Powered By Blogger

Kamis, 24 Juli 2014

Seri Sejarah Medan: Guru Patimpus

Guru Patimpus
Persebaran Urung Sepuluh Dua Kuta dan Urung Sukapiring

Meninjau kembali sejarah Kota Medan, tidak terlepas dari ketokohan seorang Guru Mbelin, Guru Patimpus. Panitia Penyusunan Hari Jadi Kota Medan sepakat untuk memastikan bahwa Kota hari jadi kota Medan adalah 1 Juli 1590, sewaktu daerah Medan,yang dahulu masih berwujud kampung, di pantek oleh Guru Patimpus. Siapa sebenarnya Guru Patimpus masih merupakan sebuah misteri. Guru Patimpus atau yang lazim di daerah Karo dikenal dengan nama Pa Timpus, merupakan penokohan dari Bapak seorang anak yang bernama Timpus. Akan tetapi, dalam silsilah keluarga Pelawi tersebut pengelaren Timpus hanya dijumpai pada satu generasi saja,yaitu anak Tuanku Raja Hita, kempu Si Jalipa. Akan tetapi,dalam berbagai silsilah dan dokumen, hanya dapat dijumpai nama Timpus. Beliau mulai mengenakan gelar Pa Timpus sewaktu memperoleh ilmu dari serumpun bambu bertulis. Namun, hal tersebut tidaklah lazim di kalangan orang Karo dikarenakan penggelaren Pa dalam sebuah nama hanya ditujukan untuk menunjuk orang tua dari nama yang bersangkutan.   Hal inilah yang kemudian menarik minat Brahmo Putro untuk menyelidik lebih dalam Guru Patimpus dan keturunannya dalam buku Karo dari Zaman ke Zaman jilid II. Ketokohan Guru Patimpus, yang kemudian banyak memantek kampung – kampung Karo dalam pengembaraannya akancoba kami jabarkan sebagai berikut.

Tersebutlah dahulu pada suatu jaman, di kampung Bekerah terdapat seorang raja bernama Singa Maharaja. Beliau merupakan keturunan pertama dari seorang tokoh sakti bernama Si Jalipa. Beliau kemudian menikah dengan anak dari Pawang Na Jeli dan melahirkan Tuan Manjolang dan Tuan Si Raja Hita. Tuan Manjolang yang merupakan anak sulung, menjadi pewaris tahta menggantikan si Jalipa di negerinya, dan karena merasa tertantang untuk bertualang, Si Raja Hita meminta izin kepada si Jalipa untuk pergi merantau. Usul Si Raja Hita disetujui oleh Si Jalipa dan beliau pun menuntun Si Raja Hita dalam petualangannya ke berbagai wilayah. Akan tetapi dalam perjalanannya, Si Jalipa menghilang dan tibalah Si Raja Hita di Kendit. Beliau lantas membuka lahan dan mendirikan kampung di situ.

Tetap berkeinginan untuk mencari nenek yang hilang, Tuan Raja Hita melanjutkan perjalanan menuju Lau Tawar. Ia kemudian pulang ke Bekerah dan kawin dengan seorang gadis. Ia mendapatkan tiga keturunan, yaitu Timpus, Pekan dan Balige. Ia kemudian mendirikan kampung Pekan dan Balige sesuai nama anak – anaknya tersebut dan menjadikan mereka Raja disana. Si sulung Timpus, ia proyeksikan menjadi pengganti Si Raja Hita. Namun keinginan Timpus yang gemar berpetualang, ia menolak posisi tersebut dan menyerahkan kekuasaan pada adik – adiknya. Suatu hari, SI Raja Hita mendapat berita bahwa Si Jalipa sang nenek berada di kampung Kaban, wilayah Gunung Si Bayak. Akan tetapi tidak lama kemudian beliau meninggal, tanpa pernah merealisasikan keinginan beliau. Timpus yang telah menolak warisan menjadi raja, kemudian pergi berkelana mencari ilmu hingga akhirnya dia menemukan sebatang Bambu yang bersurat dari bilah – bilah hingga daunnya. Ia kemudian mempelajari ilmu tersebut dan menjadi sakti karenanya. Dari situ ia menggelari dirinya dengan gelar Guru Mbelin Patimpus.

Sesudah perkelanaan yang jauh, beliau kemudian menikahi anak Raja Ketusing dan mendapatkan keturunan yang bernama Siberara. Tak lama setelah lahir Siberara, ia pun membuat kampung sebagai tempat anaknya berkuasa kelak. Hal tersebut berlangsung pula setelah kelahiran Si Kuluhu, Batu, Si Salahan, Paropa dan Liang Taneh. Enam kampung dibuat bagi anak- anak yang disayanginya tersebut. Anak ketujuh beliau terlahir sebagai perempuan yang kemudian hari dipersunting oleh anak Raja Tangging,sehingga keturunan mereka menjadi Anak Beru bagi keenam kampung anak – anak Guru Patimpus.

Mendengar bahwa di Tanah Karo sedang terjadi kegaduhan, Guru Patimpus berangkat untuk menenangkan pihak – pihak yang berkonflik. Ia kemudian ingat akan tenah ayahanda Si Raja Hita, nenek moyang beliau pernah ada di Kampung Kaban, sehingga ke Kabanlah perjalanan pertama Guru Patimpus dimulai. Tak lama bertandang ke Kaban, Ia melanjutkan perjalanan ke Ajei Jahei. Disini ia menikah dan mendapatkan keturunan Si Gelit (yang kemudian bernama SI Bagelit). Seperti biasa, ia kelak menjadikan Gelit raja di kampung tersebut. Ia melanjutkan perjalanan ke Teran dan Batukarang, di mana ia kembali menikah dan mendapatkan keturunan Si Aji. Ia pun mendirikan kampung yang diberi Perbapaan Ajei di dekat situ. Tak lama, ia melanjutkan perjalanan ke Per Baji, dimana ia mendapat keturunan pula yang dinamai Raja Hita. Bersama rombongan, mereka mendapat penglihatan bahwa derah tersebut cocok untuk dijadikan daerah berdagang, sehingga mereka pun beristirahat di situ. Sewaktu Guru Patimpus beristirahat di bawah sebatang pohon durian, tanpa tanda – tanda apa pun,jatuh dan pecahlah sebuah durian yang tiada berisi. Heran karena mendapat durian unik, beliau lantas mendirikan sebuah kampung yang dinamai Durian Kerajaan. Setelah semuanya usai, mereka lantas kembali ke Per Baji dan tak lama kemudian beliau mengangkat Si Gelit sebagai Raja disana.

Merasa puas dengan persebaran keturunan beliau yang talah menyebar jauh, Guru Patimpus pun pulang ke Ajei Jahei untuk mengistirahatkan diri. Akan tetapi berita kesaktian seorang Jawi yang datang ke Deli dan berdiam di Kota Bangun mengusik istirahat panjangnya. Kota Bangun merupakan daerah berkeramat besar dan misterius, sehingga siapa pun yang mengaku menjadi penguasa di Kota Bangun bukanlah sembarang orang. Apalagi si Jawi menamakan dirinya Datuk Kota Bangun. Merasa penasaran dengan kabar tersebut, Guru Patimpus pergi ke daerah Kota Bangun namun menahan diri untuk langsung berjumpa dengan orang sakti tersebut. Ia kemudian membangun sebuah daerah diluar Kota Bangun yang kemudian berkembang menjadi Kuala Sei Sikambing, dan mempersiapkan diri sebaik mungkin selama setahun penuh.

Setelah merasa bahwa ilmu yang ia persiapkan cukup, ia pun datang dikawal tujuh pengikut paling sakti untuk menemui Sang Datuk. Merasa sang tamu kehausan, Datuk Kota bangun menyuguhi sang tamu dengan tujuh tandan buah kelapa, yang anehnya tak mampu dihabiskan oleh Guru Patimpus dan ketujuh anak buahnya. Terkesima dengan ilmu yang dimiliki Sang Datuk, ia pun mengaku kalah dalam adu ilmu dan bersedia masuk jawi, atau menganut Islam.

Guru  Patimpus lantas meminta waktu untuk mengadakan runggu terkait hal tersebut kepada sanak keluarganya yang terdapat di Gunung, selama tiga bulan. Dahulu, merupakan aib bagi seorang pengikut kepercayaan tradisional untuk masuk ke dalanm ajaran agama resmi, apalagi yang hanya memiliki Satu Tuhan. Konsekuensi dari aksi tersebut tidak saja hanya dikucilkan dengan sebutan “Masuk Jawi” tetapi juga mendapat hukuman keluar kampung. Mungkin ini mengacu pada kepercaan tradisional yang menyembah Alam sebagai pusat segala kehidupan, jadi untuk menyembah seorang Tuhan bagi anggapan masyarakat tempo dulu adalah konyol. Waktu tiga bulan tidak disanggupi sang datuk, bahwa beliau hanya member tenggat lima belas hari “cuti”. Meski demikian, beliau membantu kepulangan Guru Patimpus beserta tujuh pengikutnya yang dalam sekejab mampu sampai di kampung Ajei Jahei hanya bermodalkan sepelepah daun kelambir. Setiba di kampung, beliau mengundang segenap sanak famili, berikut sangkep nggeluh Pelawi mergana untuk berkumpul disebuah tempat yang ditetapkan. Disitu beliau mengutarakan maksud dan tujuan beliau, serta menggelar pesta besar – besaran. Setelah pesta tujuh hari tujuh malam lamanya,beliau mengucap salam perpisahan dan kembali ke Kota Bangun. Tempat perpisahan itu kemudian dinamakan Perceraian.

Guru Patimpus mengabdi selama tiga tahun kepada Datuk Kota Bangun dan selama itulah beliau berguru dan mendapat ilmu. Tak ketinggalan, beliau juga mengembangkan daerah Kuala Sei Sikambing menjadi daerah yang ramai. Setelah dirasa cukup, Datuk Kota Bangun mempersilahkan Guru Patimpus untuk mengembara kembali dan mempraktikkan ilmu yang beliau dapat demi kebaikan masyarakat. Dalam perkelanaan beliau, sempat pula berjumpa dengan putri Raja Tarigan keturunan Panglima Hali berikut rombongan dayang- dayangnya yang rupawan. Akan tetapi sang putrid justru meremehkan dan melecehkan Guru Patimpus sebagai orang Karo yang ternoda aib karena “Masuk Jawi”. Merasa tersinggung, Guru Patimpus mengguna-guna sang Putri hingga menjadi gila. Kerajaan Tarigan mergana menjadi panik dan kacau, karena segala tabib, guru dan dukun tak ada yang mampu menyembuhkan. Lantas tersiar ke kerajaan, kehebatan seorang guru mbelin yang telah masuk Islam namun memiliki ilmu penyembuhan yang luar biasa. Beliau pun dipanggil untuk mengobati sang putri dan sembuh dari penyakitnya. Supaya jera dari sifat angkuh, Guru Patimpus kembali memantrai sang Putri dan menyembuhkannya secara berulang – ulang. Merasa putus asa, Raja Tarigan kemudian mengawinkan putrinya tersebut dengan Guru Patimpus. Tak lama berselang, lahir dua anak beliau yang diberi nama Timang – Tiamangen Si Kolok dan Timang – Timangen Si Kecil.

Berhubung Guru Patimpus telah menua, datanglah si Bagelit meminta izin ikut masuk Jawi, agar mampu menggantikan posisi Guru Patimpus sebagai penguasa atas daerah Si Sepuluh Dua Kuta. Akan tetapi sang Guru menolak. Setelah menimang lebih lama, Guru Patimpus mengijinkan Si Bagelit memeluk agama Islam dengan berguru pada Datuk Kota Bangun. SI Bagelit lantas membagi dua daerah kekuasaan ayahnya, di Gunung dengan sebutan Urung Sepuluh Dua Kuta dan di Jahe dengan sebutan Urung Sukapiring. Guru Patimpus kemudian juga mengirim kedua anak terakhirnya untuk belajar kepada Datuk Kota Bangun yang ditolak dengan halus oleh si Datuk.Sang Datuk berkeinginan agar keduanya belajar Islam dari Tanah Aceh, yang sedang Berjaya kekuasaannya, dengan harapan akan afiliasi politik dimasa depan dengan Aceh sebagai sekutu. Si Kolok dan Si Kecil kemudian di kirimke Aceh atas rekomendasi Datuk Kota Bangun dan pada kemudian hari, lebih dikenal dengan nama Hafiz Tua dan Hafiz Muda.

Referensi:
Brahmo Putro. 1982. Karo Dari Zaman Ke Zaman Jilid II, Cetakan Ke II. Medan: Penerbit Ulih Saber
Daniel Perret. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas. Jakarta: KPG

Nasrul Hamdani. 2013. Komunitas China di Medan Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930 – 1960. Jakarta: LIPI Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar