Powered By Blogger

Kamis, 29 November 2012

Legenda Karo: Raja Milo - ilo


Legenda Raja Milo – Ilo
Tersiar ceritera tentang seorang anak yang bernama Raja Milo – ilo. Raja Milo – ilo berasal dari tanah Kaban, tetapi dia tinggal dengan mamanya di kampung Raya (kini termasuk bagian dari wilayah Berastagi, Kabupaten Karo). Mamanyalah yang mendirikan kampung Raya. Mamanya terkenal, disamping kedudukannya sebagai Simantek Kuta, ilmunya banyak seperti cara menyuburkan tanah pertanian, cara mangobati orang sakit dan cara mengembang – biakkan hewan ternak. Dia diberi gelar “Guru Mbelin Perkata Tuhu” artinya Datu Besar dan apa yang ucapkannya selalu menjadi kenyataan.
Adapun kerja Raja Milo – ilo di rumah mamanya ialah menggembalakan ternak. Pagi – pagi mengeluarkannya dari kandang, kemudian membawa ternak ke padang rumput dan sore hari menjelang senja menghalaukannya kembali ke kandang. Begitulah tugasnya dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun, yang dilakukannya dengan sepenuh hati dan penuh kepatuhan.
Tugasnya yang lain ialah mengambil garam ke daerah Kotacane di Tanah Alas. Di masa lampau garam di daerah Karo datangnya dari sana. Jika garam di rumah sudah habis, maka disuruhlah Raja Milo – ilo ke Tanah Alas untuk mengambilnya. Perjalanan yang harus dilalui cukup jauh, lagipula amat sulit karena perhubungan yang baik belum ada pada masa itu. Namun, itupun dikerjakan Milo – ilo dengan patuh tanpa membantah sepatah katapun.
Kepatuhan dan kesungguhan Raja Milo – ilo ini disadari oleh mama dan maminya, dimana kebaikan selama ini hendak mereka balas dengan cara yang sepantasnya menurut adat Karo, yaitu mereka hendak mengambil Raja Milo – ilo menjadi menantu. Hal itupun telah diketahui oleh Raja Milo – ilo, akan tetapi tidaklah diharapkannya benar. Lagipula sudah sepantasnya ia mengabdikan diri kepada kalimbubunya.
Mamanya bermaksud mengawinkannya dengan impalnya, puteri yang sulung. Tetapi kemudian ternyata bahwa puteri yang sulung kawin dengan pemuda lain, bukan dengan Raja Milo – ilo. Sang mama membujuknya agar jangan kecewa atas tingkah laku adiknya itu dan menjanjikan akan memberikan puteri kedua mereka sebagai pasangan Raja Milo – ilo. Puteri yang kedua itu masih kecil dan dimintanya agar Raja Milo – ilo bersabar hati menunggunya hingga cukup umur untuk dikawini. Dan Raja Milo – ilo menerima tawaran mamanya itu. Namun apa yang dilakukan oleh kakaknya diulangi lagi oleh adiknya ini. Diapun akhirnya kawin pula dengan lelaki lain, bukan dengan Raja Milo – ilo. Sekali lagi mama - mainya menyatakan rasa kecewa atas perbuatan anaknya dan kembali membujuk Raja Milo – ilo supaya jangan kecewa dan sakit hati atas tingkah laku adiknya itu. Oleh Raja Milo – ilo dijawab bahwa semuanya itu adalah kehendak Tuhan dan belum merupakan pertemuannya untuk kawin dengan impalnya. Namun kepatuhan dan kesetiaan Raja Milo – ilo tidak berkurang karena kejadian itu.
Pada suatu kali, habis lagi persediaan garam di rumah mamanya. Dan kali ini mama menghendaki agar dicarikan garam putih, dan kabarnya garam putih itu hanya ada di daerah Labuhan. Mamanya sendiri tidak tahu dimana letaknya Labuhan. Tetapi karena inginnya merasakan garam putih yang konon luar biasa itu maka disuruhnya juga Raja Milo – ilo perg. “Kau cari sendirilah jalan ke sana dan bawalah garam putih itu secukupnya pulang”, perintah si kalimbubu kepada kemenakannya. Maka berangkatlah Raja Milo – ilo mencari garam putih ke daerah Labuhan. Dalam perjalanannya berdoalah dia kepada arwah Bapa - Nandenya yang sudah lama meninggal agar senantiasa melindunginya dan mempertemukannya dengan orang yang tahu jalan ke Labuhan.
Setelah berjalan beberapa hari melalui hutan lebat dan perjalanan yang sulit, sampailah dia ke kampung Tanjung. Di sebuah pancuran dicuci mukanya. Sesudah itu, dia berdoa lagi untuk arwah kedua orang tuanya yang telah tiada. Setelah lama berjalan sampailah dia dekat perbatasan Berastagi. Dijumpainya sebuah bukit dan dibukit itu mengalir sebuah sungai. Oleh Raja Milo – ilo sungai itu dinamakan Lau Ciger, karena dia sampai disitu menjelang tengah hari. Lepas dari bukit Gung Medalit (kini dinamai Gundaling) dituruninya bukit itu dan tibalah dia di kampung Peceren. Di tempat itu dia bermalam, serta esok harinya melanjutkan perjalanan kembali. Setelah lama berjalan, sampailah dia di sebuah bukit yang bernama Tabu – tabu (kini Tangke Tabu). Setelah meninggalkan tempat itu, ia tersesat di jalan. Sebenarnya ia bermaksud hendak ke Labuhan, tahu – tahu sampai di hutan Penatapen.
Diteruskannya berjalan melalui hutan lebat, lembah yang curam dan tebing yang tinggi sampailah dia di kaki Gunung Sibayak. Dijumpainya dua buah jalan terntang dimukanya tetapi tak tahu mana yang akan diturut. Dengan tidak disadarinya, kakinya terus juga melangkah dan ketika berhenti di suatu tempat tahulah dia bahwa sudah sampai ke pinggang Gunung Sibayak. Di tengah jalan dia bertemu dengan tiga orang gadis, masing – masing bernama Bunga Eru, Terang Perukuren dan Jegir Jawa. Ketiganya mempunyai sifat dan tingkah laku yang berbeda – beda. Bunga Eru lembut bicaranya, sopan tingkah lakunya dan tidak ada sifat yang patut dicela. Akan halnya Terang Perukuren, lapang hati, ramah dan suka gembira. Jegir Jawa tingkah lakunya agak kasar namun hatinya baik. Ketiganya memperkenalkan diri kepada Raja Milo – ilo. Sesudah saling berkenalan akhirnya ternyata bahwa ketiga gadis ini adalah impalnya. Karena hari sudah malam dan Raja Milo – ilo tak tahu jalan, maka ketiganya membawanya ke puncak Gunung Sibayak tempat orang tua gadis itu tinggal. Tak dinyana, ketiganya adalah anak penguasa Gunung Sibayak.
Kedatangan Raja Milo – ilo pada mulanya disembunyikan oleh ketiga puteri tersebut, tetapi karena didesak oleh para panglima raja yang amat curiga, maka Raja Milo – ilo pun dikeluarkan dari persembunyiannya. Oleh ketiga gadis itu, dia diperkenalkan sebagai bere - bere sang raja gunung. Pada mulanya raja sendiri masih sangsi tetapi setelah melalui bermacam – macam ujian akhirnya diakuilah sebagai kemenakannya. Dan ketika keberanian dan ketangkasannya dipertandingkan dengan panglima – panglima yang ada, semuanya dapat dikalahkan oleh Raja Milo – ilo. Kemudian baru diketahui bahwa kebanyakan panglima itu berhati busuk dan tidak jujur melihat kedatangan Raja Milo – ilo. Mereka menginginkan puteri raja yang ketiga orang itu untuk dijadikan istri dan adanya Raja Milo – ilo disana mereka anggap sebagai saingan berat untuk mereka. Namun hati yang busuk dan ketidak – jujuran itu menjadi sebab bagi kekalahan mereka.
Sejak waktu itu Raja Milo – ilo tinggal menetap di puncak Gunung Sibayak dan kawin dengan ketiga puteri raja itu. Di kemudian hari dia dikeramatkan di gunung tersebut.
Sumber:
Tim Pelaksanaan Proyek – Proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sumatera Utara. (et.al). Cerita Rakyat dari Sumatera. (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 27 – 29.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar