Powered By Blogger

Senin, 28 Oktober 2013

Legenda Karo: Tengku Lau Bahun

Legenda Karo: Tengku Lau Bahun

Tersebutlah ceritera tentang seorang pendatang baru bernama Tengku Lau Bahun. Beliau berasal dari Aceh dan dinegeri asalnya, beliau lebih dikenal dengan sebutan Tengku Sekh. Tengku ini kaya dengan ilmu, ahli dalam obat – mengobat, menguasai ilmu kedatuan. Tidak ketinggalan untuk meninggikan martabat roh dan batin beliau sering dilakukannya tapa bersunyi – sunyi ditempat sepi.

Alkisah, Tengku Sekh sampai ke Tanah Karo setelah melakukan pengembaraan yang panjang dari kampung asalnya. Kampung demi kampung dikunjungi, dusun demi dusun didatangi. Salah satu sifat yang patut diteladani ialah bahwa setiap orang yang dijumpai dipandangnya sama. Tidak ada yang dilebihkan dan tidak ada pula yang direndahkan. Menurut keyakinannya, manusia itu sama – sama ciptaan Tuhan dan karena itu tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah derajatnya.

Selama dalam pengembaraan, diajarkannya beragam ilmu kepada raja – raja, datu – datu dan penghulu – penghulu di Tanah Karo sehingga bertambah lama bertambah banyak orang yang mendapat pengajaran dari Tengku tersebut. Satu hal yang menarik mengenai pengajaran ilmunya ialah sukarela tanpa paksa. “Jika ilmuku dianggap baik terima dan jika tidak jangan dipakai,” demikian ujar beliau selalu. Mengajarkan ilmu diibaratkan bagai berdagang barang – barang tanpa modal. “Laku tak laku daganganku ini, tak ada kerugianku,” begitu sang tengku berpendapat. Mengenai kebahagiaan hidup, tengku tersebut mengajarkan agar berpegang pada peribahasa, “dimana langit dijunjung disana bumi dipijak.” Dengan demikian dimana kita tinggal disanalah dicari famili, sahabat dan handai taulan. Jika kita pandai membawa diri akan diperoleh kegembiraan, ketenangan dan kebahagiaan hidup, karena dengan orang – orang itu kita akan saling menggembirakan, saling mengasihi dan saling membantu di dalam kesulitan.

Kepada para petani diajarkan penggunaan tepung tawar untuk pemberantas hama tanaman. Ditunjukkan pula supaya jangan menyebut nama – nama binatang yang merusak tanaman seperti tikus, belalang dan sebagainya. Sebutkan si Pinter Ukum untuk semua perusak tanaman itu ujarnya. Adapun penawar (anti) ulat tanaman ialah daun simalem – malem, buah padi, air sawah tempat hama merusak, jerut purut dan jeruk empat jenis yang untuk semuanya itu dinamakan Lau Penguras (Air Pencuci). Kemudian satukan dengan batang padi atau jagung yang rusak lalu bacakan doa, “Hai yang empunya perajurit, yang empunya suruhan, inilah si Pinter Ukum yang merusak tanamanku. Hukumlah dia. Bersamaan dengan itu, pancangkan bendera putih di tempat keempat sudut sawah ladangmu, juga ditempat persemajaman. Lalu serahkan semua bahan tadi dalam satu persembahan khidmat. Mudah – mudahan perusak tanaman akan berhenti merusak.” Begitulah Tengku Sekh mengajarkan ilmu kepada para petani.

Di banyak tempat beliau diterima orang dengan baik, namun dikampung Sukanalu, wilayah Urung Si Enem Kuta, muncul penolakan akan kehadiran beliau. Masyarakat disana mencurigainya sebagai seorang yang bermaksud tak baik, bahkan ia dituduh sebagai alat kerajaan Aceh untuk menjajah Tanah Karo.

Tuduhan tersebut kemudian dibantah dengan tegas dan jelas. Karena tidak berhasil dengan tuduhan mulut, maka mereka yang berpolemik meningkatkan usaha mereka untuk melawan Tengku Sekh. Kali ini dalam bentuk pengeroyokan beramai – ramai meski tak berhasil karena kemampuan ilmu bela diri dan ilmu kebal sang tengku. Namun tanpa diduga, orang – orang yang tadinya sudah menyerah, bersekongkol dan menyerang Tengku pada bagian tubuh yang tidak kebal sehingga rubuhlah beliau ke tanah. Oleh para pengikutnya yang setia yang datang dari pelbagai tempat di Tanah Karo, beliau disemayamkan di kampung Surbakti, Lingga Julu dan kampung Gajah hingga dibuatkan pekuburan di Lingga Julu. Pekuburan tersebut terletak di tepi sungai Lau Bahun. Sejak itulah nama semula Tengku Sekh lebih dikenal dengan sebutan Tengku Lau Bahun, mengikut nama sungai yang tak jauh dari pusaranya. Sesudah dia meninggal, pusara tersebut dijadikan tempat pemujaan meminta perlindungan dari perusak tanaman dan bila musim kering menyerang para petani.

Melalui mimpi para pengulu , datanglah Tengku Lau Bahun dan berkata bahwa beliau tetap akan menjaga dan memelihara siapa saja yang percaya kepadanya dengan taat. Setelah peristiwa tersebut ditanam oranglah 9 galuh (pisang) Tengku Lau Bahun dan dilepaskan kambing putih dan ayam putih.Sesuai dengan pesannya bagi mereka yang percaya kepadanya, segala ilmu yang diturunkannya dipatuhi oleh masyarakat di kampung Lingga terutama di kalangan para pengulu (datu di Karo). Pada waktu musim menanam padi dipujalah galuh tadi dan kambing putih dipotong untuk dimakan bersama – sama pada waktu musim kemarau. Makam Tengku Lau Bahun dimandikan, dibersihkan dan dipuja dengan upacara gendang Karo. Pengunjung - pengunjung yang berdatangan ke makam itu membawa persembahan, memacangkan bendera putih sebagai tanda jika mereka tetap memegang dan menghormati Tengku itu karena kejujuran dan kebenaran.

Disadur dari:
Panitia Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Cerita Rakyat dari Sumatera Utara. (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 55 – 57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar