dengan ragam etnik masing – masing suku, sedangkan masyarakat Mandailing sendiri hanya bisa terkejut melihat ketertinggalan dari saudara – saudarai mereka di Sumatera Utara khususnya di ibukota provinsi. Masyarakat Melayu, Karo, Toba dan Simalungun di Sumatera Utara serta Bali dan Jawa di seberang menjadi ujung tombak revolusi kebudayaan. Sementara kekakuan dan ketertutupan masyarakat Mandailing yang terlalu mensakralkan nilai – nilai tradisi sehingga menghambat perkembangannya. Hal ini kemudian berujung pada kekurang – terimaan budaya Mandailing di kalangan masyarakat Sumatera Utara, sehingga dapat dikatakan “kalah bersaing dengan saudara – saudari Batak mereka. Hal ini tentu menyulut persoalan lama di kalangan orang Batak, mengenai Batak dan Non – Batak yang cukup tenar dibahas melalui jejaring sosial beberapa waktu lalu, tetapi ha tersebut tidak akan dibahas disini.
          Sebagai akibat dari atensi dan antusiasme yang kurang popular di Indonesia padahal menjadi suguhan yang notabene dicari di Malaysia, maka komunitas Mandailing Malaysia mungkin merasa bahwa kebudayaannya dihargai di negeri seberang, dibanding di tanah sendiri, mungkin juga pertunjukan tersebut disponsori oleh pemerintah Malaysia yang terkenal sangat jor – joran untuk urusan kepariwisataan. Hal ini tentu dimanfaatkan oleh komunitas tersebut untuk “mematenkan” ragam budaya manortor dan margondang kepada Malaysia, karena merasa bahwa budayanya dihargai.
          Hal yang kemudian patut menjadi catatan adalah bahwa apabila kita sebagai orang Karo tidak segera berbenah, mungkin saja hal yang sama akan dialami oleh generasi penerus kita di masa depan. Hal ini tentu tidak lepas dari ketenaran musik Karo di kancah internasional, seperti halnya di Belanda, Malaysia dan Filipina. Bukannya tidak mungkin apabila musik Karo di masa depan diklaim oleh bangsa yang mungkin memiliki keterikatan di masa lampau dengan wilayah Bumi Turang, bahkan kembali lagi, oleh masyarakat Karo yang berada di luar negeri. Komunitas Karo tumbuh dan berkembang di wilayah seperti di Malaysia (hampir seluruh wilayah Malaysia), Perth, Melbourne (Australia), Belanda, Inggris, Jerman dan India dan tidak mungkin mereka lah yang menuntut adanya klaim dari negara asing terhadap ragam budaya Karo apabila tidak segera dibenahi / diperhatikan oleh orang – orangnya. Sense of Belonging dari orang Karo tentu dibutuhkan apabila kita sebagai orang Karo mencintai budaya kita yang belum tentu terdapat di belahan dunia lainnya. Bukti sahih dari hal ini yang paling kentara adalah rumah adat. Bukan tidak mungkin dalam beberapa waktu ke depan, rumah adat Karo akan berpindah tangan ke orang asing yang berniat membangun rumah adat Karo di negaranya, sehingga tidak kita jumpai lagi rumah adat Karo di Tanah Karo sendiri yang merupakan habitat aslinya. Kenapa tidak? Justru di era yang hedonis sekarang ini orang mencari keuntungan dalam waktu singkat, sehingga hal tersebut mungkin tidak terhindarkan. Contoh lainnya adalah Ndikkar. Seorang teman merasa kesulitan untuk mencari guru Ndikkar di seantero Tanah Karo, dan ketika kami melakukan pencarian, justru orang merujuk pada seorang guru Ndikkar yang mengajar di Belanda...WHOAA???
          Prof. Usman Pelly dalam makalahnya yang berjudul “Prospek Budaya Mandailing Dalam PJPT II” mengusulkan adanya langkah – langkah berikut demi survivalisasi adat budaya Mandailing, antara ain:
1.   Pendirian Kelompok Studi Mandailing,
2.   Peneguhan Studi Keislaman,
3.   Pendirian Sanggar Budaya / kesenian Mandailing,
4.   Pendirian Pusat Budaya Mandailing,
5.   Pendirian Pusat Penerbitan dan Kepustakaan Daerah.
Menurut penulis, usul diatas tentu relevan bagi lestarinya budaya Karo juga terutama bagi poin Pertama, Keempat dan Kelima. Pendirian sanggar – sanggar tentu menjadi ujung tombak bagi pelestarian budaya di bidang kesenian, seperti halnya seni tari, seni ukir dan seni musik tradisi. Akan tetapi pendirian bagi Kelompok Studi Budaya Daerah dan Pusat Penerbitan Kepustakaan Daerah sangat dibutuhkan bagi tersedianya sarana pencetakan karya ilmiah yang menyangkut Karo. Hal ini tentu tidak luput dari minimnya pembahasan karya ilmiah Karo yang spesifik menyangkut suatu bidang, tidak seperti karya pustaka Karo yang didalamnya termuat berbagai ulasan dari lintas bidang, dalam kata lain, komplit all in one. Mungkin dengan hal ini bisa kita meminimalisir klaim terhadap asset budaya Karo dari tangan yang tidak bertanggung – jawab serta memperkenalkan Karo kepada dunia. Contoh kecil implementasi dari saran Bapak Usman Pelly tersebut adalah dengan mulai membiasakan diri memakai bahasa Karo apabila berkomunikasi dengan sesama orang Karo, serta mulai memiliki sense of belonging terhadap ragam etnik Karo dengan berpartisipasi dalam acara – acara adat maupun tidak malu untuk belajar mengenai kesenian Karo.
Salam Budaya!!
Sumber:
Daniel Perret. Kolonialisme dan Etnisitas. Jakarta: KPG. 2010
Usman Pelly. Prospek Budaya Mandailing dalam PJPT II. Makalah.
Zainuddin Pangaduan Lubis. Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing. Jakarta: Kelompok Humaniora – Pokmas Mandailing. 2010.
Sumber Online (diakses pada tanggal 21 Juni 2012 pukul 17.00):

Special Thanks to:
1. Bapak Zainuddin Pangaduan Lubis (tokoh dan budayawan Mandailing)
2. Bapak Prof. Usman Pelly (Dosen Luar Biasa IKIP Medan, USU dan IAIN Medan)
3. Komunitas Mandailing di Malaysia
4. Pemerhati dan pecinta budaya Karo dan Nusantara