Powered By Blogger

Senin, 28 Oktober 2013

Pentas Pusat Latihan Opera Batak di Jogja: Perempuan di Pinggir Danau

Opera Batak PLOT: Perempuan di Pinggir Danau

Pada hari Senin 21 Oktober 2013 bertempat di sebuah padepokan kecil di daerah Bangunjiwo, Kasihan, Bantul berkumpul para pecinta opera dari berbagai latar belakang untuk menyaksikan sebuah pertunjukan kecil yang digawangi oleh Lena boru Simanjuntak dan dikomandoi oleh Thompson Hs. Sebuah ide, reportoar, musikalisasi atau apapun itu… yang mengkritisi komersialisasi dan pencemaran Danau Toba sekaligus mengangkat misi mulia, yaitu memperjuangkan Tari Tortor asal masyarakat Tapanuli sebagai salah satu World Heritage di UNESCO. Sebuah pertunjukan yang diperjuangkan oleh komunitas Pusat Latihan Opera Batak (PLOT) yang beranggotakan 14 orang dalam ramuan satu tim, satu nafas dan satu tujuan, kembali hidupnya tadisi lisan masyarakat Batak sejak Tilhang Gultom.

Bertempat di Padepokan Bagong Kussudiarjo, desa Kembaran,Tamantirto, Kasihan Bantul, para penonton lintas umur telah setia menunggu jalannya opera sejak pukul 18.00. Meski pertunjukan baru akan dimulai pukul 19.00 (dan mulai pukul 19.30) para penonton yang sebagian besar berlatar belakang mahasiswa asal Sumatera Utara dan berkuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta menunjukkan antusiasme yang besar menyambut pementasan tersebut. Dapat dilihat dengan besarnya animo masyarakat yang datang, meski fasilitas hanya disediakan seadanya, penonton duduk melesehdi lantai. Pukul 19,30 MC membuka acara dengan memberi sedikit pengantar tentang apa yang akan diceritakan diiringi oleh musik gondang. Setelah itu secara non-stop dimulailah apa yang disebut Sendratari Legenda Toba mengangkat Judul “Perempuan di Pinggir Danau”.

Pertunjukan tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu drama pembentukan dan awal kehidupan di Danau Toba, drama konflik dan petuah –petuah ala Tapian na Uli dan ditutup oleh drama (atau lebih tepatnya) otokritik mengenai pencemaran dan de-sakralisasi Danau Toba. Ketiga bagian tersebut dikelola dengan menggabungkan folklore tradisional masyarakat Toba Samosir yaitu, Legenda Terbentuknya Danau Toba. Hal ini diperunik dengan nilai – nilai tradisi masyarakat akuatik, yaitu pentingnya peran perempuan dalam kehidupan sebagai wakil dari kehidupan yang telah ada serta adanya sakralisasi terhadap air sebagai sumber kehidupan. Masyarakat Toba (Samosir) khususnya dianggap sangat identik dengan Danau Toba sebagai pusat makrokosmos kehidupan. Akan tetapi prakteknya sekarang adalah perusakan danau dengan adanya perambahan – perambahan liar, pabrik pulp yang mencaplok tanah warga, bisnis keramba ikan yang menurunkan kualitas air danau serta komersialisasi kapital oleh orang – orang bermodal.

Aransemen Gondang, Tagading dengan Hasapi dan Seruling menciptakan musik latar yang dinamis, membantu visualisasi ekspresi dan kondisi yang terjadi, seperti angin, gempa dan letusan gunung. Musik racikan Maestro Opera Batak, Alister Nainggolan dan Thompson Hs cukup variatif dan menghibur penonton yang datang pada saat itu. Adanya musik tradisional yang mengalun terkadang “menyelamatkan” reportoar – reportoar yang dianggap menjemukan dikala penggunaan bahasa Toba menjadi dominan. Tari yang ditampilkan pun cukup menggigit, terutama dikala tari piring dan “jujung amak”. Ganjilnya jumlah penari (seperti halnya di tari Karo) menjadikan tari tersebut hidup dan menggeliat, terutama lenggak penari yang cukup gemulai dipadu dengan kostum tradisional yang simpel.

Akan tetapi kritik yang cukup keras perlu diarahkan pada sound system yang digunakan, kecil dan tidak menggigit. Vokal pemain meski sudah memakai clip – on tetap saja tidak jelas bahkan terkadang dirasa tidak masuk ke speaker. Mungkin perlu untuk menggunakan clip – on jenis headset yang tentu memiliki kemampuan lebih dalam menangkap vocal pemain drama. Kemudian kondensor yang digunakan untuk instrumen juga berkesan terlalu kalem, padahal musik pada dasarnya adalah salah satu pengangkat mood penonton dalam acara – acara tradisional. Diharapkan agar pada pentas – pentas berikutnya tata kelola sound system menjadi perhatian, apabila perlu menjadi fokus agar tidak mengecewakan penonton yang “terbiasa” dimanjakan dengan sound yang layak. Tentu sebuah pertunjukan seperti “Perempuan di Pinggir Danau” layak mendapatkan sound system yang lebih oke, terlebih pertunjukan ini akan di pentaskan di Koeln, Jerman. Nilai minus lainnya adalah tiadanya terjemahan bahasa Batak ke bahasa populer, mengingat penonton juga berasal dari berbagai latar belakang suku dan etnisitas. Joke, kelakar, nasehat, petuah dan dialog penting terlalu banyak menggunakan bahasa Toba, terkadang penggunaan yang terlalu dominan dapat menjemukan penonton yang bersemangat .

Terakhir, perlu diapresisasi penggunaan tradisi lisan masyarakat dalam penyampaian sebuah otokritik yang dipentaskan ke dalam sebuah opera. Cara ini tentu mampu menghidupkan kembali tradisi lisan kita Batak pada umumnya dan Karo pada khususnya. Karo memiliki sejuta permasalahan di daerha yang mungkin dapat diungkapkan dengan pentas – pentas tradisional, mengingatkan kembali masyarakat akan nilai – nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Bukan dengan cara demonstrasi yang hanya berujung pada perkelahian dan aksi – aksi barbar yang tidak menunjukkan adat ketimuran, penuh sopan santun dan adat. Karo memiliki berbagai kekayaan seni yang mampu menciptakan pertunjukan spektakuler, tidak kalah dengan opera batak karya teman – teman PLOT, hanya saja apakah kita akan diam saja hingga tradisi lisan itu hilang kembali? Ataukah kita akan bangkitkan dan kembali membudayakan opera di tengah masyarakat Karo? Atau apakah tradisi – tradisi lisan tersebut akan menjadi terasing di rumahnya sendiri, Bagai Lagu Piso Surit??

Perempuan di Pinggir Danau

Sutradara: Lena br Simanjuntak, Thompson Hs.
Artis/Aktor: Alister Nainggolan, Ojax Manalu, Nominanda Tiomina br Sagala, Editua Nainggolan, Hotania br Nainggolan, Tiurma br Nainggolan, Rinda br Turnip, Rini H br Sinaga, Farida Christina br Siallagan, Devi Lasroha br Sinaga
Tim Artistik: Adie Damanik, Ommz F Purba, Ganden, Lukman Hakim Siagian
Tim Produksi: Laire Tiwi Mentari, Jhon Fawer Siahaan, Manguji Nababan, Tumpak Winmark Hutabarat. 

Sondang yang kemudian hari dikenal dengan Danau Toba merasa terhina sewaktu suaminya secara tak sengaja mencela anak mereka dengan sebutan "anak ikan"

Thompson Hs, in action
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar