Powered By Blogger

Rabu, 19 Agustus 2015

Ertutur dalam Ilmu Komunikasi

Mejuah-juah untuk kita semua...
Para sahabat man kam Turang, senina, impal dan kade-kade saya mohon bantuan
dari anda semua untuk menjawab pertanyaan yang sama lampirkan via email
ini. terlebih dahulu ijinkan saya memperkenalkan diri:
nama Bastanta Bernardus Peranginangin (Bangun)
kuliah di Ilmu Komunikasi UAJY. sedang mengerjakan skripsi mengenai
Komunikasi Budaya Karo ertutur. mohon partisipasi ndu kerina. Bujur

mohon maap jika menanggu, bantuan anda sangat berharga bagi saya.
bujur ras mejuah-juah kita kerina


Nama Lengkap dgn Marga
Dieta Lebe Singarimbun
Kampus/ Fakultas/ Tahun Masuk (Tahun Wisuda)
UGM / FIB / 2013
Tinggal di Jogya sejak Thn s.d thn
2001
Contac Person



Pertanyaan panduan mengenai “IMPLEMENTASI TRADISI ERTUTUR SUKU KARO DALAM KOMUNIKASI INTERPERSONAL GENERASI MUDA PERANTAU DI YOGYAKARTA” 

1.    Apa ertutur itu bagi anda sebagai orang muda suku Karo? (Boleh Bukan Sekedar Definisi)

Bagi saya budaya ertutur dalam masyarakat Karo adalah seni berkenalan yang melibatkan banyak nilai budaya yang terkandung sewaktu dilaksanakan. Ertutur memerlukan sedikitnya dua orang yang berinteraksi, menunjukkan bahwasanya Ertutur memiliki nilai sosial yang tinggi, mengharuskan si penutur untuk mengenal lingkungan dimana dia sedang berada. Kemudian Ertutur juga mengandung keeratan sosial, dimana Ertutur menunjukkan bahwa semua orang Karo bersaudara. Meski pun tidak ada pertalian darah diantara si penutur dengan lawan tuturnya, Ertutur bisa menyatukan keduanya dalam ikatan kekeluargaan yang cukup tegas dan jelas. Kemudian Ertutur juga bisa menjadi penunjuk kepedulian sosial bagaimana seseorang harus berbuat dalam hubungan sosial dengan kerabatnya. Sewaktu bertutur, seseorang akan tahu bahwa ia sedang berkomunikasi dengan sangkep nggeluh dan menentukan di posisi manakah dia sedang berada. Ketika dia dalam posisi anak beru, berarti dia harus siap untuk diminta tolong kapan saja, apabila dia dalam posisi senina / sembuyak, maka dia harus siap menjadi teman cerita dan ketika dia dalam posisi kalimbubu dia harus mampu memberi petuah petuah bijak dan mencarikan koneksi apabila lawan tuturnya tersebut sedang memiliki masalah. Ertutur menjadi jembatan sosial ketika seseorang dalam perantauan dan menjadi solusi untuk menemukan kade – kade serta perkade – Kaden untuk menjadi keluarga baru selama di perantauan. Budaya ertutur yang dimiliki oleh orang Karo telah mengalami transformasi dari jaman ke jaman naum tidak akan lekang oleh waktu. Oleh karena itu perlu dibudidayakan kelestarian aksi bertutur di dalam masyarakat Karo. Ertutur itu Karo dan Karo itu Bertutur.

2.    Apa yang mendorong anda dalam melangsungkan ertutur dengan seseorang?

Ertutur menunjukkan identitas kita sebagai orang Karo seutuhnya. Orang Batak memiliki cara khas yaitu dengan matorombo dengan nomor. Semakin besar nomor seseorang maka akan semakin rendah posisinya. Akan tetapi bagi kita orang Karo, ertutur untuk mendapatkan nilai sosial itu tidak berjenjang, akan tetapi berputar layaknya roda kehidupan. Dalam ertutur kita mampu mendapatkan posisi sebagai seorang Kalimbubu dalam jabu A, tetapi menjadi anak beru dalam jabu B dan menjadi senina / sembuyak dalam jabu C. Oleh karena itu, cara dan gaya ertutur orang Karo itu khas. belum lagi kita mengenal beberapa zona budaya Karo yang memiliki tradisi yang berbeda. Ada zona Singalor Lau, zona Teruh Deleng, zona Karo Baluren, zona Karo Gugung, zona Karo Jahe, zona Karo Langkat dsb. Uniknya cara bertutur semuanya sama, dengan berpalas pada sangkep nggeluh. Ini menunjukkan bahwasanya orang karo tulen pasti akan bertutur sewaktu berkenalan dengan orang baru, lingkungan baru bahkan tempat yang baru. Oleh karena itu, sebagai orang Karo tulen pada umumnya kita bertutur untuk mendalami komunitas Karo lebih lagi.

3.    Bagaimana cara anda untuk mendapatkan point-point sehingga sampai membuat suatu kesepakatan ertutur?

Menyelami masyarakat Karo lewat bertutur memerlukan pengenalan aspek Sangkep Nggeluh. Terdapat tiga poin utama dalam sangkep nggeluh yaitu Senina / Sembuyak, Kalimbubu dan Anak Beru. Hal ini mencerminkan kita sebagai merga dan bere – bere. Untuk orang dewasa yang sudah menikah, terdapat pula tingkatan dimana seseorang dapat menjadi Kalimbubu karena turang nya diambil oleh suatu merga spesifik. Sebagai kelompok wife – giver, kita akan menjalani posisi sebgai Kalimbubu. setiga aspek diatas tentu menjadi poin utama dalam mengingat proses bertutur. Apabila kita bertutur dan tidak mendapat hubungan pertalian pada tingkat ini, kita dapat melanjutkannya pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu Binuang dan Kempu. Binuang adalah Kalimbubu (wife – giver) dari ayah dan Kempu adalah Kalimbubu dari ibu. oleh karena itu tingkatan kedua ini sudah memasuki generasi kedua di atas merga kita. Ketika pertalian persaudaraan tetap tidak terpenuhi maka seseorang dapat memakai jenjang ketiga dari ertutur, yaitu dengan menanyakan Kampah dan Soler. Kampah adalah Kalimbubu dari Kalimbubu Ayah, dan Soler adalah Kalimbubu dari Kalimbubu Ibu. Meski pun jarang dipakai, tahapan ini menjadi salah satu tahapan akhir bertutur seorang Karo. Tercatat, hanya beberapa kali Kampah dan Soler ditanyakan, karena apabila seseorang bertutur, biasanya hanya mencapai Merga dan bere – bere serta menanyakan Binuang dan Kempu.

Bagi masyarakat Karo kini, cara bertutur sudah mengalami sedikit modifikasi. Apabila kita kesulitan menemukan pertalian darah dengan seseorang yang baru kita kenal, masyarakat kini lebih suka untuk menanyakan melalui garis perkade – Kaden lewat seseorang yang mereka kenal di suatu tempat yang berhubungan dengan lawan tutur. Bisa saja satu kampung, satu kantor, satu daerah perantauan. Misalnya seorang A dari Tiganderket kesulitan menemukan hubungan perkade – Kaden dengan seorang B dari Batukarang. Karena terdapat Bengkila A di Batukarang yang ternyata seorang Kalimbubu di jabu B, maka otomatis si A dapat menarik kesimpulan sementara bahwa dia adalah juga Kalimbubu dari B. Hal ini tentu dirasa lebih mudah karena mungkin zaman sekarang orang tidak lagi begitu mengenak sanak – family yang tinggal di kampung (terutama yang lahir di kota besar). Oleh karena itu, biasanya metode inilah yang lebih disukai dan lebih sering dipakai.

4.    Bagaimana menurut anda tentang proses ertutur itu dalam berkomunikasi?

Proses bertutur dalam orang Karo melibatkan seni penuturan kata yang luar biasa kaya dan indah. Bahkan untuk bertutur dengan seorang gadis / wanita Karo, orang Karo zaman dulu menyebutkan kata – kata yang kini sudah punah. Hal ini disebabkan, orang Karo lebih menyukai pemakaian majas – majas metaphor dan kalimat yang bertele – tele untuk menjelaskan sesuatu yang dimaksudkan. Oleh karena itu, proses berkomunikasi pada zaman dulu tentu membutuhkan waktu yang agak lama. Hal ini mungkin yang menyebabkan orang Karo kurang tanggap menghadapi masalah informasi. Karena bagi kita orang Karo, informasi tidak saja harus dicerna tetapi harus juga diolah penyampaiannya sehingga membutuhkan waktu yang agak lama untuk penyebaran – luasnya. Akan tetapi, komunikasi yang disampaikan orang Karo cukup mendalam apabila sedang bertutur, terlebih lagi seseorang mendapatkan sangkep nggeluh pertalian darah langsung. Mereka tentu tidak akan puas apabila hanya menyampaikan komunikasi satu arah, tetap justru akan memancing agar komunikasi berjalan dua arah. Selama kedua proses bertutur diatas tidak dilupakan, maka komunikasi seorang penutur dengan lawan tuturnya seharusnya tidak menjadi masalah. 

5.    Apa kendala yang pernah dialami dalam berkomunkasi dalam menjalankan tradisi ertutur?

Anak muda Karo zaman sekarang telah tersebar ke berbagai tempat dan wilayah di muka bumi. Penyebaran sporadis orang Karo dapat dilihat dari jabatan, pangkat, posisi dan juga penempatan orang Karo yang kini tidak saja meliputi wilayah di Nusantara Indonesia ini, tetapi telah mencapai pada tingkatan global. Dapat dilihat bahwa di luar negeri juga orang Karo telah berekspansi dengan bekerja di sektor – sektor yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Penyebaran ini mungkin menyebabkan hubungan dan komunikasi dengan sanak – family di kampung menjadi kurang intens, yang berujung pada tidak menahunya anak – anak akan kerabat di kampung. Hal ini tentu menjadi sedikit ganjalan dalam bertutur, karena kita tidak lagi intens dalam berkunjung maupun menjalin komunikasi dengan orang di kampung halaman. Thus, seseorang akan memiliki pengetahuan yang kurang dalam menjalin pertalian saudara dengan orang di kampung. Menurut saya hal inilah yang menghambat seseorang dalam berkomunikasi dan bertutur dengan orang baru. Akan tetapi kita dapat memakai versi bertutur yang kedua, yaitu mengaitkan hubungan persaudaraan dengan orang yang kita kenal di kampung sebagai patokan dasar dalam bertutur. Selain lebih simple, hubungan pertalian lebih mudah untuk didapatkan. Hal ini tentu cukup membantu orang perantau dalam melangsungkan hubungan pertalian dan mendapatkan posisi sangkep nggeluh. Meski begitu, diharapkan versi ertutur yang pertama pun sebisa mungkin tidak dihilangkan karena versi yang pertama adalah versi yang sesungguhnya dalam bertutur. Sangat disayangkan apabila versi bertutur “pemena” tersebut menjadi hilang di makan waktu, atau di klaim oleh budaya asing yang tidak mengenal seluk – beluk indahnya tutur Karo.

Mejuah – juah dan Sentabi
Ditz Singarimbun

Tulisan ini saya Publikasikan karena saya merasa perlu dibagikan terutama bagi penikmat sari budaya Karo sembelang doni. Saya ucapkan terima kasih kepada Bang Bastanta Bernardus Perangin - angin Bangun yang telah meluangkan waktu untuk mengenal lebih jauh Bertutur dan implikasinya dalam Komunikasi Modern. Diharapkan sumbangsih ilmu akan memperkaya khazanah keilmuan Karo dan rayat sirulo -Nya. Bujur Mejuah juah.
 

2 komentar:

  1. BUjur ibas penampatndu... nopember aku sidang... mindo aku toto ndu..

    BalasHapus
  2. BUjur ibas penampatndu... nopember aku sidang... mindo aku toto ndu..

    BalasHapus