Powered By Blogger

Rabu, 12 Agustus 2015

Guru Kandibata



GURU KANDIBATA

Di Tanah Karo Sumatera Utara terdapat satu kampung yang bernama Kandi Bata. Dahulu kampung tersebut dikenal oleh semua orang dari segala penjuru karena di kampung tersebut hidup seorang Guru Mbelin (Dukun Sakti) bernama Guru Kandibata. Ia beristrikan seorang Guru Mbelin jua yang menghasilkan dua keturunan yaitu Beru Tandang Karo dan Beru Tandang Meriah. Kesaktian Guru Kandibata tersebut tersiar hingga ke negeri – negeri di luar Tanah Karo Simalem. Beliau bisa meramal hari (Niktik Wari), mengobati segala sakit penyakit, bahkan menghidupkan kembali orang mati, asal jenazah orang tersebut masih utuh dan belum mencapai 4 hari kematian.

Pada suatu hari, timbullah penyakit cacar yang menjangkiti Tanah Alas di daerah Aceh. Penyakit yang mewabah tersebut mengakibatkan korban jiwa yang tidak sedikit, sehingga timbullah kepanikan yang luar biasa. Keresahan rakyat Tanah Alas menyebabkan Raja Alas menjadi was – was. Raja Alas adalah seorang Raja yang kekayaan beliau tiada terhingga. Dengan uang dan upah yang tidak terbatas, beliau menyuruh para pengikut beliau untuk mendatangkan tabib dan dukun dari seluruh penjuru negeri. Namun tidak ada satu pun yang berhasil mengobati wabah tersebut. Hingga pada suatu hari, beliau mengutus orang kepercayaan untuk meminta pertolongan Guru Kandibata yang tersohor kesaktiannya dari negeri sebelah. Raja Alas bahkan bersedia memenuhi segala permintaan Guru Kandibata apabila beliau bersedia dating ke Tanah Alas dan mengobati wabah cacar tersebut. Tertarik dengan harta kekayaan yang dijanjikan oleh sang utusan Raja Alas, dengan cepat Guru Kandibata menyanggupi. Dia kemudian mempersiapkan perbekalan dan stok obat – obatan secukupnya dan mengajak sang istri untuk turut serta menemani selama di Tanah Alas. “Baiklah kalau begitu. Saya akan datang ke Tanah Alas beserta istri saya,” ujar Sang Guru Mbelin Kandibata.

Ketika segala sesuatu telah dipersiapkan dengan matang, tiba – tiba sang istri  berkata “Lebih baik kita tidak usah pergi ke Tanah Alas.” “Mengapakah?” ujar Guru Kandibata dengan heran melihat reaksi istri yang tidak biasa. “Aku khawatir apabila kita pergi ke sana, penyakit itu akan datang kemari dan akan menjangkiti kedua anak kita,” sahut sang istri. “Kam tidak usah khawatir. Seandainya pun kedua anak kita tertular penyakit itu, aku pasti bisa menyembuhkan keduanya dengan muda. Bahkan apabila mereka sampai mati akibat wabah cacar itu, aku dapat menghidupkan kembali keduanya dengan mudah!” ujar Guru Kandibata. Setelah melihat ketetapan hati dan mempertimbangkan secara matang nasehat suaminya, bersedialah sang istri berangkat mendampingi Guru Kandibata. Akan tetapi ternyata kedua anak Guru Kandibata menjadi kecewa dan sedih melihat kepergian kedua orang tua mereka.
Melihat dampak wabah penyakit cacar yang luar biasa di Tanah Alas, Guru Kandibata pun memperpanjang kunjungannya. Ia mengobati pasien didampingi sang istri siang dan malam, tiada henti. Keberadaan Guru Kandibata menjadi semacam obat harapan bagi warga Tanah Alas untuk terbebas dari penyakit cacar yang mewabah secara dasyat. Akan tetapi, ternyata waktu juga yang mendatangkan wabah cacar ke Tanah Karo, hingga ke desa Kandibata. Kedua anak Guru Kandibata yang tinggal di kampung tidak luput terkena wabah cacar tersebut. Dari hari ke hari, penyakit mereka bertambah parah hingga keluarga memutuskan untuk memberi kabar kabar ke Tanah Alas. Utusan yang menjumpai Guru Kandibata bersikeras agar beliau dan istri dapat segera pulang untuk mengobati buah hatinya tersebut. “Aku belum bisa pulang sekarang. Tidak kalian lihat seberapa parah penyakit itu sudah mewabah daerah ini? Kalian tidak usah khawatir, bagaimana pun parahnya penyakit kedua anakku nanti, aku pasti bisa menyembuhkannya. “Tapi Bang, penyakit mereka sudah sangat parah. Kami khawatir mereka akan mati!” ujar utusan itu setengah memaksa. “Kalau pun anak – anak ku itu mati, aku pasti bisa menghidupkan mereka kembali, janganlah khawatir. Nah, terimalah uang ini dan pulang kalian segera ke Kandi Bata,” ujar sang Guru sembari memberi uang yang banyak kepada sanak keluarganya. Tanpa basa – basi utusan tersebut kemudian pulang kampung dengan penuh kekecewaan. 

Tak lama berselang, datang lagi utusan dari kampung meminta kesediaan Guru Kandibata pulang dan mengobati kedua anak gadis beliau yang sakit parah. Keadaan mereka sudah sangat parah sehingga keluarga takut bahwa mereka akan “pergi” kapan saja. Kekhawatiran mereka sudah memuncak. “Aku belum bisa pulang sekarang. Tidak kah kalian lihat masih banyak orang yang harus aku tolong?” ujar sang Guru. “Tapi Guru, keadaan mereka sudah sangat parah. Kami tidak yakin lagi mereka masih sanggup bertahan. Sebaiknya Guru pulang dahulu untuk mengobati mereka,” ujar sang utusan. “Nah terima uang yang banyak ini. Pulanglah kalian ke Kandi Bata secepatnya. Apabila meninggal kedua anak gadisku tadi, kuburkanlah mereka dengan upacara yang layak, gunakan saja uang ini. Kemudian secepatnya lagi kalian beritahu aku tentang kematian mereka. Biar bisa aku pulang dan menghidupkan kembali kedua buah hati ku itu.” Kata Guru Kandibata. Dengan berat hati, mereka menerima uang dalam jumlah yang melimpah dan pulang kembali ke Kandi Bata untuk melaksanakan perintah sang Guru. Sebenarnya Guru Kandibata tidak mau pulang karena dia memperoleh keuntungan yang sangat banyak dari Raja Alas. Sayang rasa beliau apabila keuntungan yang luar biasa melimpah ini dihentikan begitu saja. Ia pun yakin bahwasa beliau mampu menghidupkan kembali kedua anak beliau sekalipun telah meninggal.

Tidak lama kemudian meninggal kedua anak Guru Kandibata. Mereka merasa sangat sedih karena tidak meras diperhatikan kedua orang tua mereka yang sibuk mencari uang di tanah seberang. Meski sudah berkali kali mengutus sanak – saudara untuk membujuk orang tua mereka. Bahkan mereka suda merunggukan agar memaksa kedua orang tua mereka pulang. Segala cara dicoba tetapi tidak menghasilkan apa pun. Setelah mereka dikebumikan, roh mereka yang meninggal secara tidak tenang menangis tersedu – sedu. Tangisan mereka yang indah luar biasa ini kemudian di dengar oleh Keramat Nini Deleng (Gunung) Sibayak. Beliau mengutus salah satu suruhan untuk menanyakan sebab tangisan kedua roh gadis tersebut. Ketika sang pesuruh menanyakan hal tersebut, kedua roh gadis itu serempak menjawab “Pada waktu kami meninggal dunia, kedua orang tua kami tidak bersedia pulang dan menjenguk kami dari tanah rantau. Mereka sudah dikuasai nafsu serakah hanya untuk mengumpulkan uang. Tega sekali mereka meninggalkan kami begitu saja.” Rintihan syahdu yang dikenal orang Karo sebagai nuri – nuri itu, kemudian disampaikan si pesuruh kepada majikannya. Melalui si pesuruh, Nini Deleng Sibayak mengundang kedua gadis tersebut agar bertandang ke rumah beliau di suatu tempat lereng Gunung Sibayak. Beliau menjamu kedua roh gadis yang sedang sedih itu dengan tangan terbuka. Beliau juga memerintahkan agar si pesuruh menyembunyikan tulang – belulang kedua gadis tersebut agar tidak mampu dibangkitkan kembali oleh Guru Kandibata. 

Di negeri seberang, Guru Kandibata merasa puas dengan keuntungan yang beliau peroleh dari Raja dan rakyat Tanah Alas. Setelah mengabdi sekian lama, beliau bermaksud untuk pulang ke kampung halaman. Setelah diadakan pesta yang meriah, tibalah saatnya Guru Kandibata beserta istri mengucap pamit dan memulai perjalanan ke kampung. Setiba di Kandi Bata, mereka langsung menuju makam kedua anak mereka yang masih mendendangkan turi – turiin. Roh kedua gadis tadi menangis tersedu – sedu menyesali kedatangan orang tua mereka yang terlambat menjenguk mereka. Sang Istri Guru yang merasa sedih menyatakan penyesalan beliau dan berjanji akan menghidupkan mereka kembali sebelum tulang – tulang keduanya hancur digerus tanah. Sewaktu makam digali, tidak ditemukan tulang – belulang kedua anaknya, sehingga panik semua orang di kampung. Tapi bukan Guru Mbelin Kandibata apabila hanya berputus asa. Beliau mencari jejak roh kedua anaknya dan mendapati jejak mistis mengarah ke Gunung Sibayak. Mengerahkan segenap kemapuan saktinya, Guru Kandibata menyusuri jejak mistis tersebut dan mendapati roh kedua anaknya sedang menangis tersedu – sedu. Melalui sebuah tenda yang mampu menampilkan citra kedua anak beliau, Guru Kandibata berusaha berkomunikasi dengan anak – anaknya. Akan tetapi upacara yang dikenal dengan “Raleng Tendi” tersebut mempunyai sebuah pantangan, bahwa hanya roh yang bisa masuk ke dalam tenda tersebut. Roh akan hilang apabila seseorang mencoba memasuki tenda. Saking histeris, istri Guru Kandibata yang tidak mampu menyembunyikan rasa rindu, mencoba merangsek masuk ke dalam tenda. Akibatnya, terputuslah komunikasi di antara mereka. Baru Tandang Karo dan Beru Tandang Meriah yang kecewa akibat aksi sembrono kedua orang tua mereka, kemudian langsung berlari kembali ke kediaman Nini Deleng Sibayak dan bersembunyi untuk selamanya. Ada kalanya, suara tangis kedua anak Guru Mbelin Kandibata terbawa angin sehingga dapat di dengar oleh para pendaki Gunung Sibayak. Sora na mido – ido.

Cerita ini disadur ulang dari buah karya Z Pangaduan Lubis, Cerita Rakyat dari Karo. Yogyakarta: Grasindo. 2011.

Mohon maaf selama ini jarang update post – post yang berkaitan dengan blog ini. Semoga lebih di sempatkan untuk menulis. Cerita Rakyat dari Karo ini saya tampilkan sebagai media untuk mencegah kepunahan cerita - cerita rakyat dari Karo. Untuk tulisan ini saya khususkan kepada Savedia Lania Olga Sembiring Meliala yang selalu menyemangati dalam suka dan duka.

1 komentar: