Powered By Blogger

Kamis, 24 Oktober 2013

Legenda Simalungun: Begu Salih - Salihen

Begu Salih Salihen

Konon tersebut di sebuah hutan belantara di Tanah Karo, terdapat rumah seekor harimau jadi – jadian yang populer di sebut Begu Salih – Salihen. Kerjanya adalah menangkapi penduduk yang lewat untuk dimakan serta merampok harta benda yang dibawa penduduk tersebut. Akibat perbuatannya tersebut, semakin jarang ada penduduk yang mau tinggal di kampung pinggiran hutan tersebut, karena pasti menjadi korban Begu Salih – Salihen. Tidak hanya harta, nyama pun menjadi taruhan apabila melintas daerah kekuasaan Begu Salih – Salihen.

Alkisah, terdapat seorang pengemis yang seumur hidupnya dihabiskan dengan meminta sedekah kepada para penduduk. Apabila tiada berhasil ia meminta ke sana ia pasti mencoba meminta kesini, sungguh susah memang penghidupan sang pengemis tersebut. Belum lagi ia masih harus memberi makan anaknya yang masih kecil.

Pada suatu senja tampaklah sang pengemis sedang berjalan di hutan kekuasaan Begu Salih – Salihen. Dikarenakan kemampuan menyamarnya sebagai jadi – jadian yang mumpuni berikut tegur sapanya yang sopan dan ramah maka tiada curiga sang pengemis sewaktu disapa. Akibat gelapnya hari maka ditawarkan Begu Salih – Salihen kepada si pengemis untuk bermalam saja di tempatnya. Tawaran manis tersebut tanpa basa – basi langsung diterima si pengemis dikarenakan keletihan yang amat sangat setelah berjalan beberapa hari tersesat di hutan.

Dasar karena ada maunya, Begu Salih Salihen menerima kehadiran si pengemis dan anaknya dengan baik. Segala makanan, minuman dan tempat tidur disediakan dengan cepat. Setelah mereka bertutur maka diketahuilah adanya hubungan kekeluargaan di antara mereka. Sewaktu ,ereka berbincang dengan akrabnya, sesekali Begu Salih – Salihen mengaum meski dia berusaha keras untuk menutupinya. Oleh karena itu segera diketahhui sang pengemis bahwasanya dia dan anaknya telah masuk perangkap Begu Salih – Salihen. Meski demikian, ia tidak mau menyerah begitu saja, dicarinya akal agar dapat keluar dari perangkap tersebut.

Setelah malam menjadi larut, dipersilahkan Begu Salih – Salihen agar tamu dan anaknya segera tidur, agar dapat beristirahat dengan nyenyak. Hal ini dimaksud agar ia dapat memakan pengemis atau setidaknya anak pengemis sewaktu mereka terlelap. Akan tetapi ternyata tanpa sepengetahuannya si pengemis pun juga menyusun rencana untuk kabur dari sarang si Begu Salih – Salihen. Si Anak yang telah mengantuk dan hampir terlelap dicubitnya keras – keras agar terbangun dan menjerit karena sakitnya. Dengan demikian segera diketahui bahwasanya mereka berdua belum tidur.

Mendengar tangisan si anak pengemis, Begu Salih – Salihen beranjak dari tempat tidur dan segera bertanya kepada si pengemis, “Mengapa anak itu menangis?” Jawab Sang Pengemis, “Ahh.. Anakku ini memang nakal. Malam – malam begini gelang emas yang dimintanya, kemanalah aku cari gelang emas di malam yang buta ini?” Dasar rakusnya memang tidak tertahan, dengan cepat Begu Salih – Salihen mengambil sebuah gelang emas hasil rampokannya kepada warga kampung dahulu dan menyerahkannya kepada si pengemis. Sesudah itu malam kembali sepi senyap dan sangka Begu Salih – Salihen bahwasanya mereka berdua sudah terlelap maka bersiaplah ia. Melihat si anak akan kembali tertidur dengan cepat dicubit pengemis anaknya dan suara tangisan kembali membahana. Kali ini sang anak meminta kalung jelas si pengemis kepada tuan rumah. Karena mengharapkan mereka supaya lekas tidur maka dengan cepat pula diberikan Begu Salih – salihen apa yang diminta sehingga sudah banyak diperoleh pengemis tersebut harta secara cuma – cuma.

Ketika hari sudah menjelang pagi, si Pengemis dengan cepat mencari akal agar bisa keluar dari sarang Begu Salih Salihen secara aman. Maka dikatakannya kepada sang Begu Salih – Salihen bahwasanya kecip pembelah pinangnya terjatuh di kolong rumah. Oleh karena itu ia bermaksud untuk mengais kolong rumah dan dimintanya Begu Salih – Salihen untuk menjaga anaknya, siapa tahu nanti menangis mencari ibunya. Sangat senang Begu Salih – slaihen sewaktu mendengar permintaan si pengemis, karena dengan itu ia dapat melaksanakan keinginannya untuk memakan anak pengemis itu. Adapun si pengemis telah menempatkan sebuah perian (tempat air yang terbuat dari kaca) yang dibalut dengan kain tidur, apabila dilihat sepintas terlihat seperti anak kecil yang sedang terlelap. Sesudah menyembunyikan anaknya di dalam kain baju, si pengemis lari menembus kegelapan senja. Tak lupa diikatnya sebuah puntung berapi ke ekor peliharaan Begu Salih – Salihen sebagai umpan apabila aksinya ketahuan.

Lama sekali Begu Salih – Salihen yang nafsu laparnya tak lagi tertahan menunggu di kamar sang tamu. Setelah sekian lama ditunggu dan tiada berkabar lagi si pengemis, maka diterkamnya anak yang terbaring di tempat tidur itu. Dengan segera memancur benda cair dari bungkusan kecil yang disangkanya anak tersbur dan dihisap – hispanya kuat – kuat demi memuaskan ras lapar dan dahaganya. Akan tetapi, dia mulai curiga dikarenakan rasanya tidak seperti darah, tetapi seperti air. Segera diketahuinya bahwa ia telah ditipu, anak manusia yang dikiranya tersebut ternyata hanyalah perian pendek terbungkus kain yang kini telah basah.

Memuncak kemaran Begu Salih – Salihen yang merasa ditipu dan kemudian dilihatnya bahwa di kolong rumah ada cahaya api bergerak – gerak di dalam gelap. “Mungkin itu si Pengemis yang masih mencari kacipnya” pikir sang Begu, dengan segera dikejarnya cahaya tersebut. Akan tetapi pengejaran cahaya tersebut sulit, karena makin dikerjarnya cahaya tersebut, makin menjauh pula jarak diantara mereka. Setelah sekuat tenaga dikejarnya cahaya yang dipikirnya dari api pengemis tersebut maka terkejutlah ia bahwa yang membawa api bercahaya tersebut ternyata adalah babi kepunyaannya sendiri. Puntung api yang diikatkan pengemis ke ekor babinya mengecoh si Begu Salih – Salihen untuk kedua kalinya dan ia telah membuang waktu mengejar sesuatu yang tiada pernah disangkanya.

Dengan tidak membuang waktu lagi, pencarian si pengemis dan anaknya di teruskan oleh sang Begu ke seantero wilayah hutan. Si pengemis sendiri sebenarnya telah beradi di batas pekarangan Begu Salih – Salihen, mengingat begitu luas dan rumitnya hutan milik sang Begu, dan sedang melewati titi (jembatan dari batang kayu). Setelah sukses menyeberang, pengemis menarik titi tersebut ke arahnya dengan ujung tepian titi hanya menempel di tanah, tidak lagi bertumpu, sehingga apabila ada yang memakai titi tersebut akan langsung jatuh ke sungai berarus deras. Didengarnya Begu Salih – Salihen memanggil dan segera dibalasnya dengan berteriak teriak. Mendengar respon dari orang yang dicarinya, kalaplah Begu Salih – Salihen mendengar bahwa si pengemis hampir lepas dari daerah kekuasaannya. Dikejarnya asal suara tersebut dan melompat ia ke titi, bermaksud untuk menyeberang sungai.

Alangkah malang nasibnya ketika menginjak titi saat itu juga titi tersebut jatuh ke bawah sungai. Begu Salih – Salihen yang malang langsung menghujam ke bawah dan hanyut ke dalam arus air yang deras. Si pengemis mencoba memanas – manasi Begu Salih – Salihen dengan teriakan – teriakan mengejek di tengah keremangan mentari pagi namun tidak mendapat respon jawaban. Nyatalah bahwa Begu tersebut telah hanyut dibawa arus deras air tersebut, tiada lagi berkabar.

Akhirnya pulanglah si pengemis ke rumahnya sendiri. Keesokan harinya bersama penduduk kampung, di datanginya kembali secara beramai – ramai rumah sang Begu Salih – Salihen dan menguras semua harta Begu Salih – Salihen yang selama ini dia dapat dengan meneror penduduk kampung, dan mengubur tulang – tulang sanak famili mereka yang pernah menjadi korban keganasan sang Begu Salih - Salihen. Sejak saat itu, si pengemis berubah menjadi orang kaya dan hidup berkecukupan.


Sebuah Cerita dari Tanah Simalungun,
Sumber:
Burhanuddin Ch. Usman, et.al. Cerita Rakyat dari Sumatera Utara. (Balai Pustaka: Jakarta. 1981) hlm. 19 – 22.

7 komentar: