Powered By Blogger

Selasa, 26 Maret 2013

Legenda Karo: Cingcing Ganjang Penura


Legenda Karo: Cingcing Ganjang Penura
Tersebutlah kisah Cingcing empat beranak yang bersarang di rumpun buluh cina. Anaknya yang dua ekor masing – masing bernama Tetap Perukuren dan Ganjang Penura. Mereka hidup di tempat itu, tanpa pernah kekurangan makan dan minum.

Cingcing jantan dan cingcing betina yang sudah tua merasa bahwa ajalnya sudah hampir tiba, tetapi sebelum meninggal, mereka ingin menyampaikan kata – kata terakhir untuk pegangan selanjutnya bagi kedua buah hati. Demikianlah pada suatu pagi yang cerah, Ayah dan Ibu Cingcing memanggil kedua anaknya. Pada kesempatan itu berkatalah Ibu Cingcing, “Anakku keduanya, dengarlah ucapan ini baik – baik. Kami berdua sudah tua dan sewaktu – waktu mungkin saja kami dipanggil Tuhan. Namun, sepeninggal kami nanti, kalian berdua hendaknya tetap hidup rukun.” Ucapan Ibu Cingcing itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh kedua anaknya. Cingcing jantan yang dari tadi berdiam diri terlihat mengangguk – angguk tanda sependapat dengan kata – kata istrinya. “Satu hal lagi yang perlu kalian ingat,” kata Ibu Cingcing. “Bahwa tempat kediaman kita ini sudah bertahun – tahun kita tinggali. Ternyata, keadaannya sangat serasi dengan kita. Selama disini tak pernah ada gangguan, tak pernah kita mengalami kekurangan, belum pernah kesusahan melanda keluarga kita. Oleh karena itu, sedapat – dapatnya janganlah kalian tinggalkan tempat ini.” Ucapan Ibu Cingcing itu kemudian dikuatkan oleh suaminya, “Jika kalian ingin selamat, patuhilah nasihat kami, jika tidak kalian akan rasakan sendiri akibatnya nanti.” Kedua anak Cingcing berjanji kepada orang tuanya bahwa mereka akan mematuhi segala nasihat tersebut.

Malam harinya secara tenang kedua cingcing tua itu pun menghembuskan napasnya yang terakhir. Begitu kedua orang tua mereka meninggal, Tetap Perukuren kembali mengingatkan kepada adiknya tentang apa yang dinasihatkan oleh orang tuanya sebelum meninggal.

Beberapa hari sesudah itu datang burung Pincala boang dari laut dan hinggap dekat kedua ekor cingcing itu. Sayapnya dikibas – kibaskannya dan dari mulut keluar suara bergalau. Kemudian, diceritakannya tentang perjalanannya kepada Cingcing Ganjang Penura bahwa dia datang dari laut yang luas. Karena Ganjang Penura menyatakan keinginannya hendak melihat laut, maka diajak Pincala boanglah dia pergi. Ketika ditanya oleh Ganjang Penura bagaimana dengan makanan mereka selama dalam perjalanan, maka Pincala boang berujar bahwa hal itu tidak usah ditakutkan karena di dalam hutan banyak makanan. Hanya saja diingatkannya agar jangan memakan buah yang mentah, tetapi pilihlah yang masak. Berangkatlah Ganjang Penura tanpa persetujuan abangnya untuk mengikuti Pincala boang. Dalam perjalanan itu, cingcing tersebut hanya bertengger saja di atas punggung Pincala boang yang membawanya terbang melintasi hutan dan rimba raya. Pada suatu tempat, mereka hinggap di pohon tuldak yang sedang berbuah besar – besar dan masak – masak. Mereka melihat bahwa di tempat itu banyak binatang lain, seperti imbau, enggang, mawas.

Karena malu melihat Ganjang Penura yang begitu kecil dibandingkan binatang – binatang lain, maka cingcing ditinggalkan oleh Pincala boang. Sesudah ditinggalkan Pincala boang, maka Ganjang Penura mencoba memakan buah tuldak tersebut. Ternyata buah tidak ada yang kecil, semuanya besar – besar melebihi besar tubuhnya. Dicotoknya dengan paruhnya, maka terbenam paruhnya itu ke dalam buah tuldak tersebut sehingga tak dapat keluar lagi. Akan tetapi, setelah beberapa kali dicobanya menarik, lama – lama lepas juga paruhnya itu. Karena kuatnya dia menarik paruhnya tadi, terlempar dia dari tempatnya bertengger, lalu tersangkut di pohon peldang. Beberapa lama disana, dia terbang kembali ke pohon tuldak tadi. Dilihatnya ada beberapa buah tuldak sisa – sisa makanan tikus. Timbul keinginannya hendak memakannya, tetapi setelah dicobanya mematuk, kemudian ditelannya, ternyata makanan tersebut di kerongkongannya. “Matilah aku sekali ini,” pikirnya. Namun dia tidak mati.

Di tempat kediaman abangnya, cingcing Tetap Perukuren sudah menunggu – nunggu kedatangan adiknya itu. Atas kehilangan adiknya itu, dia tanyakan kepada Raja Imbo (siamang) putih yang berkuasa di atas pohon – pohonan. Kedatangannya disambut oleh Raja Imbo dengan pertanyaan, “Apa maksudmu menjumpaiku ini?” Dijawab oleh cingcing itu bahwa maksud kedatangannya ialah untuk meminta bantuan karena adiknya sudah beberapa hari tak pulang – pulang. Oleh Raja Imbo putih diperintahkannya kepada seorang pembantunya untuk mencari Cingcing Ganjang Penura. Kepergiannya itu disertai oleh Tetap Perukuren. Ternyata, Cingcing Ganjang Penura sudah tak ada lagi di atas pohon, seperti yang diketahui oleh pesuruh itu. Kemudian, dinasehihatinya kepada Cingcing Tetap Perukuren agar mendatangi Raja Cekiri Gumba yang berdiam di sebuah jurang yang dalam. Kepada Raja Cekiri Gumba ditanyakan lagi oleh Tetap Perukuren tentang adiknya yang hilang itu. Prajurit ular sawah yang ditanyai oleh Raja Cekiri Gumba menyatakan bahwa ada terlihat Ganjang Penura di bawah pohon tuldak yang tadinya hendak dimakannya, tetapi tak jadi karena terlalu kecil.

Dengan diantar oleh si ular sawah, pergilah Tetap Perukuren ke tempat yang dimaksudkan. Di sana dijumpainya adiknya dalam keadaan tercekik oleh buah tuldak. Untuk mengeluarkan buah tuldak itu, Tetap Perukuren memasukkan paruhnya ke dalam mulut adiknya dan mencotoknya sedikit demi sedikit sampai habis. Sesudah itu, diberinya minum sehingga Ganjang Penura menjadi segar kembali. Untuk memulihkan tenaga adiknya itu, diberikannya buah cepira untuk dimakannya. Sekarang pulanglah mereka berdua ke sarang semula di buluh cina. setelah dua belas hari lamanya dalam perjalanan, sampailah mereka. Sejak itu, Ganjang Penura berjanji akan mengubah kelakuannya, sesuai dengan nasihat ayah bundanya sebelum meninggal. Sesudah itu, hidup mereka berdua dalam keadaan aman dan damai.

Enam bulan kemudian Ganjang Penura mulai kembali lupa akan janji semula. Pada abangnya dinyatakannya bahwa ia ingin pergi dari tempat itu, tetapi dapat diatasi oleh abangnya dengan mengingatkan akan petuah ibu – bapaknya dulu. Setahun kemudian, timbul kembali kegelisahan dalam hati Ganjang Penura. Kegelisahannya itu tambah menjadi karena kebetulan pada waktu itu hinggap seekor ayam – ayam putih menggoda Ganjang Penura. “Apa arti hidupmu ini jika engkau terus – menerus tinggal di tempat ini saja. Bukankah hidup kita ini tak lama dan seharusnya waktu yang tak lama ini kita gunakan untuk mengenal dunia yang luas ini?” “Kalau begitu, samalah pendapat kita Bang,” jawab Ganjang Penura yang merasa cocok dengan kata ayam – ayam putih tadi. Maka diikutinyalah ayam – ayam putih itu terbang untuk meninggalkan tempat tersebut. Ketika sampai di tepi laut yang luas, mereka hinggap pada pohon honing yang sedang berbuah. Karena ayam – ayam putih itu lebih besar, maka ia dapat mencapai puncak pohon honing itu, tetapi Ganjang Penura yang kecil tak dapat mengikuti kawannya itu. Dia hanya hinggap di dahan sebelah bawah saja. Malang bagi Ganjang Penura karena tak diketahuinya buah honing itu bergetah. Maka, sayapnya lekat pada buah honing tersebut. Keadaan Ganjang Penura yang demikian itu tidak menimbulkan rasa kasihan pada ayam – ayam puih, lalu ia terus terbang dan meninggalkan sahabatnya itu.

Akan abangnya Cingcing Tetap Perukuren telah lama gelisah memikirkan kepergian adiknya. Usahanya untuk mencari ke sana ke mari akhirnya berhasil juga. Dijumpainya Ganjang Penura dalam keadaan menderita akibat buah getah honing tadi. Dia merasa tak sanggup untuk membantu adiknya dalam mengatasi penderitaan itu karena hal itu akan membahayakan dirinya sendiri. Sebelum pergi dari tempat itu, diingatkannya lagi adiknya akan petuah ibu – bapaknya sebelum meninggal. “Beginilah jadinya kalau nasihat orang tua dilanggar,” katanya kepada adiknya itu. “Kulepas engkau pergi menjumpai ibu – bapak kita di tempat peristirahatannya yang terakhir dan aku akan kembali ke sarang peninggalan orang tua kita, sesuai dengan nasihat mereka dulu.” Ganjang Penura yang ditinggalkan abangnya meratap dalam menyesali untungnya yang karena hendak mengejar kesenangan dirinya sendiri, akhirnya berjumpa dengan kesusahan.

Disadur dari: Tabir Sitepu (et.al), Sastra Lisan Karo. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 158 – 166.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar